[4]

7.4K 266 4
                                    

Bukan hanya sekedar kecupan yang mereka lihat di depan mata saat ini, melainkan lebih dari itu juga. Anak Bungsu dari keluarga Adi Utama itu memang luar biasa.

Mampu memperlakukan istrinya dengan romantis tidak peduli situasi, itu pemikiran mereka semua.

Para wanita tersenyum dengan pipi merona apalagi Marinda yang meremas lengan suaminya lalu Adi langsung berdeham, tak nyaman dengan adegan ciuman di depannya.

Anak itu kurang ajar, pikirnya.

Larissa dan Rini sibuk menutup mata anak-anak mereka yang mencoba memberontak untuk melihat pemandangan apa yang membuat semua orang terdiam tak bersuara. Mereka penasaran tapi tak bisa berkutik sebab ibunya memegangi muka mereka.

"Ena jangan lihat! Nanti mata kamu bintit loh, Dio juga diem!" Perintah tegas Larissa di angguki dua anak kecil berwajah mirip itu. Berbeda dengan Melody, gadis kecil itu malah mengintip dari ruas jari ibu yang tidak rapat. Rini tersadar, langsung buru-buru menutup rapat wajah anak gadis kecilnya kemudian mengelus dada.

"Sudah selesai?"

Jihan tertunduk malu serta Arka yang menoleh pada Papanya dengan wajah tanpa dosa.

"Sudah."

Pria tua yang masih terlihat awet muda itu bagaikan pinang dibelah dua. Seperti Arka namun versi tuanya, mereka sangat mirip sedangkan Gama lebih menerima banyak dari Mamanya.

Gama terkekeh menertawakan sikap Arka yang ditegur Papanya. Adiknya itu benar-benar luar biasa, sedari kecil Arka memang sulit di tebak tingkah lakunya nya dan selalu memberi kejutan tak terduga. Namun Gama tak menduga hal seperti ini akan terjadi. Pria itu terus menyeringai memandangi sang adik.

Arka menarik tangan Jihan lembut sedangkan wanita itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Arka mau ke kamar dulu, Jihan tiba-tiba gak enak badan. Permisi," ujar Arka, pamit undur diri dari ruang makan.

Jihan menunduk sejenak sebagai ungkapan pamit. Tak ingin wajahnya yang sembab terlihat oleh keluarga Arka apalagi mertuanya.

Mama dan Papanya mengangguk tertanda mengiyakan sedangkan pikiran mereka melalang buana. Mereka tidak saling pandang karena cukup canggung.

"Alah, alesan tuh palingan mereka mau olahraga-"

"GAMA!" tegur Marinda sambil menepuk pundak putra sulungnya itu.

Mereka semua duduk kembali dan mulai berbincang ringan demi mencairkan suasana. Berkumpulnya semua keluarga di sini membuat kediaman megah Adi Utama terasa hangat dan penuh kegembiraan, tidak seperti hari-hari biasanya.

Mereka membahas satu sama lain sambil mencicipi makanan manis yang dibuat sang tuan rumah dan waktu berjalan tak lama dikejutkan dengan suara anak kecil yang penuh kegirangan. Membuat Marinda tak henti melebarkan senyumannya.

"Wah! Cookies!" Ena berteriak melengking. Gadis berumur lima tahun itu kegirangan dari tempatnya duduk hingga kedua kaki mungilnya bergoyang-goyang. Marinda tertawa kecil melihat itu. Gemas dengan tingkah anak itu.

"Bericik," omel Dio, sang kembaran.

"Sudah waktunya Gama, ayok, cepat kasih tahu kita kejutan apa yang ingin kamu katakan sama kita," ujar Marinda tak sabar putranya itu malah cengar-cengir setelah mengerjai istrinya.

Semuanya menyetujui ucapan Marinda dan kini atensi penuh pada Gama yang mulai mempersiapkan diri.

"Tenang dong, para orang tua."

"Gama~"

Gama tersenyum menatap Neneknya. "Iya Nek, sabar."

Gama merangkul istrinya dengan senyuman hangat tapi sebelum itu Gama sudah membuat Neneknya ingin sekali mengetok kepalanya ketika tidak jadi memberi tahu.

"Tapi, kan, Arka belum kembali. Kita tunggu Arka dulu, gimana?"

"Itu Om Arka!" seru Ena dengan suara cemprengnya lagi membuat sang kembaran memberinya tatapan tajam sebab tempat duduk mereka berdekatan dan gadis kecil itu selalu berteriak di samping Dio.

Jihan dan Arka duduk ditempat mereka kembali. Suasana tiba-tiba suram rasanya ada yang mengganjal membuat Marinda menatap lekat anak keduanya Namun melihat bagaimana Arka menggenggam tangan Jihan, semua itu sirna seketika.

"Nah, semuanya sudah lengkap kan, jadi-aku sama Siska dan ... Kita. Akan menjadi orang tua kayak kalian sebentar lagi. Siska sedang mengandung Ma, pah semuanya."

Marinda menutup mulutnya dengan tatapan tak percaya mendengar penuturan Gama, mereka semua bahagia tak lupa juga Jihan dan Arka, mereka tersenyum bahagia sampai tidak sadar saling menatap dengan senyuman bahagia.

Itu tak lama, Jihan lebih dulu memutus pandangannya dan kembali kepada Siska dan Gama memberikan ucapan selamat.

"Ya Tuhan terimakasih, akhirnya aku punya cucu pertama ku. Pah, kita jadi kakek-nenek." Marinda berucap bahagia namun Adi merasa tak setuju bagian terakhir kalimat yang istrinya itu katakan. Tapi tidak apa-apa pikirnya, itu hanya panggilan soal anak dia masih tak kalah mampu, pikir Adi Utama.

"Selamat nak, Papa bangga sama kamu."

"Iya dong Pah, harus."

Semuanya saling memberi selamat hingga tak terasa waktu berlalu. Mereka pun satu persatu pamit untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Om Arka sama Tante Jihan sering main ke rumah Ena yah! nanti."

"Iya, sayang," jawab Arka. Menurunkan Ena dalam gendongannya dan gadis itu melambai pamit pulang.

Jihan menatap kepergian gadis kecil itu, ragu akan permintaan Ena yang dirinya bersama Arka sering berkunjung kelak. Kalau Arka pasti bisa saja, tapi mungkin akan bersama wanita lain.

Jihan mencoba menghalau pikiran buruk itu. Sejak kapan dirinya berharap kesedihan untuk hatinya sendiri? Sejak Arka berubah? TIDAK! Sejak Arka baru menciumnya lagi setelah sekian lama. Dan adegan tadi cukup meresahkan hati Jihan.

Ciuman perpisahan?

Jihan harap tidak ada hal yang seperti itu. Masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Jihan tetaplah Jihan, disakiti beberapakali kali pun oleh Arka ia masih tetap menggenggam harapan besar.

Karena ia yakin, hatinya tidak pernah salah. Dan itu yang selalu wanita rasakan ketika mempunyai orang yang dicintai.

"Sayang?"

Jihan berkedip menatap Papa dan Mama mertuanya lalu melirik Arka yang menyorotinya; menilai.

"Iya Mas?"

Ternyata Arka masih berperan, jika seperti ini Jihan bingung mana yang Mas Arka asli dan pura-pura.

Marinda memegangi pundak Jihan seraya berucap. "Kenapa melamun?"

"Kamu tidak apa-apa, Jihan?" Nenek ikut menambahkan.

"Jihan gak apa-apa Nenek. Jihan cuman capek aja, kok." Arka menarik Jihan dan mendaratkan sebelah tangannya di pinggang Jihan.

Perempuan itu menegakkan punggung seketika. Laki-laki itu selalu bertindak tiba-tiba namun kali ini entah kenapa terasa semu.

"Ya sudah, kalian bisa pulang dan langsung istirahat di rumah. Arka, jaga istrimu baik-baik."

"Iya, Pah," sahut Arka.

Mas Arka menjawab dengan tegas. Penuh ketulusan. Tapi kenapa?

Saat Jihan pamit dan ingin meminta salam pada Marinda tiba-tiba ucapan itu terlontar membuat Jihan langsung menatap Arka penuh harap.

Lagi-lagi.

"Kapan kalian punya momongan?"

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang