52

13.3K 1.4K 177
                                    

Happy reading...



"Bang, Abang ...."

Devan mengernyitkan dahi saat suara seseorang memenuhi gendang telinganya. Dengan pelan-pelan, Devan membuka mata dan terlihatlah langit-langit kamar yang berwarna putih.

Devan meringis kala pusing mulai menyergap kepalanya, membuat Devan kembali memejamkan mata.

"Abang, Abang oke?"

Devan tersentak ketika mendengar suara itu, itu adalah suara adiknya, Cakra. Dengan pelan Devan mulai membuka mata kembali dan yang terlihat adalah, Cakra yang sedang menatap dirinya dengan senyuman manis khas miliknya.

Devan yang melihat atensi Cakra menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca siap menumpahkan liquid bening yang sedang dia tahan.

"Abang, janga--"

Tanpa menunggu Cakra menyelesaikan kalimatnya, Devan sudah lebih dulu memeluk tubuh yang sedang berada di samping ranjangnya itu, Devan memeluk tubuh adiknya dengan sangat erat.

"Gue tau itu cuma mimpi," gumam Devan membuat Cakra tersenyum, lalu menepuk-nepuk punggung Devan dengan pelan.

"Jangan nangis, Abang kelihatan jelek," ejek Cakra diakhiri kekehan, tetapi Devan sama sekali tidak menanggapi ejekan tersebut dan lebih memilih fokus untuk tetap memeluk adiknya, sampai  Devan merasakan Cakra yang mulai melepaskan pelukannya.

Begitu pelukan terlepas, Devan terus memandangi wajah Cakra yang tampak lebih segar dari sebelumnya.

"Kenapa?"

"Ini, beneran lo, kan? Lo ga pergi, kan? Lo ga ninggalin gue, kan?" Pertanyaan beruntun Devan layangkan pun dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.

Cakra tersenyum manis menatap Devan. "Cakra ga akan kemana-mana, Cakra akan tetap di sini. Selama Abang menyimpan Cakra di sini ..." Cakra menyentuh dada kiri Devan menggunakan tangan kanannya. "Cakra ga akan ninggalin Abang."

Ntah, kenapa ketika Cakra menyentuh dada kirinya, Devan merasakan sesak yang begitu hebat, dia seolah mengerti apa yang Cakra maksudkan. "Gue ... gue ga ngerti dan gue ga mau ngerti ...."

Cakra tersenyum melihat Devan yang kembali menangis dengan kepala menunduk, lalu dia menepuk-nepuk pucuk kepala Devan dengan pelan layaknya seorang kakak yang sedang menenangkan adiknya. "Maaf ..."

Devan mendongak dengan air mata yang berderai. "Lo kenapa minta maaf, sih? Lo bilang ga akan ninggalin gue ...."

Lagi dan lagi, Cakra tersenyum manis. Senyum yang biasa Devan sukai, namun kini menjadi senyuman yang Devan benci.

"Pertemuan kita memang singkat, tapi Cakra harap ... Abang menyimpan Cakra menjadi memories yang paling indah di kehidupan Abang," ucap Cakra tanpa melunturkan senyumannya. "Jangan terlalu sering minum kopi, ya. Cakra sayang sama Abang ...."

Devan kembali terisak saat melihat tubuh adiknya yang semakin menjauh. "Ngga ... jangan, jangan pergi ...."

"Devan."

Devan menggelengkan kepalanya ribut saat senyuman adiknya mulai menghilang begitu juga dengan tubuhnya.

"NGGA! JANGAN PERGI! CAKRA!"

"DEVAN!"

Devan terbangun dari mimpinya dengan napas terengah-engah, tangannya bergerak menyentuh pipinya yang terasa basah. Devan melihat sekitar, ini adalah ruang rawat yang sama saat Cakra menemuinya. Lalu apa yang terjadi? Apa dia bermimpi? Bagian mana yang menjadi mimpinya? Devan merasa bingung, Devan bahkan tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang bukan. Devan mencoba mengingat-ingat sampai akhirnya dia tersentak kala pundaknya disentuh oleh seseorang.

MEMORIES (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang