[7]

7.9K 345 2
                                    

Apa yang terjadi?

Jihan membuka matanya seketika dengan isi kepala kosong. Hanya langit-langit kamar bertabur bintang yang sengaja Papanya tempel setelah satu Minggu kepindahan mereka di Jakarta.

Tak ada ingatan hal terakhir yang gadis berambut Dora itu ingat. Ia meraba wajahnya hingga sampai sekujur tubuh dengan keadaan linglung. Gadis cantik bernama lengkap Jihanara Cylin itu bangkit dari tidurnya kemudian menemukan jam dinding menunjuk pukul 12 malam.

Langkah kedua kaki Jihan perlahan menelusuri ruangan yang terlihat seperti kamarnya yang dulu. Malah sangat mirip, tak ada yang kurang. Semuanya lengkap.

Sebuah cermin panjang berukuran setinggi tubuh Jihan menjadi saksi bukti atas semua kebingungan yang melanda dirinya saat ini.

Rambut pendek yang sering dulu dikatakan mirip Dora.

Tiggi tubuhnya cukup ideal tapi terlihat pendek, Jihan cemberut pada cermin itu.

Pipinya yang berisi serta rona merah muda pada bibir tipisnya yang sangat berbeda saat dirinya menginjak umur dua puluhan.

Jihan syok!

Dia kembali pada masa lalu!?

Sungguh?!

Apa ini nyata? Jihan mundur dua langkah hingga akhirnya terjatuh menimbulkan bunyi cukup keras membuatnya meringis.

Tak lama terdengar suara wanita memanggilnya, membuat Jihan semakin yakin bahwa dirinya kembali ke masa lalu. Dan hal ini tidak mungkin tanpa alasan.

“ADA APA SAYANG?!”

Jihan ragu-ragu membalas tanpa niat bangkit berdiri.

“M-ma.. Ma-mama .. hiks-mama ..”

Pintu kamar langsung terbuka dengan cukup keras. Diambang pintu Jihan bisa melihat jelas Papanya dengan raut cemas begitupun sang Mama khawatir menatap Jihan dibawah lantai. Kedua orangtuanya segera menghampiri Jihan yang sedang menangis usai menatap mereka.

“Jihan kenapa kamu dilantai? Ada yang sakit?” cecar sang Papa.

“Jatuh ya, sayang? Sini duduk dulu.” Maya membantu sang putri duduk dipinggir ranjang lalu mengelus pelupuk mata Jihan yang basah bekas air mata.

“Jihan jatuh. Sakit.” Jihan sesenggukan. Dulu ia tak pernah menangis karena terjatuh atau apapun masalahnya dia jarang sekali menangis kecuali setelah mengenal laki-laki yang dijodohkan dengannya.

Ada perasaan lain yang membuat Jihan tak kuat menahan air mata yaitu melihat Papanya didepan mata dengan keadaan baik-baik saja sudah cukup membuat Jihan percaya bahwa dia benar-benar telah kembali ke kehidupannya yang dulu.

Saat ini umurnya 16 tahun, ia yakin sekali. Mengapa kehidupannya harus berdekatan dengan laki-laki itu lagi? Andai semua dimulai dari dia TK misalnya. Jihan tidak mau keluarganya pindah jika tahu seperti ini namun kehidupan siapa yang tahu, sepertinya saat ini.

“Ya sudah tidur lagi gih, besok Jihan 'kan sekolah, nanti kesiangan. Biasa sakit badanya kerasa pas udah satu atau dua hari nanti bilang sama Mama atau Papa kalo mau di urut.” Maya mengelus rambut Jihan diikuti Papanya memeluk Jihan dengan hangat.

Rasanya Jihan sangat bersyukur diberi kesempatan ke dua untuk merasakan kasih sayang Papanya. Jihan tidak melepas pelukannya membuat Dito menoleh pada istrinya.

“Sayang?” Panggil Maya pada sang putri.

Tidak ada sahutan. Hingga panggilan ke tiga mereka memeriksa tubuh Jihan yang ternyata sudah lemas tak berdaya.

Suara dengkuran halus sudah menjadi jawaban jelas mengapa Jihan menutup mata. Dito menggeleng kepala menatap anak semata wayangnya itu kemudian menoleh pada Maya.

Tersenyum menatap wajah cantik itu tertidur dengan sembab  akhirnya mereka pun, membawa Jihan ke kasur. Merebahkannya dengan posisi nyaman. Maya membawa selimut menutupi tubuh Jihan hingga bagian leher lalu menatap sebentar putrinya yang tak terasa sudah menginjak bangku SMA kemudian mengecup keningnya perlahan.

Dito tersenyum mendapati adegan itu ia pun, mengikuti apa yang istrinya lakukan. Mengecup kening putrinya dengan perasaan lega serta puas.

“Aku masih gak percaya Mas, perasaan baru kemarin kita ganti popok Puteri kita yang masih kecil dan sekarang udah remaja aja.”

Dito merangkul Maya dengan senyuman.

“Aku berpikir bahwa seorang anak ternyata tumbuh dengan cepat, hm, satu anak lagi seru kek nya.” Dito mengelus dagu seolah berpikir, membuat Maya tersenyum geli.

“Aku berharap bisa bawa Jihan sampai menjadi seorang pengantin nanti dimasa depan.” Diakhirinya dengan perasaan damba khas seorang ayah.

Maya terdiam. Dengan raut tidak percaya Maya berkata, “Ya, iyalah Mas. Itu mah harus! Lagi pula bentar lagi Jihan akan ketemu jodohnya.”

“Oh, ya! Kamu udah cerita sama Jihan?”

“Belum Mas.”

“Yasudah, kita tidur dulu. Nanti kita kasih tahu Jihan akan hal itu, kasihan anak kita lagi tidur malah ke ganggu.”

Kedua orangtua Jihan menutup pintu kamar perlahan. Meninggalkan ruang sunyi yang penuh akan kenangan itu, seketika kedua kelopak matanya terbuka menampilkan manik coklat gelapnya menyorot bintang-bintang dilangit kamar.

Semua ini tidak akan mudah. Jihan senang bisa melihat Papanya kembali, tetapi juga tidak bisa menghindari apa kehendak mereka.

Perjodohan.

Sebisa mungkin Jihan harus menolak perjodohan itu. Apapun yang terjadi Jihan dan laki-laki itu tidak akan pernah bersatu.

Seperti ucapannya terakhir kali.

Jihan ingat itu dengan jelas. Tiba-tiba bagai gulungan kaset yang menampung semua rekaman kehidupannya masuk dengan cepat dan tercerna dengan baik.

Jihan meneteskan air matanya kembali.

Dulu ... Laki-laki itu sering masuk kamar ini tanpa ijin darinya. Dan anehnya Jihan merasa senang.

Menghibur Jihan saat sedang sakit. Saat itu keadaan mereka belum saling jatuh cinta namun, keadaan membuatnya saling berselisih dan tetap bersama.

Dulu, kamar ini menjadi saksi ciuman pertamanya setelah laki-laki itu membuat pengakuan bahwa dirinya telah jatuh pada gadis berambut Dora yang dia benci.

Gue akan jadi satu-satunya cowok di kehidupan Lo, Jihan.

Gue, Arka Maven akan mencintai Jihanara Cylin sepenuh hati hingga akhir hayat.

Tangisnya Jihan pun, tumpah seketika.

"Kamu bohong."

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang