Saat jam istirahat kantor telah tiba, Arka bangkit dari kursi kerjanya. Laki-laki gagah dengan wajah datar itu mengancingkan jasnya dengan santai.Ia menatap jam dinding di sana. Arka terdiam cukup lama hingga lambat-laun terdengar suara tawa terdengar rendah, ironis serta menyakitkan mengingat segala persoalannya.
Arka menutup wajah dengan tangan lebarnya, lelehan air mata yang terasa hangat, membuatnya merasakan sesuatu yang teramat ia benci. Wajah Jihan terus memenuhi kepalanya hingga saat ini, membuat fokusnya teralihkan jujur saja Arka juga lelah. Mengingat riwayat hidupnya pasti tidak akan membuat Jihan bahagia bersamanya lebih lama lagi.
Ada hal yang belum mampu Arka utarakan pada Jihan, ada banyak keputusan yang perlu Arka ambil dan semua itu bukan hanya dari keputusannya. Arka akan melewati ini semua dengan melepaskan Jihan. Apakah laki-laki itu yakin? Tentu saja, Arka masih bimbang.
Tetapi, akhir dari semua ini mungkin sudah ia putuskan tergantung sikap Jihan yang akan seperti apa lagi demi bertahan.
Pintu ruang kerjanya di ketuk seseorang, membuatnya langsung membalik tubuh sejenak seraya tangannya berhasil mengambil sesuatu dari dalam laci meja kerjanya kemudian dengan cepat memasukan sesuatu ke dalam mulut dengan cepat.
"Masuk."
Arka masih berdiri hanya saja kini sudah menatap siapa yang datang ke ruangannya.
"Tiba-tiba saja ada meeting mendadak, Pak-"
"Batalkan."
Laki-laki berahang tegas itu meraih kunci mobil di meja kerjanya serta ponsel, tak lupa. Membawa dua benda itu ke saku jasnya. Namun, wanita itu malah menarik lengannya begitu saja. Tanpa menoleh Arka sudah tahu pasti wanita itu akan menginterogasi dirinya lagi.
"Soal pernikahanmu ak-"
"Tiara!"
"Y-ya?" Tiara gugup, dia langsung melepaskan tangannya dari lengan Arka. Ekspresi dari sahabatnya itu membuat Tiara cukup terintimidasi.
"Kamu semakin menakutkan Ar. Aku harap Jihan lebih kuat menghadapi kamu yang begini. Jujur saja aku... Kasihan."
Saat nama istrinya di sebut Arka terdiam kaku. Jari-jari tangannya terkepal hingga kukunya melukai telapak tangan sendiri tanpa di sadari. Berusaha menahan diri.
Laki-laki itu membuang nafas kasar lalu mendekat dengan diiringi ucapan bernada rendahnya.
"Kamu gak perlu ikut campur lagi Tiara. Aku akan selesaikan semuanya tanpa tersisa."
Tiara bedeham, "Oh ya? Tega sekali kamu."
"Saya ada janji keluarga, kita hanya ketemu pukul seperti biasa. Saya pergi dulu."
Arka pergi dengan tergesa-gesa sedangkan Tiara meletakkan beberapa berkas di meja Arka dengan kasar.
Air muka wanita itu tampak kentara. Penuh frustasi tanpa orang tahu. Menatap jejak Arka yang telah di telan waktu, Tiara menatap jam dinding di sana dengan tatapan mata teguh.
"Ku harap ada kabar baik darimu Ar."
***
Rumah besar kediaman Adi Utama ramai dengan keluarganya. Siang ini bukan hanya sekedar makan siang biasa tetapi benar-benar di adakan dengan ramai.
Bahkan ada para bibinya Arka dan anak-anaknya yang sudah duduk di kursi masing-masing.
Meja panjang yang sudah di duduki oleh sebagian keluarga besar Arka membuat Jihan canggung. Pasalnya Arka dari tadi belum sampai juga serta Jihan hanya sibuk menunduk dengan pikiran berkecamuk.
Apa ini?
Tidak mungkin, kan, Mas Arka mengumumkan cerai di hadapan semua sanak keluarganya?
Jihan tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Perempuan itu cemas dengan keringat dingin di kedua tangannya. Ia pun meraih segelas air putih untuk menetralkan perasaannya.
Hingga sebuah tangan yang sudah berkeriput hinggap memegangi tangan Jihan. Ia terkejut dan langsung menoleh ke samping kanannya.
Wanita tua yang penuh wibawa itu tersenyum manis hingga kedua matanya menutup membuat Jihan tanpa sadar ikut merasa tenang oleh hantaran hangatnya. Sangat ramah dan perhatian, Jihan merasa sedikit lega lalu meletakan gelas minumnya perlahan di meja.
"Kenapa nak?" usapan lembut Nenek Arka membuat Jihan tertegun mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya Jihan dari tadi pikirannya di penuhi Arka.
Apakah laki-laki itu baik-baik saja?
Kenapa juga belum sampai?
Apakah terjadi sesuatu dijalan?
TIDAK! Lebih buruk lagi jika Mas Arka benar-benar membahas perpisahan mereka. Jihan tidak akan sanggup.
"Jihan tidak apa-apa, Nek. Jihan cuma cemas, kenapa Mas Arka belum sampai juga."
"Tak usah cemas nak, mungkin Arka sedang di jalan sebentar lagi akan sampai. Biasanya jalanan juga macet, kan." Nenek Mayang tersenyum kembali. Ternyata ucapannya terdengar Marinda-Mamanya Arka yang sedari tadi duduk di sampingnya Nenek Mayang.
"Mama kira kalian berangkat ke sini bersama, kenapa gak bareng aja, hm?"
Itu juga yang di pikirkan Jihan, mengapa Mas Arka menyuruhnya untuk berangkat sendiri tanpa dia jemput. Dulu sih, mereka pasangan yang romantis selalu bersama namun perubahan drastis dari suaminya itu mengundang banyak tanda tanya besar bagi Jihan. Berhati-hati agar setiap katanya tidak menyingung Arka tapi tetap saja, Jihan sepertinya memang tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
"K-kata Mas Arka, dia sibuk makanya Jihan di suruh berangkat duluan aja, Ma." Jihan tersenyum meyakinkan dan langsung di balas anggukan sejenak dari Mamanya Arka namun perkataannya kembali terlontar membuat Jihan merasa terelakkan.
"Loh, kan udah waktunya jam istirahat juga. Lagi pula, Arka Direktur di Perusahaannya sendiri, kan bisa langsung tunda dulu, ini kita buat acara makan siang bersama bukan sekedar makan siang lho.." Marinda melirik Putra pertamanya.
Mendengarkan Mamanya yang bicara cukup kencang itu membuat Gama dan Siska-isterinya, menatap Marinda dengan senyuman malu.
Jihan terdiam dengan wajah sedikit bingung. Entah apa yang akan dipersiapkan semoga bukan sesuatu yang menyangkut dirinya. Maksud Jihan, tentang pernikahan Jihan dan Arka.
Perbincangan itu terpotong dengan suara derap langkah berat sepatu yang cukup lantang seketika jantung Jihan berdegup kencang. Hatinya berdebar saat Arka datang menuju hadapannya menatap Jihan serta keluarga besarnya.
Marinda tersenyum, menyambut hangat anak bungsunya itu. Jihan bisa melihat saat Arka memeluk Mamanya, laki-laki itu menatap lurus Jihan lalu tak lama menyapa semua keluarganya dengan hangat.
Ekspresi itu yang Jihan rindukan. Arka yang dulu hadir. Suaminya tersenyum sembari berjalan tegas mendekati Jihan yang refleks langsung berdiri tegap. Wajahnya mendongak, Arka lebih tinggi darinya, sinar netra penuh ketulusan seakan banyak ruang murni untuk orang dihadapannya. Cinta yang tulus dan kini berubah sendu.
Arka memeluk Jihan erat langsung membawanya pada rengkuhan akan kerinduan teramat panjang. Seakan mereka baru bertemu lagi setelah sekian lama dan hal itu membuat Jihan terharu namun tak mampu berkutik lagi.
Jihan membalas pelukan suaminya itu sayup-sayup sambil mendengar Arka berkata.
"Maaf, telah membuatmu menunggu terlalu lama..., sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] AKHIR YANG TAK SAMA
RandomSetelah perceraiannya terjadi, Jihanara Cilyn merasa jika hal yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Menandatangani surat cerai dengan impulsif. Saat semuanya benar-benar berakhir, perempuan itu tersadar, harusnya ia mencari tahu segalanya terle...