“Jihan bisa berangkat ke sekolah sendiri kok.”
Maya menatap terkejut anak semata wayangnya itu. Dito—sang suami tersenyum lembut melihat betapa terkejutnya Maya atas ucapan Jihan.
Gadis itu sibuk menikmati nasi beserta sup ayam kesukaannya tanpa peduli reaksi seperti apa yang kedua orangtuanya tampilkan.
“Kamu serius nak?” Jihan mengangguk, lagi-lagi tak menatap wajah Mamanya.
“Kamu kelihatan berbeda,” ucap Papanya. Jihan menoleh sekilas lantas kembali meneguk minumannya.
“Jihan mulai sekarang mau mandiri Mah, Pah.”
Maya tersenyum canggung. Kedua orang tua itu merespon baik apa yang Jihan putuskan.
Dito mengangguk, “Mandiri yang kamu maksud bagaimana Jihan?”
Rupanya, Papa tidak—Sepertinya Mama dan Papa meragukan akan hal itu. Jika diingatkan kembali, Jihan dulu adalah anak yang cukup manja jika berhadapan dengan keluarganya serta cukup sedikit dingin pada orang asing. Jelas sekarang berbeda! Jihan yang sekarang adalah Jihan yang sudah dewasa.
Gadis itu tersenyum. “Pulang pergi ke sekolah sendiri, em.. mulai sekarang Jihan juga akan belajar memasak. Olahraga yang cukup dan belajar yang giat lalu-”
“Ekhm! Nak-kayaknya kamu kemarin kebanyakan tidur jadi, Papa ngerti rencana masa depan kamu yang sehat itu tapi—bukanya kamu anti dapur yah? Setahu Papa. Ya, kan Mah?”
Jihan nampak terdiam tanpa ekspresi. Benar juga.
Tapi itu dulu! Sekarang tidak.
Maya berusaha mengerti apa yang dipikirkan Jihan. Wanita itu mengenal sekali anaknya seperti apa. Jihan itu sangat jarang di rumah kalau habis pulang sekolah Jihan sibuk dengan sahabatnya. Ungkapan Jihan tadi terdengar seperti kegiatan anak rumahan dan Jihan tidak seperti itu. Maya menatap lekat wajah putrinya itu yang terkesan mencoba berjaga sikap. Biasanya Jihan tidak seperti ini, kenapa?
“Jihan.. ada sesuatu sama kamu?”
Firasat seorang ibu tak dapat ditutupi dengan apapun. Jihan tersenyum kecil menatap Mamanya yang terlihat lebih segar dan cantik. Mengingat terakhir sebelum dia dimasa ini ibunya sangat tidak bersemangat menjalani hidupnya setelah kepergian Papanya. Dan Jihan yang selalu dapati raut sedih itu dimasa depan selalu menyuruh suaminya untuk sering berkunjung ke rumah ini yang terasa sepi. Ah, perjodohan itu.
Ketika dimasa lalu, Jihan dan Arka dipertemukan ketika sepulang sekolah. Masing-masing orang tua membawa anak mereka ke restoran milik keluarga Arka dan disitulah takdir awal mereka bertemu.
“Itu tidak boleh terjadi!”
“Apa sayang?”
Uh? Jihan lupa masih sedang mengobrol dengan Mamanya. “Nggak kok Mah,” sanggah Jihan. Tersenyum kaku.
“Ya sudah, kita bicarakan masa depan kamu nanti aja kalau sepulang sekolah gimana?” Dito tersenyum mencurigakan membuat istrinya juga melakukan hal yang sama. Mereka menatap Jihan. Sedangkan gadis itu dalam hatinya mencoba merutuki hal itu. “Nanti pulang sekolah kami jemput. Khusus hari ini, nanti sore kita makan diluar sayang, gimana mau 'kan?”
“Em...” harus kah, Jihan hindari saja? Ini demi masa depannya! Jihan tidak mau di campakan Arka untuk kedua kali. Bajingan sialan itu membuat Jihan mati konyol dan bahkan membuat hidupnya hancur seketika.
“Iya, Pah. Tapi boleh, kan Jihan berangkat ke sekolahnya sendiri?” orangtuanya pun mengangguk.
Tentu saja, Jihan kembali ke masa lalunya tidak untuk memiliki masa depan yang sama. Ia harus mengubah alurnya dan dia yang harus membuat Arka menderita karena cintanya sendiri
—Seperti yang Jihan rasakan.
***
Jika dalam cerita transmigrasi dalam sebuah novel mungkin Jihan mempunyai kehidupan lain dengan cara jiwanya masuk ke tubuh orang lain dan menjadi pemeran utama yang tak disangka bisa mengubah alur kehidupannya.
Mirip dengan apa yang sekarang Jihan alami, namun bedanya Jihan masuk ke tubuh dirinya saat masih SMA ini artinya Jihan bisa mengubah kehidupannya dengan cara menjauh dari sosok yang dimasa depan membuat hidupnya sengsara. Siapa lagi jika bukan kakak kelasnya itu yang kini sedang bermain basket yang sedang ditonton ratusan siswi dari adik kelas maupun kakak kelas yang cantik-cantik.
Jihan menatap dengan senyuman miring. Dirinya sekarang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan Jihan yang sebelumnya. Jihan yang sekarang lebih terang-terangan jika menatap sesuatu yang tidak ia sukai biasanya Jihan agak pemalu dan sedikit cuek kali ini berbeda malah menurut Agatha, Jihan sekarang terlihat seperti antagonis yang sedang berdialog dalam hati saat menatap protagonis di arah jauh sana.
“Ji, tatapan lo serem kayak mau bunuh prince sekolah kita. Hati-hati lo ntar jatuh cinta malah kena serang fansnya dan gue bakalan kena imbasnya juga. Jangan bawa gue dalam masalah ya.”
“Gue lagi mikir Tha, gimana kalo gue pindah sekolah aja? Atau ... Ke SMA Pancasila aja gimana, menurut lo?” Jihan langsung menoleh pada temannya itu.
Agatha geleng-geleng kepala. “Ji, lo aneh banget sejak pagi tahu gak? Mulai berangkat pake angkot ke sekolah, sikap lo udah kayak gengster dan apalagi sekarang, lo pengen pindah sekolah? Sebenarnya siapa yang rusak sahabat ku ini Ya Tuhan..” Agatha berdoa dengan serius, melirik Jihan yang ternyata malah tidak peduli. Gadis itu meringis sambil makan mie ayam kantin yang entah mengapa rasanya makin enak.
“Ya.. gue harus hindari tuh laki-laki,” gumam Jihan dengan mulut penuhnya.
“Ya emang. Harus malah! Kita gak boleh punya masalah sama mereka.” Agatha tidak peduli dengan Jihan yang masih serius dengan pikiran konyolnya yang penting rasa mie ayam buatan mang Udin makin enak.
Gadis itu masih serius menatap area lapangan yang menampilkan para laki-laki yang di gadang-gadang Most Wantednya SMA Garuda Bangsa ini.
Raut wajah kelelahan serta penuh peluh ditambah rambut hitamnya yang basah, Arka yang masih di lapangan tiba-tiba menoleh ke arah kantin. Lebih tepatnya pada tempat Jihan duduk menatapnya kini sudah berpaling arah.
Tiba-tiba saja jantung Jihan berdetak lebih cepat. Ini adalah adegan yang sama di masa lalu namun dengan pemikiran yang berbeda.
Jihan mengubah raut wajah lantas kembali melirik. Membalas tatapan jauh dari Arka diujung sana yang masih belum lepas darinya.
Laki-laki itu tersenyum smirk membuat Jihan terperangah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] AKHIR YANG TAK SAMA
RandomSetelah perceraiannya terjadi, Jihanara Cilyn merasa jika hal yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Menandatangani surat cerai dengan impulsif. Saat semuanya benar-benar berakhir, perempuan itu tersadar, harusnya ia mencari tahu segalanya terle...