[12]

5K 188 1
                                    

Pagi hari yang cerah begitu pun, suasana hati yang sedang bersemangat dengan isi kepala penuh rencana.

Remaja berahang tegas dengan dalaman seragam kaos berwarna hitam serta seragam yang sengaja tidak dikancingkan. Arka terlihat menyenderkan tubuhnya di samping body motor Ducati miliknya yang nampak mengkilat oleh pancaran mentari yang lumayan terik. Tak sedikit kekesalan ia keluarkan dari mulutnya karena panasnya sang mentari.

Jihan masih menatap layar ponsel serta jendela kamar bergantian. Gadis itu tidak menyangka bahwa Arka benar-benar akan menjemputnya. Ternyata cukup banyak perubahan dimasa lalunya yang sekarang Jihan jalani kembali.

Semoga saja semuanya akan berjalan sesuai rencana. Dan Jihan bisa bahagia diakhir nanti setelah benar-benar melepaskannya.

Tidak mau berpikir panjang akhirnya Jihan meraih tas sekolah dan memutuskan untuk ke bawah namun ponselnya sudah lebih dulu berbunyi, menandakan ada telepon dari seseorang.

Jihan langsung mengangkat panggilan tersebut.

“Hal—”

“LO MAU BUAT KULIT GUE JADI GOSONG HAH?!” Jihan langsung menjauhkan ponsel dari telinganya, melirik pada layar ponsel dengan delikkan mata kesal lalu perlahan mendekatkan kembali benda itu, dan masih terdengar ocehan Arka setelah mengorek telinganya sedikit; merasa tak nyaman.

Cepet turun! atau gue yang masuk? Gue liat lo nongol tadi di jendela,” sambung Arka. Terdengar benar-benar frustasi namun tertahan.

“Gak bisa gitu dong, lo setuju buat gak masuk dan tetep tunggu gue diluar.”

“Ya buruan!”

“Iya bawel!”

Tutt-

Jihan menutup panggilan telepon Arka sepihak. Nyatanya cowok itu benar-benar hilang kesabaran saat Jihan melihatnya dibawah jendela untuk yang terakhir kalinya, Arka sedang menggerutu sendiri dengan wajah kesal disana.

Karakter Arka makin parah, Jihan tidak menduga Arka akan se-menyebalkan ini. Gadis itu akhirnya turun ke bawah dengan langkah cepat. Di meja makan Mama dan Papanya menyapa dengan senyuman cerah—secerah wajah kesal yang kini sedang menatapnya dimeja makan.

M-meja makan?!

“Jihan, lain kali kalau Arka mau kesini atau jemput kamu ke sekolah, bilang sama Mama atau Papa kasihan katanya dia nunggu dari subuh lho. Silahkan nak, mau tambah roti atau mau makan nasi aja?” Maya menunggu jawaban dari Arka.

Cowok itu ketahuan satpam rumah tengah berjemur dari teriknya matahari di depan gerbang. Tentu saja sang satpam yang tak lain Pak Hendra mengadu pada majikannya yang ternyata pemuda depan gerbang itu calon mantu keluarga ini.

Arka menolak tawaran calon mertuanya itu. Roti dua lapis berisi selai strawberry yang Maya buatkan untuknya dikunyah dengan baik. Cukuplah menanti gadis aneh calon tunangannya itu untuk segera turun.

“K-kamu kenapa disini?” tanya Jihan menatap Arka tanpa ekspresi.

Arka juga tak kalah dingin dengan mata elangnya yang mengintimidasi.

“Me-nu-rut- Lo?” ucapan kata itu tanpa suara dari mulut Arka dan mengundang delik kesal Jihan yang langsung melenggang pergi mendekati Mama dan papanya untuk pamit.

“Eh, sayang makan dulu. Arka juga belum selesai sarapannya,” ujar Maya.

“Iya nak, kasian Arka kayaknya masih mau disini lagi pula telat sedikit gak apa-apa lah.”

“Nggak Pah, Mah, Jihan udah bawa bekel kok tadi dan juga-” Jihan menatap wajah Arka intens. “Kasian kak Arka nunggu Jihan dari tadi, sampe mukanya gosong gitu.” Jihan mengatup mulutnya rapat dan langsung berjalan cepat usai meminta salim pada kedua orang tuanya.

Gadis itu lebih dulu keluar meninggalkannya. Sedangkan Arka terdiam dengan ke khawatiran kentara diwajahnya tampannya. Dito dan Maya yang paham situasi hanya tersenyum geli atas interaksi anak dan calon mantunya yang masih butuh pendekatan itu.

“Gak usah kamu dengerin Jihan. Dia cuma bercanda, kamu masih ganteng kok,” cetus Dito. Tertawa kecil lantas menyeruput kopi hitam buatan sang istri.

“Iya, Om, Tante. Arka susul Jihan dulu, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

***

“Naik.”

Jihan ragu-ragu untuk menaiki motor besar Arka sebab cukup bersusah payah ia naik dengan kondisi roknya yang memang tidak mendukung.

Kedua tangan gadis itu berpegangan pada pundak Arka dan akhirnya ia memakai helm yang Arka bawa. Niat juga tuh, cowok!

Jihan melirik Arka yang ternyata memperhatikannya dibalik kaca spion.

“Kenapa? Lo pikir gue gak bisa pake helm? Nunggu gue minta bantuan sama lo gitu, kayak di novel-novel? Mimpi.”

Arka menatap dingin. Kemudian berdecak memalingkan wajahnya.

“Paha lo kelihatan,” katanya.

Dengan kedua pipi merona Jihan menunduk malu. Diam-diam menarik-narik roknya untuk turun namun usahanya mengkhianati hasil. Roknya memang sudah mentok alhasil paha mulusnya itu masih terpampang jelas bahkan Arka bisa melihat dengan bebas karena posisinya tepat di samping cowok itu.

“Dasat mesum! Gak usah liat kesini!” Jihan menggerutu malu. Namun Arka membalas perkataannya tak kalah telak.

“Ya keliatan dari spion, sih!?”

Jihan cemberut. Wajahnya mencoba menatap langit walaupun sangat terik membuatnya harus menyipitkan mata. Berusaha tak ingin membalas tatapan mengerikan Arka di spion motor.

Lain sisi, wajah cemberut dengan rona dikedua pipi gadis aneh itu menghiasi spion motornya dengan indah.

Sudut bibirnya berkedut, menahan senyuman.

Cowok itu tiba-tiba melepaskan kemeja seragam sekolahnya.

“Ngapain?!” Jihan panik tanpa alasan.

“Pake.”Arka melemparkan kemeja seragamnya didepan paha Jihan. Jihan hanya terdiam ditempat, tidak bisa berkata-kata lagi.

Apalagi, setelah ungkapan terakhir cowok di depannya itu sebelum benar-benar melajukan kencang motornya dari pekarangan rumah.

“Gue juga cowok normal, sial!”

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang