“Ini pertemuan kedua kita setelah pertunangan lo dengan Arka, benar?”
Jihan mengangguk, “iya Kak.” Jujur saja, ia canggung sekali. Gama jika dilihat dalam jarak sedekat ini sangatlah tampan. Tatapannya begitu tajam namun tidak menakutkan seperti Arka. Kedua ujung matanya seperti rubah, menarik dan bikin nyaman.
Mereka serupa tapi tak sama.
“Bentar, gue ambil minum dulu.” Kak Gama pergi mengambil minum tanpa bertanya apa yang Jihan inginkan. Cowok itu lebih peka dan terang-terangan. Sepertinya sangat ahli jika berhadapan dengan perempuan tapi tunggu, kenapa juga malah membandingkan Arka dengan kakaknya? Jelas mereka berbeda karena Gama kakaknya Arka tentu saja lebih dewasa.
Kesan pertamanya selalu bersikap naif. Jihan, Jihan.
“Ini, air putih lebih cocok buat lo.” Gama meletakan segelas air mineral. Hanya air. Oke, Jihan juga tidak berharap lebih. Dia hanya ingin tahu apa yang membuat Gama mengajaknya ke apartemennya.
“Kak Gama kenapa ajak aku kesini?”
Gama tersenyum miring. Dia mengusap ujung hidung mancungnya. “Kenapa, takut Arka tau ya?” Tanyanya.
“Nggak.” Jihan serius. Menatap sekelilingnya, ruang tamu itu serba hitam. Kenapa laki-laki selalu suka memakai nuansa hitam, membuatnya sesak.
“Oke, gue cuma mau kasih ini sama lo.”
Gama meletakan sesuatu yang dia ambil dari laci yang terletak dipojok ruang tamu tak jauh darinya. Sebuah kamera dashboard mobil kini tergeletak dimeja ruang tamu.
Jihan meraihnya. Dengan genggaman kuat, tangannya bergetar.
“Disana ada rekaman terakhir dari mobil yang papa lo naiki. Mereka menyimpan tiga bom disetiap sudut mobil dan sebelum meledak, orang suruhan Arka yang melempar itu sebelum detik-detik mobil meledak dalam hitungan terakhir. Lo bisa kebayang kan, bagaimana paniknya bokap lo?”
Gama menyeringai. Entah mengapa jika melihat seorang gadis cantik tengah menangis membuatnya lebih bersemangat. Bersemangat untuk menghabiskan orang-orang itu.
“Memang, pelaku disana ikut mati juga tapi yang menyuruh mereka .. masih berkeliaran.”
“Menurut Kak Gama .. apa yang harus ku lakukan?” tanya Jihan dengan suara serak.
Gama berpindah tempat, saat ini duduk disamping Jihan. Wajah cowok itu mengeras. “Keputusan ditangan lo adik ipar. Percayakan semuanya pada adek gue, bagian klimaksnya lo bebas yang menentukan akan pakai hukuman apa, yang jelas jangan hukuman negara dulu.” Gama menepuk bahu Jihan pelan-pelan. Mencoba menenangkannya.
“Memang kenapa, bukannya agar lebih cepat polisi ya-”
“Dia mafia, Jihan. Lebih tepatnya paman Raega, sahabatnya Arka.”
Dilihatnya Jihan begitu intens. Gadis itu menunduk seketika. Nafasnya memburu dengan kedua tangan mengepal. “Mereka bekerja sama?”
“Lebih tepatnya, Gerald yang memanfaatkan keponakannya sendiri. Raega itu hasil didikan pamannya. Lo jangan mudah ketipu.”
“Semua laki-laki sama aja.”
Gama langsung menoleh. “Sorry ya, manis. Kenapa tiba-tiba berkata kayak gitu, hm? Gue nggak tuh.”
Jihan berpikir keras. Jadi Reaga bersikap manis padanya karena hanya ingin mempermainkannya sekaligus membuat Arka terganggu? Lantas hubungan dengan Gerald?
“Yah, dicuekin.” Gama berdiri. Kembali pada tempat duduknya semula.
“Kak Raega deketin aku cuman buat kak Arka marah, terus hubungannya dengan—”
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] AKHIR YANG TAK SAMA
RandomSetelah perceraiannya terjadi, Jihanara Cilyn merasa jika hal yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Menandatangani surat cerai dengan impulsif. Saat semuanya benar-benar berakhir, perempuan itu tersadar, harusnya ia mencari tahu segalanya terle...