[18]

3.7K 141 3
                                    

Mereka kembali ke rumah. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda Jihan menatap wajah mamanya yang terlihat cemas serta papanya yang bingung. Sepertinya mereka juga terkejut atas sikap Jihan barusan.

Jihan berpikir bagaiman jadinya jika nanti ia benar-benar sudah memutuskan pertunangan ini. Apakah persahabatan orangtuanya dengan orangtua Arka menjadi rusak?

Tapi Jihan juga ingin bahagia. Dan papanya tetap ada melengkapi keluarganya. Dada Jihan terasa sesak atas pilihan hidup yang sama-sama ada konsekuensinya masing-masing ini.

“Maaf atas sikap Jihan tadi,” ucapnya, pada semua orang.

Disampingnya Arka hanya menatap Jihan. Ini bukan apa-apa, pikirnya.







Tigapuluh menit sebelumnya..

“Hanya satu bulan.”

Jihan mencoba berusaha untuk tetap sabar bagaimana pun juga dari awal memang sudah tidak sesuai dengan apa yang Jihan harapkan.

Gadis berambut pendek itu mengusap poninya mencoba kuat didepan lelaki itu. Sebenarnya apa yang Arka rencanakan untuknya?

“Hanya satu bulan sebagai tunangan gue, selepas itu gue gak akan ganggu lo lagi,” lanjutnya.

Jihan bergeming.

“Kenapa harus gue?”

“Hanya lo yang gue mau.”

Kata itu pernah terucap dulu namun bukan dalam situasi seperti ini. Jihan tidak akan mengingat hal yang pernah terjadi lagi karena itu akan menyakitinya.

Arka melangkah satu langkah ke depan. Menatap Jihan yang sedang terpejam dengan kedua tangan mengepal dalam posisi berdirinya.

Aroma khas cowok itu seketika tercium membuat Jihan langsung membuka kelopak matanya. Mereka saling tatap seolah saling menilai.

“Apa keuntungan gue sebagai tunangan lo?” tanya Jihan.

Arka perlahan membelai pipi Jihan. Sentuhan lembutnya berusaha memikat namun tetap tidak berhasil.

Arka mendecih, “Sepertinya ada sesuatu dari gue yang lo gak suka.” Dan Jihan melayangkan sorot mata benci padanya.

Kenapa cowok jangkung itu selalu menelisik dalam pada diri Jihan. Apakah sepenting itu Jihan sebagai tunangannya?

Ia rasa, hanya sebagai akal-akalannya saja agar bisa memanfaatkan Jihan dan bebas membuat Jihan menderita.

“Lo perlu belajar bagaimana menilai diri sendiri. Gak semua orang akan selalu suka sama lo atau bahkan.. sepertinya lo sendiri emang gak sadar ternyata belum tahu kekurangan lo?” Jihan tersenyum miring.

Gadis itu mengelap poni serta pipinya yang barusan Arka sentuh dengan tatapan tajam Jihan sengaja menepuk pipinya hingga memerah.

“Gue gak sudi disentuh tangan kotor lo itu.”

Arka mengulum bibir dengan tatapan tidak percaya. Sebenarnya siapa orang didepannya itu? Bisa-bisanya bersikap seolah Arka memang musuh bebuyutannya.

“Gue tanya sekali lagi sama lo.” Jihan mendongak lebih dekat lagi pada bola mata pekat cowok tampan itu. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Jihan tak membuatnya kesusahan sama sekali. “Apa keuntungan gue kalau jadi tunangan lo selama satu bulan?”

Sebelum menjawab lelaki itu mundur satu langkah. Dengan kepala dimiringkan Arka membalas. “Tertarik?”

Sialan emang!

Arka terkekeh kecil dan malah membuat ketampanannya terlihat berkali-kali lipat lebih indah. Cowok itu mempermainkannya.

“Gue serius,” tekan Jihan.

Arka seketika menghentikan tawa kecilnya dan langsung mendekat secepat kilat dihadapan Jihan.

Mata elangnya memancarkan keseriusan yang mendalam. “Gue gak main-main dengan ucapan gue sendiri.” intonasi rendahnya itu mutlak dihadapan Jihan. Tak ada jarak lagi.

Satu tangannya sudah mengelus dagu Jihan dengan semirk khasnya.

“Selama satu bulan lo bisa minta apapun yang lo mau begitupun sebaliknya.” Pikiran Arka tak pernah salah. Gadis itu sama saja dengan yang lainnya.

Semua perempuan sama dimatanya. Arka tersenyum sinis tanpa Jihan tahu.

“Kita tunangan Minggu depan.”

Flashback end.



“Jadi bagaimana?”

Jihan menoleh pada Marinda. Wanita itu terlihat sekali cemasnya, ia terlanjur sayang dengan Jihan dan perjodohan ini juga sudah terbuat dari sejak kedua anak mereka masih kecil.

“Kalian gak ada masalah lagi kan, Jihan, Mama tanya sekali lagi kenapa kamu malah nangis tadi,  hm?”

Tidak! Bukan hanya Mamanya Arka yang terlihat khawatir. Tapi semua orang juga berperilaku sama. Yang mereka tahu Arka dan Jihan sudah sepakat atas memajukannya tanggal pertunangan mereka.

Arka memberi tahu semuanya setelah pulang sekolah. Dan Jihan juga tidak masalah jadi yang mereka bingung kan kenapa Jihan menangis dan tiba-tiba syok sebelumnya saat tahu keluarga Adi Utama datang ke rumah.

“Nggak kok Tan, tadi emang lagi ada masalah aja sama .. Kak Arka.”  Jihan melirik Arka yang tengah terdiam dengan wajah pura-pura ramahnya dan semua mengangguk, mengerti akan seperti apa anak-anak remaja bertengkar namun melihat Arka dan Jihan sudah baik-baik sja Mama dan Papa Arka merasa lega serta Maya dan juga Dito masih menatap putrinya dalam diam.

“Ma, Pa Jihan serius loh tadi udah dibicarakan baik-baik sama Kak Arka diluar. Maaf makan malamnya jadi rusak gara-gara aku,” sesal Jihan.

Padahal sebenarnya Jihan memang sudah makan malam diluar bersama Raega jadi perutnya tidak keroncongan.

“Iya kita percaya kok,” ujar Maya tersenyum menenangkan.

“Yaudah, kita lanjutkan saja acara makan-”

“Oh maaf sayang, tadi kita sudah duluan saat kalian keluar.”

“Benar. Gimana kalo kamu temenin Arka makan aja? sekalian juga kalo ada masalah cepat selesaikan yah, gak baik lama-lama berselisih.”

Jihan terbengong saat mendapatkan anggukan dari para orang tua itu. Menatap Arka yang terlihat biasa saja saat Mama dan Papanya akan bubar sedangkan dirinya duduk di kursi meja makan.

“Ma, kok tinggalin Jihan sih?” Jihan menatap nanar Mamanya.

Gadis itu menarik lengan Mamanya, lantas Maya berbisik, “Kita mau bahas pekerjaan di atas sambil minum teh. Selagi kamu pendekatan sama Arka, kita mau nentuin tanggal buat pertunangannya.”

“Tapi—Ma?”

Maya kembali menoleh, “Apalagi sayang?”

“Aku udah bilang sama Kak Arka. Kita akan tunagan Minggu depan.”

“Seius?!” Jihan mengangguk dengan bibir mengerucut membuat Maya gemas dan ingin segera menyusul suaminya beserta calon besannya. “Ini kabar baik. Mama mau susul Papa kamu dulu dan jangan lupa perlakuan Arka dengan baik Jihan. Ingat itu.”

Jihan menatap kepergian Mama dengan kecewa. Ia kira Mamanya tetap bersama Jihan setelah ia kasih tahu kapan pertunangannya agar tidak perlu lagi banyak bicara dan keluarga Arka langsung pulang saja sana.

“Lo mau berdiri disitu terus, hm?”

Jihan menghela nafas berat namun tetap melangkah mendekati meja makan dimana Arka dengan tampang menyebalkan seolah bersiap memerintah dirinya.

“Apa?” sungut Jihan dengan ketus.

“Suapin.”

Hah?

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang