[23]

3.7K 139 1
                                    

Peluh di pelipisnya melewati luka cakaran yang sempat ia dapat waktu pagi terasa perih hingga turun membasahi anak rambutnya.

Jihan beberapa kali merutuki dirinya sendiri. Ia tak menyangka akan selupa ini gara-gara terus penasaran dengan kabar Agatha, sebetulnya khawatir tapi setelah p yang dilihat barusan, Jihan agak ragu untuk menyimpulkan.

Jihan sesekali menatap ponselnya untuk dinyalakan, karena tidak bisa terus-terusan seperti ini akhirnya ia pun memarkirkan mobilnya sejenak.

Setelah dilihat ternyata banyak sekali riwayat panggilan serta puluhan pesan masuk dari Mama dan Papanya bahkan Arka.

Terakhir, sebuah panggilan masuk berhasil membuat detak jantung Jihan maraton namun kali ini bukan debaran seperti biasa, melainkan debaran ketakutan yang membuat ragu Jihan untuk mengangkatnya.

"Arka?"

Mau tak mau Jihan harus tetap menerimanya dan bersiap akan amukan calon tunangannya itu, sepertinya seru, pikirnya, jahat.

Apakah ekspektasi Jihan berlebihan mengenai amarah Arka? Entahlah, rasanya penasaran juga respon cowok itu jika berhasil Jihan membuatnya marah.

Rasa takut itu berubah menjadi kesiapan.

"Apa?" tanya Jihan dengan santai. Mengubah posisi duduknya menjadi menyender di jendela mobil. Melirik kembali ke layar ponsel. Memastikan benar-benar terhubung dengan Arka.

"..."

"Kok nggak ngomong?" Jihan tersenyum kecil. Dalam situasi seperti ini gadis cantik itu bisa-bisanya bersikap seperti ini.

"Arka? M-maksud gue, Kak Arka?" tanya Jihan lagi kali ini dengan sedikit gemetar.

"Pulang."

Akhirnya ada suara.

Tapi tunggu?

Hanya itu responnya?

Jihan kira Kak Arka bakalan memaki Jihan atau semburan kata-kata menyakitkan lainnya yang akan cowok itu lontarkan.

"Lagi di jalan, sorry gue lupa soal malam ini," ujar Jihan lagi.

"..."

Tak ada balasan, Apakah Kak Arka beneran marah?

Perasaan Jihan merasa tak enak ia pun mencoba bertanya lagi. "Sebentar lagi ma-"

"Lo terlalu menyepelekan semuanya Jihan, dalam satu jam lo belum sampai juga kita langsung nikah."

Tutt!

"Ihh, apaan sih, gak jelas banget!" teriak Jihan dengan kesal.

Ia membanting ponselnya ke belakang mobil dengan hati mendidih. Ternyata malah dirinya yang kesal saat ini. Tangan gadis itu memutar kemudi lantas mulai menjalankan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.

Membayangkan betapa menyebalkannya Arka yang selalu berhasil membuat Jihan terdiam dengan mulut penuh umpatan yang tak bisa ia keluarkan jika tak ingin mati. "Oke. Setelah pertunangan berhasil, tunggu saja bayarannya yang setimpal wahai pangeran kodok!"

Mobil merah itu kemudikan melaju kencang membelah jalan dengan cepat menuju tempat tujuannya.


***

Lain suasana yang nampak mewah dan elegan. Kediaman rumah mewah Adi utama telah disulap menjadi sangat indah, lebih cantik dari pesta biasanya yang mereka adakan.

Tentu saja, kali ini anak bungsu mereka akan bertunangan malam ini juga. Semuanya nampak siap tinggal menunggu detik-detik berharga yang akan melepaskan moment yang ditunggu.

Karena semua sudah siap tinggal menunggu kabar dari keluarga perempuan yang akan hadir, Marinda sibuk memeriksa keadaan rumah berkali-kali dengan semangatnya.

"Jamuannya gak ada yang kurang kan, bi? Oh ya, itu juga bunga di depan jangan sampe miring ya, Makasih."

Adi mendekat pada istrinya dengan senyuman menawan. Pria paruh baya itu memandangi wajah cantik sang istri. Sejenak mereka melupakan permasalahan sebelumnya. Seakan semuanya baik-baik saja.

Mereka pintar menikmati suasana hangat meski tidak dengan isi hati kedua orang dewasa itu.

"Kamu udah tiga kali nanya itu sama asisten rumah kita, segitu gembiranya kamu."

"Haha, masa sih, Mas? Aku gak sadar," balas Marinda, dengan semu di kedua pipinya.

"Tapi kok, belum ada kabar juga ya, dari Maya sama Dito?"

"Lagi di jalan, mungkin?" Marinda dengan alis mengerut, kembali menatap suaminya. "Justru kalo udah mau kesini pasti udah kasih kabar dahulu, lagi pula arahnya jalanya gak terlalu jauh kok."

Adi meraih pundak istrinya diiringi elusan lembut menenangkan. "Yah..., kita doa kan, saja semuanya berjalan dengan lancar dan mereka sampai di sini dengan baik. Kebiasaan kamu, kalo lagi gembira suka cemas tak beralasan."

"Tapi kali ini... Rasanya beda."

Belum sempat membalas ucapannya Marinda sudah merubah rautnya menjadi sumringah lagi setelah meantap pemeran utama malam ini menuruni tangga dengan gagah dan menawannya.

Adi melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala atas perubahan istrinya yang justru terlihat lucu di matanya. Hatinya menciut mengingat perjalanan rumah tangga mereka berdua.

"Ya ampun sayang, pangerannya Mama," sambutnya, namun Arka malah tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya dengan alis menukik tajam.

"Arka kalau turun tangga liat jalan, nak!" ucapan tegas Marinda cukup mengangetkan orang-orang rumah namun tak lama mereka kembali beraktivitas.

Arka mengangkat wajahnya yang terlihat biasa saja. Tak lama mendengus juga sambil mendekat. "Arka izin pergi keluar sebentar Ma, Pa."

Belum dijawab pun, anak laki-laki itu malah langsung pergi dari rumah tanpa mendengar papanya menegur serta Mamanya yang sudah mengejar Arka hingga depan pintu pun tidak di gubris. "ARKA MAU KEMANA? JAWAB MAMA!"

"Arka berhenti! Bagaimana dengan acaranya?!"

"Sayang pertunangan kamu...?" ucapan Marinda menelan, seiring menjauhnya Arka ternyata menuju tempat motornya berada yang sudah terparkir di depan.

Anak itu berhenti kemudian menoleh memandangi Mama dan papanya dari kejauhan. Wajah sang Mama yang terlihat cemas dan Papanya terlihat akan marah dengan garis wajah kakunya. Arka tahu betul arti ekspresi kedua orang tuanya apalagi saat mamanya melempar barang ke wajah papanya.

"Sebentar Pa, sebelum acaranya mulai Arka udah ada disini ... Sama Jihan."

Mereka pun mengangguk. Percaya dengan ucapan Arka yang terlihat meyakinkan. Memandangi kepergian anak kedua mereka dengan kebingungan melanda. "Aku gak bisa membayangkan jika acaranya akan gagal Mas," ucap sang istri pelan.

Adi tanpa melirik pun membalas tak kalah lembut saat sang istri menatap kepergian motor Arka yang sudah melaju cepat.

"Kita percayakan semua pada Arka, Ma. Kamu tahu kan, anak itu bagaimana?" Adi dengan satu alis tertarik.

Marinda pun tersenyum sebagai jawaban.

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang