[10]

7.1K 290 2
                                    

“Iya Tante Jihan kenal kok. Kak Arka, kan populer banget disekolah.” Jawaban Jihan di angguki dengan kekehan Papa Arka serta senyuman Marinda.

Tentu, siapa yang tak kenal Arka Maven? Cowok terpintar di SMA Garuda Bangsa punya circle pertemanan yang isinya para Most Wanted sekolah mereka yang jelas dari kalangan keluarga elit. Jihan sangat tidak mau memikirkan betapa sempurnanya kehidupan Arka apalagi para sahabat cowok itu.

Jihan melirik sekilas Arka yang terlihat tidak peduli dan tetap menyantap hidangan penutup didepannya tidak terganggu. Telapak tangan Jihan berubah menjadi kepalan kuat di atas pahanya. Arka memang bersikap kurang ajar dari dulu, pantas saja dimasa depan dia berselingkuh walaupun awalnya memang tulus tapi tetap saja stelan awal akan kembali.

Duh! Lagi-lagi Jihan tidak bisa memikirkan Arka terlalu banyak kepalanya jadi pusing dan rasa sesak di dadanya terasa menyesakkan mau bagaimana pun juga jiwa Jihan di masa depan yang sekarang masuk ke tubuhnya yang di masa lalu membawa semua rasa terakhir yang ia rasakan ke masa ini.

Gadis itu memutuskan bangkit dari kursinya dan segera pada orang tua untuk izin ke toilet sebentar.

“Jangan lama-lama yah, sayang,” ujar Mamanya.

Jihan tahu setelah ini apa yang akan mereka bahas, makanya Mamanya meminta Jihan untuk cepat-cepat kembali.

Jihan masuk ke salah satu bilik toilet kemudian menutup closet dan duduk disitu.

Jihan menyalakan penyiram closed lantas mengambil ponselnya. Menatap layar menyala itu yang sebentar lagi waktu Maghrib tiba.

Waktu berjalan begitu cepat. Jihan menghela nafas berat kemudian ponselnya tiba-tiba mendapatkan notifikasi chat dari nomor tak dikenal.

“Siapa?”

Save nomor gw.
Raega.

“Kak Raega?”

Pasti dari Agatha makanya Jihan tidak perlu lagi bertanya-tanya dari siapa kakak kelasnya itu dapat nomor miliknya.

Jihan menatap cermin setelah keluar dari bilik toilet. Menatap wajah cantik itu dengan penuh tanya.

“Sebenernya aku kenapa?” monolog Jihan menatap pantulan wajahnya di cermin dengan ekspresi tidak mengerti.

“Apa aku dimasa depan sudah mati? Kecelakaan itu...”

Ceklek

Jihan terkesiap saat tiba-tiba pintu terbuka dan munculah seorang cowok membuat Jihan terkejut. Bagaimana bisa dia berani masuk ke toilet perempuan? Untung saja hanya ada dirinya didalam jadi Jihan tak perlu khawatir.

“Lo ngapain disini?”

“Dengerin gue.”

Arka mengunci Jihan dalam kukunganya diantara kedua tangannya yang lebih besar dan terlihat atletis. Jihan menahan nafas jarak, Arka tiba-tiba terlalu dekat membuat Jihan takut jika cowok itu mendengar degup jantungnya yang berdetak cepat.

Bukan karena berdebar tapi Jihan masih belum siap berdekatan dengannya. Sungguh.

“Lo tahu apa yang mereka rencanakan bukan.” Ini bukan pertanyaan karena Arka terlihat tidak peduli.

Jihan mengubah rautnya lantas menatap lurus Arka.

“Menurut lo?” gadis itu tersenyum membalas.

Jihan lupa, dulu Arka juga melakukan hal ini dan berakhir dengan sebuah kesepakatan namun, perkataan yang keluar dari mulutnya agak sedikit berbeda dengan apa yang terucap dulu. Apa mungkin karena jawaban yang Jihan berikan juga berbeda? Sepertinya mungkin saja.

“Berani juga ternyata, sebelumnya gak kayak gini perasaan. Mau balas dendam?”

Hah? Tidak mungkin laki-laki itu tahu!

“Maksud Kak Arka?”

Cowok berambut hitam itu memberi jarak namun tatapan tajamnya tak lepas dari Jihan.

“Karena gue sempat perlakukan Lo gak baik pas MOS,” ungkapnya, melirik seisi toilet.

Jihan mengelus dada lega dan itu tertangkap oleh Arka yang langsung menatap aneh Jihan. Cowok berahang tegas itu memasukkan tangannya ke saku celana dengan tampang menilai.

“Tenang aja, Kak Arka gak perlu khawatir Jihan bakalan tolak perjodohan ini,” ucap Jihan dengan raut sedih.

Arka ngangkat satu sudut bibirnya ke atas, tahu akan sikap penuh ke pura-pura yang Jihan lakukan barusan.

“Lo pura-pura polos gak tahu tapi ternyata..”

Jihan terdiam. Dirinya juga sadar akan apa yang ia lakukan. Jihan bukan tipe gadis yang bisa bersikap kasar tiba-tiba atau pun polos secara drastis. Demi kehidupan masa depannya yang tak ingin sama seperti terakhir kali— ia tertabrak mengenaskan hingga mati. Jihan rela berperan walaupun amatir sekalipun. Namanya juga usah kan?

“Gue gak peduli apa rencana yang ada di otak kecil lo itu! Asal tau aja, gue gak tertarik sama perjodohan-enggak! Lebih tepatnya, Gue gak tertarik sama Lo sebagai cewek jadi—”

“Kak Arka juga gak usah ge'er. Tanpa kakak suruh pun, aku bakalan tolak perjodohan ini jadi ... Gak usah khawatir.”

Jihan membanting pintu toilet hingga terdengar bunyi nyaring cukup keras. Gadis itu pergi dengan hati dongkol.

Ini lebih menyebalkan dari Arka yang dulu!

Sedangkan sosok yang masih menatap jejak kepergian gadis berambut pendek tadi masih terpaku dengan apa yang dilakukannya.

Arka mengerut alis. Tak lama juga mengikuti arah Jihan pergi.

Para orang tua yang sedari tadi cemas dengan anak mereka masing-masing akhirnya lega saat melihat Jihan kembali dan kini sudah duduk di kursinya lagi diikuti Arka berjalan di belakang.

“Kenapa lama banget?” tanya Maya berbisik pada Jihan disampingnya.

Dengan wajah kesal yang belum luntur Jihan menjawab, “Enggak kok, Mah pas di lorong Jihan ketemu Kak Arka dan kita sedikit ngobrol tadi,” jawab Jihan, tak lama ia tersenyum manis dengan ucapan suara yang jelas-jelas keras membuat orang yang namanya dibawa-bawa langsung mengangkat kepalanya memandangi si gadis berambut pendek yang kini tersenyum melihat Mama dan Papanya.

“Sungguh? Kalian—Maksud Mama Arka sama Jihan tadi saling sapa?” Marinda menatap anaknya dengan senyuman sumringah apalagi sang suami serta orang tua Jihan yang merasa lega jika keadaan kedua anak itu mungkin saja sudah bisa menerima situasi dan-

“Enggak!”

Arka berdiri dengan tegas menatap Mama dan Papanya. “Maksud kamu Arka?” Marinda dengan dahi mengerut lalu melirik Jihan serta sang putra yang kini sepertinya tengah perang saraf.

Mereka tidak pernah menduga hal ini.

“Arka denger kalian bakalan menjodohkan Arka sama gadis itu?” Arka menunjuk ke arah Jihan dengan jari telunjuknya tepat didepan di dahi gadis itu.

Mereka semua terkejut namun tetap mengangguk mengiyakan. “I-iya sayang.” Marinda menatap cemas Maya serta Dito.

“Itu benar.”

Giliran Jihan menatap Mama dan Papanya dengan keterkejutan yang jelas palsu dimata Arka.

Cowok itu tersenyum miring.

“Kita sudah membicarakannya tadi Mah, Pah dan juga Om, Tante.” Arka melirik Jihan kembali. Kali ini sudut bibirnya semakin tertarik membentuk sebuah senyuman yang tampak mengerikan dimata Jihan.

“Kita menerima perjodohan ini.”

Wtf.

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang