[44]

1.8K 101 5
                                    

Setelah memarkirkan kendaraan mereka masing-masing keempat remaja itu berjalan menuju pintu utama rumah berlantai dua itu.

“Padahal lo gak diajak Gar, bukanya susah buat dapat izin dari bokap lo.”

Legar terkekeh. “Bokap lagi gak ada. Lagipula dia udah gak peduli lagi.” Cowok bermata hijau laut itu menunduk. Menyamakan langkahnya dengan Tiara. Kaki gadis itu kecil sekali. Gemasnya.

Lain halnya Tiara, dia mengingat kembali terakhir kali dia dirumah ini hanya disambut baik mamanya Jihan. Benar-benar ibu yang baik. Ternyata dirinya benar-benar dikasihani. Matanya berkaca.

Mengingat kelakuan ibunya sendiri dua jam yang lalu. Berbanding terbalik dengan sifat mamanya Jihan yang baik hati.

Pergelangan tangannya terasa ngilu. Tiara mendapatkan luka baru dan saat ini terobati dengan senyuman hangat mamanya Jihan.

“Halo Tante,” sapa Legar dan Tiara bersamaan.

Mereka berempat pun Salim dengan hangat. Jihan izin undur diri terlebih dahulu untuk ke kamarnya.

Arka melihatnya pergi menaiki tangga menuju kamarnya berada.

“Satunya siapa? Tante baru liat. Pacar Tiara?” Tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu.

Tiara menggelengkan kedua tangannya didepan. “Bu-”

“Iya Tante. Saya Legar Marquel. Sahabatnya Arka, satu sekolah juga sama Jihan,” dengan ramah Legar memperkenalkan diri.

Tiara dengan wajah ironis tatkala menangkap senyuman manis Legar layaknya seorang anak remaja laki-laki pada umumnya. Yang ternyata kepribadiannya tidak selunak itu. ALR memang segitiga Bermuda yang pintar berakting rupanya.

Tiara akan ingat baik-baik.

Mamanya Jihan mengangguk paham. Kemudian mempersilahkan untuk mencari tempat duduk karena makan malam memang sudah dipersiapkan dengan baik. Begitu pula meja panjang serta beberapa kursi sudah tertata rapih. Mama Jihan masak lumayan banyak hari ini. Wanita itu menanti kepulangan suaminya yang katanya sih, malam ini itu pun, jika tidak macet dan belum pasti juga. Bisa mungkin besoknya yang jelas ia mempersiapkan semuanya untuk semua yang datang malam ini saja.

“Makan malam sederhana. Tante harap kalian suka dan gak bosen disini ya, Tante mau ke atas dulu. Panggil jihan.” Langkahnya terhenti saat Arka menyela.

“Biar Arka aja, ma. Gak apa-apa kan?”

Wanita itu tersenyum simpul. “Tentu saja.” Tangan kanannya mengarah pada tangga lantai dua. “Kamu lurus aja dibagian kiri dan kamar nomor satu, itu kamar Jihan.”

“Baik, ma. Semuanya permisi.”

Em.. lihatlah, laki-laki itu tahu cara bersikap pada orang dewasa. Legar mengejek dengan tampang cemooh nya melihat Arka berlalu mencari gadisnya.

**

Ceklek

Pintu kamar Jihan terbuka. Menampilkan segala isinya yang tampak manis. Seperti pemiliknya.

“Jihan,” panggil Arka. Menatap ke segala arah tapi tidak menemukan barang hidungnya sama sekali.

Cowok jangkung itu menekan  saklar lampu disampingnya.

“Ji-”

Arka segera mendekat pada lantai bagian pojok. Letak ranjang disisi kiri dekat pintu balkon. Disana Jihan tergeletak pingsan.

Cowok itu buru-buru mendekat dengan langkah lebar. Memangku kepala jihan kemudian meletakannya di atas kedua pahanya dengan hati-hati.

“Jihan sadar! Jihan ..”

Di lapnya peluh yang sudah membanjiri area pelipis Jihan menggunakan ibu jarinya. Poni pendeknya lepek karena keringatnya sendiri. Begitu pula bibirnya yang nampak pucat.

Arka mendekatkan sebelah kepalanya didada Jihan. Jantungnya masih berdetak, syukurlah. Lantas meraih dahinya. Hangat. Menyingkirkan poni gadis itu agar bisa melihat wajah cantik Jihan leluasa.

“Sangat pucat.” Meraih satu telapak tangan Jihan untuk digosok agar terasa hangat. Karena terasa keringat dingin menjalar di arena telapak tangan membuatnya terasa lembab. “apa stress lo separah ini? Gue harap bukan gara-gara gue lo jadi kayak gini. Gak kebayang bagaimana jadinya gue kalo belum mampu maafin diri gue sendiri karena bikin lo sengsara Jihan.”

Arka menepuk-nepuk pipi Jihan berulang kali. Jika masih belum sadar ia tidak akan berpikir dua kali untuk memberinya nafas buatan.

“Sayangg..” panggil Arka lembut. Dia sudah bersiap meletakan kepala Jihan kembali.

“O-obat.. ” suara Jihan serak terdengar parau.

Arka buru-buru mencarinya di nakas hingga laci. Ketemu. Tapi tunggu—apakah obat penenang baik untuknya? Dengan ragu, Arka menyerahkannya pada Jihan.

Dengan tidak sabar gadis itu meraihnya. Menelan obat tersebut tanpa air sama sekali.

“Sekali lagi kayak gitu gue gak akan maafin lo.”

Jihan mengangguk. Paham. Ia memang selalu salah dimata Arka.

Arka membantu Jihan bangkit kemudian menggendong bridal style. Memindahkannya ke ranjang perlahan.

“Lo harus minum obat yang tepat dan perawatan yang baik. Besok kita kembali ke rumah sakit lagi, ya?”

Jihan menatap manik Arka berkaca. Baru sadar sebetulnya dari tadi wajah tampan itu terlihat cemas dengan kedua tangan kekarnya bergetar.

Jihan meraih sebelah pipi Arka. Cowok itu nampak tenang saat ibu jarinya mengelus kelopak matanya. Beralih pada pipinya kembali. Arka menutup matanya seketika.

Dirinya sudah tidak se-menegangkan tadi. Jantungnya terdengar berdegup kencang. Arka menggenggam tangan Jihan sendu.

“Lo harus sembuh. Jihan harus bahagia,” katanya. Jihan mengeluarkan air mata tiba-tiba. “Gak papa. Ada gue selalu disamping lo.” Memeluknya lembut. Arka mengecup pucuk kepala Jihan sayang.

Jihan menangis dalam pelukannya. Tak lama tangisnya mereda.

Jemari Arka menghapus seluruh jejak air mata Jihan begitu lembut. Jihan terlihat rapuh saat ini membuat hatinya berdenyut sakit.

Sejak kapan Arka jadi selemah ini dihadapan orang lain terutama orang itu adalah orang yang membuatnya jatuh hati dengan cepat.

Jihan tertawa sumbang.

“Kak Arka juga harus bahagia. Waktu kita sudah menipis untuk terus bersama.” Nafas gadis itu terasa memberat.

“Masih belum rela.” Arka tidak bosan bisa mengawasinya.

Wajah cowok itu memelas kemudian berubah menjadi sangar.

Tatapannya menghunus tajam netra Jihan.“saat ini gue perlu lo sembuh. Lawan semua pikiran buruk yang menghantui lo, apalagi buat pikiran untuk menjauh dari gue.” Auranya mendominasi.

Sesaat Jihan lupa, jika Arka tidak sepenuhnya sama.

Arka tetaplah Arka. Semena-mena, manis, terlalu kelam dan tertutup selebihnya, dia apa adanya.

Ia berharap akhir hidupnya memiliki akhir yang tak sama.

Gadis itu menatap kepergian Arka yang terasa Dejavu baginya.

 [END] AKHIR YANG TAK SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang