[6]

7.7K 320 1
                                    

Waktu berjalan dengan cepat. Hari bergulir seperti mimpi, tidak terasa hidup namun setiap rasa takut, sedih dan kesendirian begitu pekat terasa serta masih banyak hal yang sebelumnya Jihan rasakan, ia memproses segalanya dengan celah hati yang masih tersisa.

Terdengar tiga kali ketukan palu yang sudah merubah status Jihan menjadi seorang janda.

Jihan malu pada keluarganya begitu pula pada Mama dan Papa Arka, tak lupa juga para bibinya dan ... Ena. Jihan benar-benar tidak bisa mengabulkan permintaan gadis kecil itu serta merasa tidak ada harapan lagi untuk merasakan keharmonisan keluarga besar Arka.

Begitu berat melepaskan sebuah keluarga yang sudah Jihan anggap seperti keluarga kandungnya sendiri.

Walaupun sidang itu di hadiri beberapa anggota keluarga dan saksi ke dua belah pihak, nyatanya berat sekali bagi Jihan yang seorang diri.

Apalagi saat netranya tidak sengaja menemukan Arka terlihat biasa saja, dia tidak terlihat sedih sama sekali. Jihan tidak bisa menatap Marinda saat ini juga, bahkan setelah semua bubar pun, Jihan memilih pulang terlambat. Berdiam diri tanpa sedikitpun bergerak dari tempatnya.

Jihan termenung di kursi, merasakan betapa menyakitkannya ini semua. Jihan mencintai Arka seutuhnya dan sekarang itu tak ada artinya lagi.

Jihan ingin pulang ke mamanya tapi dirinya tidak punya kata-kata untuk menjelaskan apa yang terjadi, yang jelas pasti Marinda kecewa pada mamanya karena Jihan telah merusak semuanya.

Perempuan itu sengaja tidak memberi tahu Mamanya atas perceraian ini. Jihan bingung harus mulai darimana.

"Jihan."

Suara dengan sentuhan hangat dari pundaknya menampilkan sosok wajah keriput seorang wanita tua tengah duduk di sampingnya menatap ke arah depan.

Semuanya terasa berjalan dengan cepat padahal belum lama percakapan waktu acara makan bersama itu masih terasa jelas begitu pun perceraian ini.

"Apakah ini yang dimaksud 'baik-baik saja'?"

Jihan segera menghapus air matanya, menatap Nenek dari mantan suaminya itu dari samping, membalas tersenyum. "Kehidupan tidak ada yang tahu Nek, Jihan tidak apa-apa."

"Jika 'tidak apa-apa' mu itu, tidak menangis, mungkin Nenek bisa paham tapi Nak, nenek tahu kalian masih saling mencintai. Anak kurang ajar itu pasti akan menyesal atas tindakannya sama kamu."

"Tapi Mas Arka sendiri yang mau Nek, mau bagaimana lagi? Jihan tidak menerima di selingkuhi. Apalagi, tadi Tiara tetap menemani Mas Arka sampai selesai." Jihan tersenyum kecut lantas tertunduk, meremas jari-jarinya yang kurus.

Jihan juga melihat wanita itu. Wanita yang kerap beberapa kali pernah ke rumahnya dengan alasan berkas Arka ada yang tertinggal. Mereka juga berteman karena Arka memperkenalkannya sebagai sahabat lama sekaligus sekretarisnya.

"Manusia bodoh mana yang mau di duakan? Nenek minta maaf ya, kurang bisa mendidik cucu nenek dengan baik sampai-sampai kamu harus terluka dengan tidak elegannya."

Jihan tertawa kecil. Menghapus air mata di ujung kelopak matanya kemudian menoleh pada nenek Mayang, yang masih menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

Jihan terisak. Memaksakan tersenyum lebar dengan bola mata beningnya berkaca-kaca seraya mengelus tangan keriput wanita tua itu.

"Kau sangat kuat Jihan. Nenek harap kau bisa membalas kehidupan yang menyakitkan ini. Jika butuh apapun Nenek siap membantu."

Jihan menggeleng, "Tidak Nek, harusnya Jihan yang meminta maaf karena tidak bisa mempertahankan pernikahan ini lebih lama lagi. Semoga Mas Arka ... Bisa mendapatkan wanita terbaiknya. Untuk Nenek dan semua keluarga, Jihan doa, kan, selalu sehat dan memaafkan keputusan Jihan ini karena telah menyerah, melepas Mas Arka."

Terasa hening. Mayang tahu saat sebulan yang lalu memang sudah menduga pasti ada sesuatu di antara mereka. Cucunya itu selalu menutup diri dan berubah dingin jika di tanya mengenai Jihan.

Wanita itu sedikit mengerti namun melihat kenyataan benar terjadi sesuai apa yang di harapkan cucunya itu, Mayang hanya bisa pasrah dan berdoa agar dua insan yang masih saling mencintai itu bisa di satukan lagi dalam keadaan apa pun dan berharap tak ada penyesalan lagi dari keduanya.

Tak lama Nenek Mayang pamit pulang karena sang sopir sudah menunggu dari tadi. Jihan benar-benar sendiri. Ia masih tidak percaya semuanya menjadi begini.

Menuruni anak tangga gedung pengadilan tersebut, Jihan memutuskan untuk berjalan kaki dengan pikiran kosong.

Secercah dendam ia rasakan. Andaikan dirinya yang lebih awal mengetahui perselingkuhan Arka dan mendapat bukti nyatanya, mungkin ia bisa langsung menceraikan Arka segera dengan fakta yang ada sehingga Jihan tidak sedih berkepanjangan.

Meski Arka masih tidak menjelaskan pasti selingkuh atau tidaknya, Jihan sekarang yang di buang. Materi yang pria itu berikan bernilai fantastis namun percuma perasaan tidak bisa di beli dengan uang. Jujur saja, Jihan masih bingung dengan situasi yang sedang ia jalani ini.

Apalagi Jihan belum makan dari kemarin gara-gara tidak nafsu makan, karena keputusan impulsif nya yang langsung menandatangani surat tersebut. Lagi pula mau bagaimana lagi? Jihan tidak mau jadi wanita bodoh terus-menerus.

"Permasalahan yang ku rasakan adalah karena masih mencintai si brengsek Arka. Kalo ketahuan lebih awal pasti aku udah gak cinta lagi sama dia, dan sudah benci meski bercerai, tidak seperti saat ini... Aku masih mencintainya."

Untaian kata itu terlontar di saat jalanan ramai terlihat di sebrang jalan. Jihan dengan lesu menatap lurus. Perempuan itu menyesal karena terlalu cepat menerima perceraian itu sebelum membalas perbuatan Arka padanya. Cinta yang ia miliki merenggut separuh jiwanya sendiri karena perceraian ini.

Hatinya menangis.
Hatinya tak menerima.
Begitu pula, hatinya tersakiti.

"Andai waktu bisa di putar kembali ... aku ingin melihat dengan mata kepala ku sendiri, apa Mas Arka benar-benar selingkuh? atau bisakah, kehidupan kembali berawal dari saat pertama kali kita bertemu untuk memulai kembal-"

Brakkk-bugh!

"Arghhh..."

Tubuh Jihan terpental beberapa meter dari tempat sebelumnya ia berdiri. Melintas tanpa memperhatikan jalanan adalah hal yang membahayakan. Tapi sungguh, ini bukanlah hal yang diinginkannya.

Alhasil sebuah mobil hitam yang sedang melaju kencang membuatnya terpental dan hilang kendali berakhir menabrak tiang listrik.

Kecelakaan itu tentu mengundang banyak pasang mata. Orang-orang mulai mengerubungi TKP tanpa berani memeriksa siapa gadis berambut panjang itu yang kini tergeletak tak berdaya dengan darah segar menggenang di seluruh tubuhnya.

Detik-detik saat kelopak matanya setengah terbuka, Jihan berkata sesuatu.

"A-aku tidak ... Ing-in ma-ti."

Sekujur tubuh Jihan terasa remuk. Semua terasa sakit, meski tidak sesakit hatinya.

Mungkin ini jalan terbaik Tuhan agar sekalian meremukkan hatinya untuk tidak merasakan sakit tak berkesudahan.

Dan akhirnya, semua terlihat meredup dan menggelap.

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang