[1]

17.9K 462 1
                                    

Di suatu pagi hari yang cerah, dalam sebuah kediaman mewah terlihat seorang perempuan cantik tengah duduk di kursi pantry dapur sedang menatap layar ponselnya tanpa ekspresi.

Jihan menutup layar benda pipih tersebut setelah melihat jam pada pukul 07.34 pagi. Sesekali menyesap teh hangat tanpa rasa yang ia pikir tanpa gula. Entah, Jihan lupa ia menaruh gula atau memang perasaannya saja yang terlalu pahit saat ini.

Sedikit tersentak saat mendengar langkah kaki tegas seseorang mendekat menuju dapur.

Itu suaminya tercinta.

Untaian rambut panjangnya itu, ia elus, berupaya tidak menuruti kata hatinya yang memaksanya untuk menoleh. Jihan mempertahankan diri dalam posisinya agar tidak terlihat terlalu menyedihkan.

Walaupun sebenarnya tidak cukup membantu. Jihan lemah jika berhadapan dengan Arka.

Atmosfer hening itu terpecahkan saat suara air mineral hangat dari teko kaca yang sebelumnya Jihan siapkan untuk sang suami meluncur menuju gelas dalam genggaman tangannya.

Suara itu terdengar cukup nyaring hingga Jihan tidak tahan lagi untuk membuka suara.

"Mas semalam tidur di ruang kerja lagi, ya?" tanyanya, takut membuat Arka terusik.

Jihan menatap punggung tegapnya yang sudah terbalut jas kantor sambil mengelus bibir gelas teh di tangannya, gugup.

Berdiri penuh harap pada laki-laki itu. Pernikahan sudah berjalan dua tahun tetapi semakin hambar rasanya hingga setiap hari Jihan gelisah. Takut kalimat itu akan terucap. Kata-kata yang tak akan Jihan sanggup untuk mendengarnya

Contohnya sekarang ini, Jihan belum menyerah untuk se-ramah mungkin pada Arka, seolah-olah semuanya baik-baik saja.

"Kamu melewati batas lagi."

Jihan tertegun, sambil mendekat wanita itu menatap wajah pria yang ia cintai sepenuh hati itu dengan sayu. Nafasnya memberat, begitu lirik kan matanya berhasil bertubrukan dengan netra kelam Arka.

Jihan menunduk. Arka sangat datar berbeda dengan saat-saat sebelumya.

Bibir tebal pria itu selalu menyunggingkan senyuman manis tapi sekarang selalu rapat, bicara pada Jihan hanya seperlunya saja.

"Aku ..." ucap Jihan tergantung.

Arka menatap dingin istrinya. Bola mata cantiknya berkaca-kaca seolah Arka telah melakukan kesalahan yang membuat hati istri cantiknya itu terluka.

Dia menaikan satu alis, dengan kaku menghapus air mata Jihan yang meluncur begitu saja.

Tangannya hangat namun, sikapnya sangatlah dingin.

"Maaf," parau Jihan. Memilih untuk bungkam.

Paras nyaris sempurna namun tampak luar biasa di mata istrinya itu selalu terdiam bungkam tanpa sepatah kata pun untuk menjelaskan, mengapa kehidupan pernikahan mereka satu tahun belakangan ini seperti sepasang suami-istri yang menikah secara terpaksa?

Seolah-olah tidak ada cinta sejak awal.

"Kamu tidak melakukan kesalahan Jihan ... Jangan cengeng," katanya.

Jihan menggeleng lemah. Tak kuat menatap lama-lama wajah tampannya. Tidak! Seharusnya Mas Arka yang merasakan perasaan seperti ini bukan Jihan. Dadanya sesak. Arka begitu hangat sebetulnya tapi Jihan tak puas, karena sikap Arka yang sudah cukup keterlaluan padanya belakangan ini.

Suaminya itu seolah-olah menyiksa Jihan secara batin.

"A-Apa Jihan melakukan kesalahan, Mas?" tanya Jihan kembali, dengan suara bergetar. Menatap kembali Arka dengan pandangan menyakitkan.

Arka malah tersenyum kecil. Sekilas mengalihkan pandangannya. Membuang nafas kasar lantas melangkah maju.

Kedua tangan kekar itu menumpu pada bibir pantry. Menunduk pada Jihan yang sudah berlinang air mata.

Visual Arka terlihat kaku namun masih bisa membuat jantung Jihan berdebar, karena rasa cintanya tak pernah pudar walaupun sudah tidak dianggap lagi sebagai istri.

Mengapa pria yang di cintainya sejak SMA itu kini terlihat menakutkan? Jihan takut, jika ternyata dirinya benar-benar telah berbuat kesalahan yang fatal pada Mas Arkan tanpa Jihan sadari.

Tapi apa?! TOLONG KATAKAN!

Dalam hati Jihan terus menjerit.

"Saya tidak bisa jawab."

Jihan menghela nafas pelan. Sungguh berat kehidupannya.

Jihan lantas tertunduk seraya meremas dress selutut pemberian Arka ketika ulang tahun pernikahan mereka yang ke 1 tahun yang ia pakai, mungkin akan menjadi barang kedua yang ia benci setelah benda melingkar di jari manisnya itu nampak mengkilat seakan benar-benar siap melukainya kelak.

Jihan ingin sekali memeluk Arka. Aroma tubuh Arka yang ia rindukan menyesakkan dadanya seolah tak akan lama lagi aroma ini akan menghilang kelak saat benar-benar berpisah darinya.

"Kamu gak cinta lagi sama aku Mas!?" Jihan memberikan sangsi. Tatapan menusuk Arka dengan pandangan lurus. Terlihat frustasi.

Arka memilih acuh tak acuh menatap arloji di pergelangan tangannya. Melangkah mundur, menjaga jarak kembali. Semua itu tak pupus dari pandangan Jihan yang nampak menyakitkan.

"Saya hampir terlambat."

"MAS?!"

Arka hanya menatap dingin Jihan seolah memperingati.

Jihan lagi-lagi hanya bisa terdiam kaku seperti biasa.

"Sampai kapan kita terus seperti ini?" vocal Jihan terdengar bergetar seiringnya kuku - kuku jarinya menusuk telapak tangan yang mengepal.

Jiwanya terasa terenggut tanpa alasan jika terus berhadapan dengan Arka yang satu tahun belakangan sudah seperti orang lain.

"Jihan." Bariton Arkan terdengar lembut dan halus sampai rasanya seperti menyayat hati Jihan perlahan, "saya akan berangkat kerja, kita bahas pembicaraan ini lain kali karena akan ada waktunya nanti."

"Maksud k-kamu, Mas?" Arka mengusap wajahnya.

Menatap Jihan dengan tatapan serius.

"Cara kamu seperti ini seakan-akan kamu ingin mempercepat perpisahan kita Jihan! Saya berangkat dulu."

"Apa..?"

Jihan langsung terguncang sampai terduduk lemas di lantai dapur yang dingin.

Bukan seperti itu yang Jihan maksud! Arka memang keterlaluan. Sungguh, Jihan benar-benar kecewa pada suaminya itu.

Pria itu sudah melanggar janjinya terhadap Mamanya. Tega sekali kamu Arka!

Saat hendak menaiki anak tangga berikutnya langkah Arka terhenti, dia menoleh sekilas dengan tatapan sulit diartikan sebelum bersuara.

Tubuh Jihan bergetar. Bahkan terlihat dari belakang saat Arka menatap jauh di atas tangga.

"Ingat, nanti siang kita ada janji sama Mama dan Papa jadi ... Jangan lupa."

Terasa hening usai langkah kaki suaminya sudah tak terdengar lagi. Rumah ini terasa dingin, tidak lagi sehangat dulu.

Rumah besar yang tak mampu menampung besarnya rasa sakit dan luka yang Jihan rasakan.

Jihan terisak, menghapus air matanya dengan paksa kemudian merapikan pakaiannya.

Ya, seperti biasa. Perempuan itu akan menangis sendiri begitu juga bangkit sendiri, seolah-olah dirinya benar-benar kuat atas hidupnya yang seperti ini.

Jihan menatap meja makan yang penuh masakkan buatannya yang sama sekali tidak tersentuh sedikit pun oleh suaminya itu.

Padahal Jihan menyiapkan semuanya dengan penuh kasih dan harapan yang besar. Namun, semuanya sudah jelas.

Kehidupan rumah tangganya dengan pria yang di cintainya sepenuh hati itu, ternyata tidak akan bertahan lebih lama lagi.

Cepat atau lambat.




 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang