Bagian 51

16 10 16
                                    

"Mencintaimu adalah sebuah keajaiban dan mengungkapkannya adalah keharusan. Tidak peduli kedepannya nanti akan seperti apa. Karena jika kamu tidak memiliki perasaan yang sama, mungkin itu adalah konsekuensi yang harus aku terima. Untuk itu, izinkan aku berjuang beribu-ribu kali lagi, ya?"

*****

Hari ini adalah hari ketiga kelas XII ujian. Suasana di dalam kelas tampak tidak tertib seperti biasanya. Untuk kedua kalinya pengawas yang bertugas di sana adalah pak Dodit. Si raja musik berkacamata bulat yang cocok dengan bentuk wajahnya. Tidak seperti pada saat mengawas pertama kali, pak Dodit yang selalu membawa musik bluetoothnya kini beralih menggunakan earphone di dalam telinganya. Mungkin dirinya bisa fokus dengan mendengarkan musik, tapi orang lain belum tentu. Apalagi tak lama ini, pak Dodit sudah mendapatkan peringatan dari pihak sekolah, agar tidak lagi-lagi menyetel musik di dalam kelas.

Hari ini, adalah mata pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran yang soalnya selalu menyuruh anak-anak untuk senantiasa literasi. Setiap butir soal tidak luput dari cerita-cerita yang lumayan panjang dan berbobot. Susah-susah gampang, jika menurut pendapat Adelard.

Arga menatap nanar kertas ujiannya. Belum ada satupun yang dirinya isi. "Syut," bisik Arga memberi kode pada Bagas.

Bagas menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya Arga yang mengacungkan jarinya. "Satu sampe lima?"

"A semua," bisik Bagas membohongi Arga. Padahal dirinya juga sama sekali belum mengisi satu soal pun.

Arga langsung mengangguk dan mengisi lembar jawabannya. Tidak peduli salah atau tidak. Yang penting kertas ujian itu terisi. Arga menatap binar kertas ujiannya. Seperti kata pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.

"Syut, Yad!" panggil Arga yang kini pada Adelard.

Adelard yang sedang fokus, kini menoleh pada Arga tidak minat. "Apaan?" tanya Adelard tidak ingin menghabiskan waktu ujiannya karena Arga si raja menyontek.

"Nomor enam sampe sepuluh?"

"Be, ce, de, a, be!" bisik Adelard sembari melihat kertas ujiannya.

Arga mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia mengisi lembar ujiannya. "Sebelas sampe lima belas?"

Adelard berdecak. "Ce, ce, a, de, a!"

Lagi-lagi Arga mengangguk dan mengisi lembar ujiannya. "Enam belas sampe dua puluh?"

Lama-kelamaan Adelard merasa risih. Ia berniat memberi tahu Arga tidak sesuai dengan jawaban di kertas ujiannya. "Be semua!"

Arga mengerutkan keningnya menatap Adelard penuh curiga. "Masa?"

"Ya udah kalo gak percaya!"

Arga kembali mencari mangsa. Ia memberi kode kepada Lala. "Syut, La!" panggilnya pada Lala yang sedang fokus.

"Mikir, dong!" sarkas Lala yang membuat Arga tampak menyerah.

"Ini juga gue lagi mikir La," ujar Arga membela dirinya. "Makannya gue nanya ke orang-orang pinter kaya lo sama Adelard itu supaya nilai bahasa Indonesia gue gak anjlok!"

Bagas ikut bergabung bersama Lala dan Arga. "Lagian lo, Ga! Kadang gue heran sama pemikiran lo, giliran matematika yang disuruh mikir, lo malah ngarang. Eeehh giliran bahasa Indonesia yang disuruh ngarang, malah mikir,"

Entah Arga saja yang seperti itu atau yang lainnya pun sama. Bagas memang tidak memiliki kepintaran seperti Adelard dan juga Lala. Tapi bahasa Indonesia, menurutnya tidak terlalu susah untuk dikerjakan. Meskipun begitu, masalah dalam menulis tulisan yang benar adalah hal yang paling sulit untuk Bagas pelajari. Apalagi merangkai kata hingga menjadi suatu cerita. Mungkin merangkai kata untuk pujaan hatinya, yaitu Syalwa, Bagas bisa saja. Tapi untuk pelajaran, sepertinya Bagas juga mundur.

"Ayo lah La, berbagi itu indah!" rayu Arga pada Lala.

Lala memutar bola matanya malas. "Nomor berapa? Cepetan! Waktu gue gak lama!"

"Dua satu sampe empat puluh!"

"Gila, lo Ga! Gue kira satu nomor! Ituma maunya lo!"

"Lo itu harus jadi manusia yang bermanfaat, La! Udah pinter, suka menolong lagi. Idaman banget, gak, sih, Gas?" bisik Arga pada Bagas yang langsung mengerutkan keningnya lalu mengangguk mengiyakan.

Lala mendelik tajam ke arah Arga dan juga Bagas. "Itu namanya bukan bermanfaat, tapi DIMANFAATIN!"

"Orang pelit kuburannya sempit, La!" peringat Arga.

"Bodo amat! Kuburan-kuburan gue, kenapa lo yang rusuh? Kuburan lo juga belum tentu luas!" bentak Lala yang masih berbisik.

Adelard terkekeh mendengarnya. Begitu pula dengan murid yang lainnya. Bukannya mendapatkan jawaban, Arga dan Bagas malah mendapatkan omelan. Mereka berdua seperti membangunkan singa yang sedang tidur. Kini mood Lala benar-benar hancur. Ia kembali mengerjakan soal ujiannya yang tinggal beberapa butir nomor lagi. Sedangkan Arga dan Bagas mengandalkan jurus cap cip cup yang tidak pernah mereka lupakan setiap kali ujian sedang dilaksanakan.

Cinta untuk Cinta [TAMAT||REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang