[11]

6.7K 270 4
                                    

Jihan merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap bintang-bintang bertaburan di langit kamarnya dengan pikiran melalang buana gadis cantik dengan rambut setengah basah itu merubah posisinya menjadi duduk bersila ditengah tempat tidurnya. Sedikit terasa juga pinggangnya sakit. Perlahan tangannya mengurut pelan bagian tubuhnya itu.

“Sepertinya tidak akan mudah,” ucapnya, pada diri sendiri.

Dari dulu cowok itu memang menyebalkan namun rasanya tidak lebih se-dongkol ini yang Jihan rasakan. Apa karena perasaan terakhirnya sebelum mati? Atau karena harus berhadapan kembali dengan laki-laki itu dari nol untuk kedua kalinya? Mungkin dua-duanya benar sehingga Jihan harus ekstra sabar untuk situasi yang akan ia hadapi nanti.

Pintu kamar terdengar diketuk tiga kali. Munculah Maya dengan segelas susu putih yang biasa wanita itu bawa untuk Jihan sebelum larut malam tiba.

Jihan merengsek mendekati Mamanya yang tengah meletakan segelas susu kesukaannya dulu. Jujur walaupun Jihan yang sekarang berbeda, ia sudah tidak suka susu lagi, gadis itu tetap meraih segelas susu tersebut kemudian menghabiskannya dengan sekali teguk.

Maya terperangah. Jihan mengelap bibirnya asal.

“Ini segelas susu terakhir. lain kali Mama gak perlu bawain Jihan susu lagi.”

Maya meletakan nampan dengan kerutan di dahi tercetak jelas saat menatap pergerakan Jihan yang sudah duduk di meja belajarnya.

“Kenapa? Kamu udah gak suka susu buatan Mama lagi, Jihan?”

Gerakan tangan Jihan saat membuka buku paket terhenti. Jihan menatap raut kecewa Mamanya lantas meraih satu tangan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.

“Mah~ Jihan emang udah gak suka susu lagi. Jihan ... Sukanya teh.”

“Teh?” Maya tersenyum. Melirik Jihan yang sepertinya akan belajar malam ini.

Tapi, tumben?

“Ya udah, nanti Mama buatin teh ya?” Jihan pun mengangguk senang. Walaupun ada sedikit keraguan mengenai sikap Jihan akhir-akhir ini, Maya tentu senang juga Putrinya mulai bisa berubah perlahan.

Contohnya sekarang Jihan mau belajar tanpa harus disuruh lagi. Wanita itu akhirnya pamit keluar dan menutup pintu kamar Jihan perlahan.

Jihan memiringkan sedikit kepalanya seolah berpikir. “Apa perubahannya terlalu drastis? Semoga Mama gak Mandang aku aneh.”

Jihan fokus dengan buku pelajarannya namun dalam waktu lima menit berlalu ponselnya berbunyi. Notifikasi WhatsApp tertera dilayar kuncinya.

+62xxxx
Besok gw jemput.

Jihan mengerut alis bingung, kenapa satu hari ini ada saja nomor tak dikenal masuk hpnya. Perasaan Jihan tidak seaktif itu memainkan ponselnya apalagi menyebar luaskan nomornya sembarangan.

Me:
Siapa?

+62+++
Calon tunangan.

Seketika Jihan membanting ponselnya hingga benda pipih berlapis case berwarna pink itu tergeletak mengenaskan diujung kaki ranjang tempat tidur.

“Si bangsat?”

Ups! Jihan menutup mulutnya seketika. Dulu Jihan jarang sekali berkata kasar dan sekarang mungkin akan sering terlontar dari mulutnya tanpa sadar.

Jihan mengambil kembali ponselnya dan mengetikan beberapa kata disana.

Me:
Dapat no aku darimana?

+62+++
Sedang mengetik...

Jantung Jihan terasa berdetak cepat. Entah kenapa ia jadi gugup begini, jika terus seperti ini percuma Jihan membangun pertahanan dalam dirinya jika menerima chat dari laki-laki itu saja sudah mau hancur pertahanan dirinya. Tidak! Jihan kuat.

+62+++
Jgnkn no hp, nomor bh lo aja gw bakalan dapet dengan mudah nyet. Apa tadi? Aku?

Cih.

Me:
Sialan!

Sedangan sosok tampan dengan rambut hitamnya yang terlibas angin, tengah berdiri di atas rooftop gedung cafe. Menatap ketikannya sendiri dengan cengiran menawan.

Rasanya dia terhibur dengan kata kasar dari gadis yang tengah membalas pesan darinya.

Arka berpikir, pasti Jihan tengah mengumpat kasar dirinya dan Arka tidak peduli selama membuatnya tertarik—merasa terhibur juga tidak masalah. Walaupun pertama kalinya dia seperti ini.

Tepukkan di bahunya membuat cowok itu melirik sekilas ke belakang. Melihat siapa gerangan yang berani mengganggunya.

“Ck!” Arka kembali menatap ponselnya dan ternyata tak ada balasan lagi dari cewek aneh itu membuatnya kesal dan memasukan kembali ponselnya ke saku celana lalu melirik sejenak sahabatnya sambil menyalakan pematik untuk rokoknya.

“Apa?”

“Serius banget, chat-an sama siapa?” tanyanya.

Arka sedikit menyipitkan mata saat menghisap nikotin tersebut yang ia apit diantara dua jarinya. Asap rokok mengepul memenuhi udara rooftop sedikit menatap arah dimana cowok itu masih menatap dirinya.

“Kepo,” jawab Arka.

Raega terkekeh kecil lantas berdiri mendekati birai balkon dengan pandangan mengarah langit malam, lebih tepatnya pada bulan yang nampak lebih kecil dari biasanya.

“Gue mau keluar dari Tim basket kita,” ucapnya tiba-tiba, membuat Arka langsung membuang puntung rokoknya dan meludah seketika.

“Seperti biasa lo suka seenaknya.” Arka memandang wajah Raega dengan tatapan muak namun tak lama ekspresi itu berubah menjadi dingin.

“Sekalian aja gue mau bubarin tuh, Tim basket yang isinya lol semua!”

Arka pergi dari lantai rooftop, meninggalkan Raega di sana. Tak mau menatap wajah Raega barang sedetik pun. Sedari dulu mereka sudah mempunyai masalah internal dan hal itu berujung hal yang sama.

Masalah sekecil atau sebesar apapun ujung-ujungnya hal yang dulu membuat mereka tak akur pasti teringat dan membuat keduanya tak jarang canggung cukup lama.

“Iya. Gue emang seenaknya tapi lo lebih buruk dari gue—Arka. ”

Raega menatap ponselnya dan mengetikan sesuatu melalui aplikasi hijau itu. Satu kontak nomor tertera dengan nama seorang gadis membuat bibirnya tersenyum kecil.

Cowok yang memiliki garis wajah nyaris sempurna itu memikirkan banyak hal tentangnya dan juga tentang dirinya.

Akan kah Reaga bisa melakukannya? Tentu saja dia cantik dan menarik. Pesonanya tak pernah membuat Raega berpaling dan satu hal fakta yang ia terima dari seseorang membuat hatinya mendidih.

Raega tak terima. Ia harus mendapatkannya. Untuk sesuatu hal atau dirinya?

Keduanya lebih menarik.

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang