Malamnya, sekitar jam dua belas lewat sepuluh menit terlihat Raega tengah memarkirkan motornya didalam area parkiran VIP di sebuah tempat club terkenal yang selalu ramai setiap malamnya.
Dia melangkah tegas sembari mengacak rambut setelah membuka helm full facenya. Ia berjalan santai dengan ramah memasuki lorong khusus tamu naratama, terlihat dalam penjagaan ketat oleh para pria berbadan besar yang selalu mengawasi setiap tamu. Bahkan hampir hapal semua tamu langganan yang datang ke tempat ini.
Ketika salah satu pintu ruangan VVIP terbuka, semua orang yang ada didalam meliriknya. Raega melangkah santai hingga akhirnya duduk di satu sofa kosong sambil mengangkat wajahnya menatap mereka satu persatu.
Senyuman khasnya terbit.
“Gar,” panggil Arka melirik pada Legar. Cowok itu mengangguk lalu memberi instruksi pada anak-anak lainnya untuk keluar.
Mereka langsung paham dan memilih keluar. Sekitar enam remaja itu masih satu sekolah dengan ARL. Ada beberapa pemain basket dan sisanya siswa nakal biasa.
“Ini pertama kalinya kita kumpul lagi semenjak lo pada sibuk sama target kalian,” cetus Reaga. Tersenyum pongah sembari tangannya meraih jus jeruk dengan santai.
Dia tidak minum karena memang jarang, belum lagi harus mengemudi habis ini walaupun toleransi alkoholnya tinggi.
Begitu juga Arka dan Legar. Mereka nakal tapi bukan berarti tolol juga. Mereka minum disaat-saat tertentu. Saat ini mereka sedang santai hanya perlu soda saja sudah cukup. Bukanya cupu tapi kesehatan lebih penting.
“Gue udah buang target gue,” Legar mendengus kesal tanpa alasan.
“Seorang Legar kena mental cuma urus satu cewek doang,” Arka terkekeh. Dilanjutkan satu kaleng soda ia teguk perlahan lantas tatapan kelamnya berlabuh pada Raega secara diam-diam.
“Gue capek, Sumpah! Ar dan Ga, lo tau, si Tiara ternyata emang sudah diatur pantes aja adik lo bully dia. Keputusan yang gak harus disesali seumur hidup sih, itu mah.” Legar menyalahkan satu batang rokok. Menghisapnya dengan napsu membara karena teringat wajah cantik gadis kurang ajar itu. Hampir jatuh hati dia, jika tidak tahu sikap aslinya bagaimana.
“Tiara?”
“Hm.”
Raega teringat sesuatu. Kemudian kepalanya mengangguk. “Sebagai judul berita terpanas, kira-kira gue bisa kasih tema kebakaran di sebuah pemukiman kumuh atau-”
“Raega!”
“Apa?” tanya Raega dengan wajah tanpa dosa.
Kali ini lebih serius. “Lupakan soal target permainan konyol kita.”
Legar mulai mengawasi. Seperti biasa.
Diantara ketiganya hanya Raega yang masih memasang mimik muka santai. Senyumannya membuat Arka muak.
“Siapa yang ajari lo selalu senyum kayak gitu?”
“Paman. Dia mengajari gue banyak hal yang gak kalian tahu. Tapi dia bukan sembarang orang yang bisa didekati. Gue terbiasa dengan ekspresi khas keluarga gue turun temurun.”
Legar menggeleng kepala. Bocah psikopat, pikirnya. Membiarkan malam ini menjadikan semuanya lebih terbuka.
“Gue mau ngomong serius.”
Raega menjadi kaku. Senyumannya luntur seketika. Kemudian mengangguk. “Oke.” Ia menumpang satu kakinya dimeja kaca depannya.
Arka melirik Legar sebelum memulai. Dihadapan mereka Reaga hanyalah seorang anak remaja pada umumnya walaupun terkadang pemikirannya agak berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] AKHIR YANG TAK SAMA
SonstigesSetelah perceraiannya terjadi, Jihanara Cilyn merasa jika hal yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Menandatangani surat cerai dengan impulsif. Saat semuanya benar-benar berakhir, perempuan itu tersadar, harusnya ia mencari tahu segalanya terle...