Bagian 44

30 14 4
                                    

"Maaf, telah lancang mencintaimu. Perasaan ini datang tanpa diminta. Seolah ingin menghapusnya, tapi tidak bisa. Diri ini tak bisa kukendalikan. Rasa ini tak pernah kurencanakan."

****


Siang telah berganti menjadi malam. Matahari yang menyorot sedari pagi, kini tergantikan oleh bulan yang sama halnya menerangi bumi. Cinta menutup gorden di kamarnya, sembari terus mengumpat karena sejak sore tadi Adelard belum berhenti bermain game. Cinta merebut stik PS dari genggaman Adelard. Si empunya pasrah walaupun hatinya tengah memanas ingin mengeluarkan amarah.

"Apa, mau marah?" tanya Cinta sembari melipatkan tangannya di depan dada.

Adelard gelagapan. Ia menggelengkan kepalanya. Ternyata wanita yang sedang menstruasi itu lebih menyeramkan dari apa yang dirinya bayangkan. Ia selalu disalahkan dan wanita yang sedang menstruasi itu maha benar.

Cinta meniru gerakan Adelard yang menggelengkan kepalanya. "Gulang-geleng, gulang-geleng, kaya orang bisu aja," ejek Cinta. "Kalo ditanya itu ya dijawab!"

"I-iya maaf, lagian tadi dikit lagi menang, malah lo rebut," ucap Adelard menatap nanar stik PS-nya yang tak lagi berada digenggaman tangan pemuda itu.

"Ooooo, mulai berani, ya, lo, ngejawab gue?" Cinta melotot ke arah Adelard.

"Kan tadi lo nyuruh gue jawab," bela Adelard pada dirinya sendiri.

Cinta mengangkat sebelah alisnya. "Terus? Maksud lo di sini gue yang salah, gitu?"

"Terserah lo deh,"

"Kayak cewek aja lo. Apa-apa terserah, apa-apa terserah, jadi cowok itu harus konsisten!"

"Terus gue harus bilang apa, hm?"

"TERSERAH!"

Adelard tidak menjawab apapun. Ia cengo dengan apa yang dilihatnya. Rasanya, hari ini Cinta tengah menjadi setan yang selalu membuat dirinya marah. Semua terlihat salah di mata wanitanya itu. Jika saja bisa, Adelard akan menelan Cinta hidup-hidup sekarang juga. Karena yang kini ia inginkan adalah, wanitanya itu enyah untuk sementara waktu dari hadapannya.

"Awas, gue mau mandi, bye!" ucap Cinta sembari membawa handuknya.

Adelard memukul udara. Ingin sekali ia berbicara, 'apakah dirinya terlihat peduli?' pada Cinta. Namun itu hanya akan sia-sia. Ia pasti akan disalahkan lagi dan lagi oleh wanita macan itu.

"Gue gak mau ngomong lagi sama lo!" Cinta memasuki kamar mandi.

Adelard mengusap dadanya tanda bersabar. "Bersabar, kepada Allah," teriak Adelard menyanyikan salah satu lagu religi.

"Bersyukur, bodoh!" ralat Cinta dari dalam kamar mandi membenarkan.

Adelard terkekeh geli. Meskipun Cinta begitu menyebalkan, tapi Adelard begitu menyayanginya. Akan tetapi, perasaan itu hanya bisa ia pendam sendiri karena gengsinya terlalu tinggi.

Waktu berlalu begitu cepat. Namun Cinta belum juga keluar dari kamar mandi. Adelard sedikit heran karena biasanya Cinta tidak se-lama ini jika mandi. Pikiran-pikiran buruk mulai terlintas dibenak Adelard.

"Jangan-jangan Cinta pingsan, lagi, di kamar mandi," batin Adelard lalu bergidik setelahnya. "Kalo beneran pingsan, gimana, ya? Masa Gue harus masuk ke kamar mandi, sih? Gimana kalo tuh anak belum di baju atau gak pake handuk, bisa-bisa iman gue tergoyahkan. Kan iman gue setipis tisu yang dibagi sepuluh,"

Adelard membuang pikirannya jauh-jauh. Sedari tadi dirinya terus mondar-mandir di depan pintu toilet--menunggu Cinta yang tak kunjung keluar juga. Dirinya ingin sekali memanggil wanita itu. Tapi diurungkannya niat tersebut karena tadi Cinta sempat berkata, jika ia tidak ingin berbicara dengannya.

Ceklekkk...

Pintu kamar mandi sedikit terbuka. Adelard cepat-cepat berlari dan naik ke atas kasur. Ia pura-pura memainkan ponselnya. Jika Cinta tahu sedari tadi dirinya mondar-mandir di depan pintu kamar mandi, pasti Adelard akan dituduh mesum oleh wanita itu.

"Om," panggil Cinta mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit.

"Hmmm," jawab Adelard tidak melirik. "Apa?"

Cinta menyunggingkan senyumnya hingga terlihat deretan giginya. "Gue minta tolong dong,"

"Apaan?"

"Kacamata gue, ambilin di lemari,"

"Buat apa?"

"Ya buat dipake, lah, gue lupa tadi gak bawa,"

"Ngapain masih di sana? Ke sini aja, kali,"

"Mana bisa? Handuk gue jatoh, jadi gak bisa di pake,"

Adelard berdecak sebal. Lalu ia bangkit mencari kacamata milik Cinta di dalam lemari. "Di lemari gak ada kacamata, adanya juga di meja," beritahu Adelard.

Cinta tampak berpikir. "Yaudah, sini!"

"Yang item apa yang putih?"

"Bebas,"

Adelard membawa kacamata hitam dan memberikannya pada Cinta. Ia tidak melirik Cinta, karena ia tahu Cinta akan mengira yang tidak-tidak pada dirinya. Namun yang dimaksud oleh Cinta bukanlah kacamata itu. Cinta memarahi Adelard hingga si empunya kebingungan karena tidak mengerti dengan jalan pikir wanitanya itu saat ini.

"Yang gue maksud bukan kacamata ini, tapi BH gue!" sembur Cinta frontal. Wajahnya memerah karena malu. Ia merutuki kebodohannya.

"Bilang dong, dari tadi!" ujar Adelard sembari kembali menuju lemari.

Adelard mulai membuka lemari milik Cinta. Ia mencari barang yang Cinta maksud. Setelah barang itu ada, laki-laki itu langsung mengangkatnya."Yang ini?"

Cinta menepuk jidatnya. Wajahnya kian memerah bak seperti kepiting rebus. "Gak perlu di angkat-angkat kaya gitu juga, Nyet!" larang Cinta merasa malu sendiri.

Adelard tidak menghiraukan Cinta. Ia memakai BH milik Cinta tepat pada kedua mata layaknya kacamata sungguhan. "Kacamata apaan yang bentukannya kaya gini?" tanya Adelard merasa cengo.

"Bangsat lo! Mana dipake segala, lagi," umpat Cinta berapi-api.

Cinta untuk Cinta [TAMAT||REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang