Bagian 62

16 7 0
                                    

"Hidup itu seperti sebuah buku. Kita tidak akan tahu endingnya akan seperti apa, jika kita tidak membuka dan membaca setiap lembarannya. Satu hal yang perlu kamu tahu, bagian terfavorit dalam hidupku adalah saat bersamamu."

*****

Matahari, kini sudah tergantikan oleh bulan yang senantiasa menyinari gelapnya malam. Suara hewan-hewan kecil seperti jangkrik mulai terdengar menghiasi gelap. Jam yang terus berputar membuat suasana semakin terasa sunyi.

Kini, hubungan Cinta dan Adelard sudah kembali membaik. Adelard baru saja menyelesaikan ritual mandinya. Ia naik ke atas kasur king size yang sangat mewah itu. Tak berapa lama, Cinta datang dengan membawa secangkir teh hangat dan memberikannya pada Adelard. Suaminya itu langsung meneguk tehnya sampai tandas. Perlahan, Cinta naik ke atas kasur untuk bergabung bersama Adelard. Cinta menyambar sisir dan hairdryer yang ada di meja riasnya. Ia mulai mengeringkan dan menyisir rapi rambut milik suaminya itu.

"Sayang," panggil Adelard pada Cinta.

"Sayang, sayang, pala lo peyang!"

Adelard berdecak sebal sembari memutar bola matanya. "Ck, lo gak bisa sosweet, apa, Cin? Minimal pura-pura baper, lah,"

"Yeayyyy, rambutnya udah rapiii," ucap Cinta antusias tanpa menghiraukan ucapan Adelard. Ia menyimpan kembali sisir dan hairdryernya.

"Bentar, bentar, bau apa ini? Kek bau amis. Lo nyium bau amis, gak?" tanya Adelard tiba-tiba.

Cinta mulai mengendus-endus hidungnya. Mencari bau yang Adelard maksud. Tapi nihil, ia tidak mencium bau apapun. Apakah hidungnya sedang bermasalah, atau upil Adelard yang memang sudah membusuk? Cinta mengerutkan keningnya, lalu menggelengkan kepalanya kuat.

"Gue gak nyium bau apa-apa,"

Adelard mengerutkan keningnya. Lalu ia mengendus-endus kembali hidungnya. "Masa, sih? Bau amis, Cin,"

"Gue gak nyium bau apa-apa, Om,"

"Bau amis, Cin," keukeuh Adelard sembari menatap mata Cinta sangat lama. "Amisyuuuu," lanjut Adelard sembari tertawa renyah setelahnya.

"Sa ae lu, Tong!"

Adelard menangkup pipi milik Cinta dengan kedua tangannya. "I love you," bisik Adelard sembari menyelipkan salur-salur rambut wanita itu.

Cinta membalas tatapan Adelard. Lalu ia membuang nafasnya kasar. "I love you more," balas Cinta sambil mencubit pipi suaminya itu. "Utu utu utu, suami aku kok ganteng banget, sih?"

Adelard mengangkat sebelah alisnya. "Tumben muji,"

Cinta tak menghiraukan perkataan Adelard. Ia langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Begitupun dengan Adelard yang ikut berbaring di samping istrinya itu. Adelard membawa selimut dan menutupi tubuh dirinya dan juga Cinta.

Cinta menatap dalam mata milik Adelard. "You okay?"

Adelard membuang nafasnya kasar. "Yap, gue baik-baik aja,"

Cinta melemparkan senyuman termanisnya pada Adelard. "Lo emang pinter dalam segala hal, Om," jeda Cinta yang membuat Adelard menatapnya dengan serius. "Tapi kalo soal bohong, lo bodoh dalam soal itu,"

Adelard mencubit gemas pipi milik Cinta. "Udah ya, sekarang kita tidur,"

"Bagas,"

"Kita jangan ngomongin itu dulu, ya? Ngomongin yang lain aja atau kalo gak mau ngomongin yang lain, kita tidur aja, oke?" potong Adelard mulai membawa Cinta ke dalam dekapannya.

"Om," panggil Cinta sembari memainkan dada bidang milik Adelard.

"Hmm?" jawab Adelard sembari mengusap pelan surai hitam milik Cinta.

"Kalo lo mau cerita,"

"Gak ada yang perlu di ceritain, sayang. Kita bobo, ya?" potong Adelard lagi dan lagi. Hembusan nafasnya kian menggelitik puncak kepala milik Cinta.

Cinta dapat mendengarkan detak jantung Adelard. Ia tahu bahwa suaminya itu sedang tidak baik-baik saja. Ia hanya ingin menjadi istri yang berguna untuk Adelard. Istri yang selalu menjadi sandaran suaminya dikala suaminya itu terluka.

"Seenggaknya lo nangis, Om. Gue yakin, dengan begitu lo bisa ngerasa lebih tenang," ucap Cinta. "Kalo lo emang mau nangis, ya nangis aja. Gak perlu malu, gue kan istri lo,"

"Gue gak selemah itu Cin,"

"Ck, nangis itu bukan soal lemah atau enggaknya seseorang, Om," jeda Cinta. "Oke, kalo bicara soal nangis, mungkin banyak yang menganggap bahwa laki-laki itu gak pantes buat nangis. Entah itu karena lebay, alay, lemah, dan lain-lain. Padahal, nih, ya, laki-laki itu juga manusia biasa. Lo sebagai laki-laki juga punya perasaan, kan? Lo juga dianugerahi air mata sama Tuhan. Jadi, kenapa air mata itu gak boleh digunain? Kenapa harus malu saat lo bersedih? Dengerin gue Om, akan ada saatnya, dimana rasa sakit itu tak tertahankan, hingga akhirnya tubuh dengan reflek mengeluarkan air mata kesedihan. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya?"

Adelard menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Mengapa kata-kata yang keluar dari mulut Cinta begitu menyentuh hatinya? Bukan hanya malu, Adelard juga tidak ingin terlihat lemah di depan istrinya itu.

Namun malam ini, Adelard benar-benar merasa hancur dan ingin segera menumpahkan segala rasa sakitnya dalam dekapan istrinya. Benar kata Cinta, dirinya memang sangat membutuhkan tempat bersandar. Adelard perlu menangis, menumpahkan segala luka dalam hatinya. Ini bukan tentang lemah dan ini bukan lagi tentang menangis yang tak akan merubah apapun. Tapi tangisan ini adalah cara Adelard untuk menenangkan dirinya sendiri.

Tak terasa, air matanya keluar begitu saja. Kepergian Bagas membuat Adelard semakin merasa trauma dengan yang namanya kehilangan. Adelard semakin mengeratkan pelukannya pada Cinta. Ingin sekali Cinta mengusap air matanya. Namun, Adelard tidak memberikan celah untuk Cinta melakukan itu. Adelard terlalu malu jika Cinta melihat dirinya tengah menangis.

"Gak papa, menangis adalah salah satu cara tubuh lo buat ngurangin beban rasa sakit yang teramat dalam. Gue bakal selalu ada buat lo, Om,"

Lagi-lagi Adelard kembali memeluk Cinta. Membawa wanita itu ke dalam dada bidang miliknya. Tangis Adelard semakin menjadi. Cinta tersenyum mendengarnya. Setidaknya, dengan begitu, hati Adelard bisa menjadi sedikit lebih tenang. Cinta mulai memejamkan matanya. Laki-laki itu mengecup lama puncak kepala milik Cinta, lalu  perlahan ikut memejamkan matanya.

Cinta untuk Cinta [TAMAT||REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang