[20]

4.3K 175 0
                                    

Semua mata memandang dengan tajam pada sosok gadis bernyali besar itu dihadapan mereka tengah mendekat.

Jihan menatap empat kakak kelas berwajah sangar itu tak kalah dingin. Semuanya tersenyum miring saat bola mata Jihan bergulir pada sosok rapuh gadis berambut sepunggung tengah tergeletak dibawah tekanan salah satu cewek di depannya, yang pasti ketua geng mereka.

“Akh!” gadis berwajah pucat itu merintih kesakitan saat sepatu mahalnya terus menggesek kulit lengan hingga lecet. Jihan langsung menghempaskan kaki laknatnya dari tubuh gadis malang itu.

Satu pergerakan tiba-tibanya membuat tubuhnyanya terhuyung.

“ARGH! SIALANNN!” teriak kakak kelas itu. Wajah menor nya seketika membuat Jihan ingin meludah saat itu juga.

Dia bergerak kesal usai menabrak wastafel.

“Lo gak apa-apa Nis?”

“Siapa sih, dia? Ganggu kita aja!”

“Mau kita hajar kali tuh anak!”

Kakak kelas bernama Anis itu bangkit dengan nafas memburu. “SIAPA LO BERANI TOLONGIN TUH ANAK HAH?!”

Jihan meraih tangan gadis malang tadi dengan wajah meringis. Tubuhnya sangat dingin. Wajah cantiknya terlihat kurus dan pucat bahkan matanya seakan tidak kuat lagi untuk bertahan.

Gadis itu terlihat lemas. Sebentar lagi juga pasti akan ambruk juga.

“Lo gak apa-apa?” Tanya Jihan. Dia pun mengangguk lemah dengan posisi menunduk. Jihan masih mencoba membuatnya tertatih hingga perlahan wajah cantiknya terlihat sempurna.

D-Dia..?

“Woy! Bos kita tanya lo jalang malah ngobrol sama si cunguk.” Salah satu dari mereka menarik lengan gadis malang itu namun tak berhasil karena dengan sigap Jihan terlebih dahulu pasang badan didepannya.

“Mau apa lagi kalian? Saya bisa laporin tindakan kalian ini ke pihak sekolah dan kalian akan menerima hukumannya,” ujar Jihan, sambil menatap mereka tajam satu persatu.

Satu kakak kelas melangkah maju dengan lagak pongahnya. Lidahnya bermain di mulut bergincu itu dalam hitungan detik tangannya sudah menarik rambut Jihan bagian belakang dengan cepat.

Jihan tercekat hingga menatap langit-langit toilet dengan bibir bawah tergigit. Merasakan sakit yang mulai menjalar di seluruh kulit kepalanya.

“Shhh.. s-sakit,” rintih Jihan kesakitan. Pertama kali merasakan jambakan dari pembullyan nomor satu di sekolah ini. Sesuai rumor yang dulu pernah Jihan dengar dari Agatha, tangan gadis preman itu tidak main-main.

“Sakit, hm?” satu hentakan dari tarikan itu berganti jadi jambakkan yang luar biasa sakitnya. Seketika Jihan mengeluarkan air matanya karena tak kuat menahan tarikan kasar dirambutnya.

Ia pikir bisa-bisa kulit kepalanya copot saat ini juga.

“Lo berani sama gue sama aja nantangin, JALANG KURANG AJAR!” Dia tertawa meremehkan.

Perkataan kakak kelasnya itu berhasil membuat darah Jihan mendidih. Tidak tahu saja siapa Jihan. Begini juga jiwanya bukan anak SMA lagi. Mungkin jika posisi ini terjadi dimasa SMA Jihan dulu dia sudah menciut dengan babak belur.

Tapi kali ini biarkan Jihan dengan bebas mengekspresikan semuanya dengan kreasinya.

“NGOMONG APA BARUSAN?!”

“AAKHHH!”

Satu tangan Jihan berhasil meraih kepala gadis bernama Anis yang menjambak nya itu. Dia menerima balasannya dengan lebih.

Dengan sekuat tenaga Jihan bangkit perlahan dengan kedua tangan menarik rambutnya hingga kusut.

“Mati lo sialan! Berandalan gak tahu diri.”

“L-lepasin jalang! Gue bakal bales Lo lebih menyakitkan dari ini aaakhh! Le-lepas Gak?!”

Jihan tertawa seram. “Haha. Gak.”

Teman-teman kakak kelas bernama Anis itu malah mematung dengan ponsel di masing-masing tangannya. Merekam sambil tertawa tanpa niatan memisahkan dua gadis yang tengah saling Jambak itu.

Bahkan tidak mau menolong ketua mereka sama sekali membuat Anis menggeram marah menatap teman-teman bodohnya yang tak berguna.

“Amel, Celi, Nana, Sita! Mulai besok gue bakalan buat perhitungan sama kaliannnnn! Arghhh!” Anis menghentak-hentakkan kakinya dengan penuh kekesalan.

Anis mendorong tubuh Jihan kepojok hingga terbentur tembok. Keduanya tersungkur dilantai toilet dengan penampilan berantakan, terutama rambutnya yang sudah seperti sangkar burung.

Beruntung rambut Jihan pendek jadi tidak terlalu buruk walaupun seragamnya agak sobek dikit di bagian kerah serta beberapa kancingnya yang copot gadis itu tetap tersenyum simpul selagi bangkit, merapikan seragam sekolahnya.

Menatap Anis tengah menangis dengan penampilan  seperti orang gila.

“Emang dasar orang gila!” kata Jihan. Celingak-celinguk menatap isi toilet berasa kehilangan sesuatu.

“LO TUNGGU PEMBALASAN GUE!” Anis keluar toilet dengan wajah kesal diikuti para dayangnya yang tadi sibuk memotret wajah Jihan sekarang Jihan tatap balik dan meraih ponsel itu namun mereka dengan gesit berlarian keluar dari toilet dengan wajah ketakutan.

Jihan membuang nafas kasar lantas dengan langkah gontai menatap cermin, membasuh wajahnya dengan air.

Ini pertama kalinya Jihan seperti ini. Merasa adrenalin nya meningkat dan membuat Jihan bersemangat.

Kenapa tidak dari dulu saja Jihan berperilaku seperti ini? Membela seseorang yang dibully bukan hal yang buruk, sekalipun harus mendapatkan sakitnya juga.

“Hahh.. mukaku pada lecet. Kalo Mama tahu, harus jawab apa?”

Jihan mengelus bekas cakaran kakak kelasnya tadi di bagain pelipis hingga turun ke dagu.

Sedikit berdarah dan perih. Padahal malamnya ia akan tunangan.

Bagaimana ini?

***

Terpaksa sudah, jam pelajaran awal Jihan memutuskan untuk membolos.

Jihan sekarang benar-benar merasa lebih baik dari Jihan yang dulu. Entah kenapa rasanya seru menjadi gadis yang sedikit kasar seperti di toilet tadi. Jihan tertawa kecil saat mengingat wajah kacau kakak kelas bernama Anis itu. Hanya satu yang Jihan dengar namanya tadi selebihnya Jihan tidak tahu.

Ngomong-ngomong, yang masih membuatnya cemas adalah cewek  yang ia tolong di toilet tadi hilang begitu saja.

Jihan cemas bagaimana jika dia pingsan dijalan. Namun setelah dicari-cari juga tidak ada. Gadis itu tidak ada tujuan dan memutuskan untuk berkeliling ke kantin tapi sebelum itu ia terlebih dulu harus mencari UKS untuk mengobati lukanya.

Jihan paling anti luka, tapi dia sering terluka.

Jihan memegangi dadanya sesaat. Lantas beberapa detik kemudian menggeleng kepalanya berusaha sadar, ingatan masa itu jangan diingat-ingat lagi tidak baik untuk kehidupannya ini.

“Lo kenapa?”

“Astaga!?”

Jihan mengelus dada seketika. “Nyeselin.” Jihan menunduk dengan wajah mengerut, mengapa juga harus bertemu dengannya saat situasi seperti ini?

“Kenapa muka?” tanyanya lagi.

Namun Jihan masih mengabaikan Arka. Karena berusaha terus menguji kesabarannya Arka berhenti tepat di depan wajah Jihan, membuat gadis itu terkejut untuk kedua kalinya. Namun yang membuat Jihan jantungan bukan itu tetapi setelah pergerakan tangan dan ucapannya.

Jihan mendongak pada wajah tampan itu saat dia meraih dagunya.

“Siapa yang berani sentuh milik gue, hm?”

Bagaimana ini?

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang