[22]

3.9K 152 2
                                    

Langit sudah menggelap serta udara malam pun mulai menyambut lumayan dingin. Bibir pucatnya menggigil usai membolos sekolah dan pergi sejauh mungkin tanpa tujuan.

Rumah bukan menjadi tujuannya lagi sekarang hingga kini ia berjongkok di trotoar jalan dengan nafas tersengal-sengal mencoba menahan tangis serta capek yang dia rasa.

Tiara mengusap peluh. Mengingat kejadian terakhir di sekolahnya membuat wajah pucat itu meringis saat tubuh gadis berambut pendek itu diserang Anis serta teman-temannya. Tiara menangis serta merasa frustasi akan kehidupannya.

Merasa bersalah karena kabur setelah ditolong seseorang apalagi dia juga sama-sama perempuan sepertinya.

“Apa dia murid baru?” gumam Tiara. Entahlah karena ia memang baru melihat gadis itu disekolah. Atau mungkin Tiaranya saja bodoh selalu mengurung diri di perpus kalau disekolah jadi tidak mengenal siapapun kecuali Anis dan teman-teman pembully nya itu.

Kalau tidak salah jika dilihat dari name tag cewek itu bernama Jihanara apa gitu, Tiara hanya ingat nama depannya saja.

Tiba-tiba perut Tiara keroncongan. Gadis berambut panjang berkulit pucat itu belum makan dari pagi ditambah sepertinya Tiara masuk angin. Demam yang dirasanya mulai menjalar di seluruh tubuh hingga pusing melanda kepala gadis itu.

ia berjalan lemas hingga beberapa meter dengan kelopak mata setengah terbuka dan satu tangannya lagu memegangi kepalanya, pusing.

Berjalan terseok-seok tanpa tujuan hingga dengan keputusasaan mulai yakin untuk mengakhiri hidup barang beberapa langkah lagi didepan ada mobil merah melaju lumayan cepat.

Ini kesempatan yang baik, tapi Tiara tidak punya kesempatan untuk mendekat ketengah jalan dengan cepat.

Lampu mobilnya menyorot Tiara, membuat gadis itu menutup pandangan seketika dengan lengannya. Ya, sedikit lagi Tiara bisa bertemu dengan ibunya.

Mobil itu semakin dekat dan dalam hitungan detik Tiara bisa terbebas dari orang-orang yang menyakitinya tidak akan menyakiti Tiara lagi.

Karena Tiara akan menghilang dari dunia ini.

Rasa sakit bukan hal yang buruk lagi bagiku.

***

Jihan membuang nafas lega setelah pulang sekolah secara sembunyi-sembunyi dari kejaran Arka.

Ia tidak mau dulu memikirkan tentang kehidupannya yang seakan diujung tanduk mulai saat ini. Melihat Arka seakan ancaman baginya, Jihan jadi muak apalagi jantungnya terus berdetak cepat sekedar manik hitamnya terus menghunus Jihan dalam diam.

Jihan menyetir sambil sibuk memikirkan Agatha yang masih belum ada kabar juga. Pakaian seragam sekolah Jihan masih lengkap terpasang ditubuhnya.

Setelah sampai rumah Jihan langsung menyalakan mobilnya tanpa masuk dulu kedalam, sampai Pak Hendra pun bingung melihat Jihan yang pulang tanpa menyapa dan langsung kembali pergi tanpa memberitahu arah tujuannya.

Tentu saja, Pak tua itu pasti panik ketika ditanya mengenai Jihan sekarang dimana.

Sekarang hampir pukul delapan malam Maya serta Ditto terus menghubungi Jihan namun tidak ada jawaban sama sekali. Ratusan panggilan tak dijawab memenuhi layar ponsel.

Sang istri mondar mandir dengan cemas takut acara yang mereka siapkan dengan sebaik mungkin batal karena hal ini.

“Aduh Mas, masih gak diangkat juga?”

Ditto mengangguk gusar. “Belom Ma.”

“Terus acara pertunangannya bagaimana dong? Masa harus dibatalkan, mau taruh dimana muka Mama ini kalo acaranya gak jadi?”

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang