Bodyguard - 1

122K 901 0
                                    

“Mas Agam mau ke kamarnya Non Vella?” tanya Bi Inem kepada Agam yang baru saja hendak menapaki kakinya di atas anak tangga menuju kamar Vella di lantai dua.

Tanpa membuat ekspresi yang berarti, Agam mengangguk, “Vella harus berangkat les piano satu jam lagi.”

“Tapi kata Mbak Vella dia lagi nggak mau diganggu,” sahut Bi Inem agak takut.

Kening Agam seketika berkerut. “Vella kenapa? Sakit?”

Padahal tadi saat ia jemput di sekolahnya, Vella tampak baik-baik saja. Meskipun gadis itu memang jadi agak pendiam, sebab biasanya Vella banyak bicara dan selalu ada saja yang akan ia ceritakan.

Bi Inem menggeleng lemah, “Bibi nggak tanya, Mas. Soalnya habis makan siang Mbak Vella langsung masuk kamar dan kunci pintu. Sampai sekarang nggak keluar juga.”

Agam mencerna kata-kata Bi Inem tanpa ekspresi. Tetapi firasatnya mengatakan pasti ada yang tidak beres dengan gadis itu.

“Baiklah, saya akan cek Vella di atas,” Agam memutuskan untuk mengecek sendiri keadaan Vella, kalau memang sakit maka ia akan membawa gadis itu ke rumah sakit alih-alih membawanya ke guru les pianonya.

Sebagai seorang bodyguard seorang remaja tujuh belas tahun, Agam tak ubahnya seperti seorang pengasuh yang harus memastikan bahwa orang yang ia jaga setiap hari itu melakukan kegiatan-kegiatannya dengan baik. Jika ada yang tidak beres seperti hari ini, maka Agam bertanggung jawab penuh atas hal itu.

Agam melangkahkan kakinya menaiki anak tangga demi mencapai kamar Vella di lantai dua rumah besar itu. Setelah tiba di depan pintu kamar Vella, Agam segera mengetuk pintu dan berharap Vella mau membukakan pintu kamarnya segera.

“Vella, buka pintunya. Ini Om Agam,” ucap pria berumur 30 itu, menunggu sang pemilik kamar menyahuti kata-katanya.

Tidak ada reaksi.

“Vella buka pintunya. Kamu harus berangkat les piano.”

Masih tak ada reaksi.

“Vella, kalau nggak dibuka juga pintu ini bakal Om dobrak.”

Ternyata ancaman itu berhasil. Karena dua detik kemudian pintu itu dibuka dari dalam dan memunculkan wajah sembab Vella dari celah kecil pintu yang ia buat.

“Apa?” ucapnya dengan suara parau.

“Kamu kenapa? Habis menangis?” tanya Agam khawatir.

Vella diam saja. Justru suara tangisannya yang kembali terdengar. Dan Agam pun semakin panik dibuatnya.

“Tenang, Vel. Buka pintunya dulu dan cerita sama Om,” kata Agam berusaha menenangkan.

Gadis itu akhirnya menurut, ia mundur satu langkah dan membuka pintu kamarnya lebih lebar agar Agam dapat memasuki kamar dengan dominasi warna pink itu. Agam berdeham, seraya mengedarkan pandangannya ke kamar Vella yang jarang ia masuki. Sebagai seorang bodyguard, Agam sangat menjaga privasi kliennya—Vella adalah anak dari kliennya yang sudah menggunakan jasa Agam selama dua tahun terakhir.

Pengusaha sukses seperti ayah Vella selalu punya musuh—entah dari pesaing bisnis atau hanya orang yang tidak suka atas keberhasilan keluarga itu. Sehingga di sinilah Agam sekarang, bersama dua temannya yang juga berprofesi sebagai bodyguard dari perusahaan jasa keamanan yang sama telah menjaga keluarga itu dari kemungkinan kejahatan-kejahatan yang akan dilakukan oleh orang yang tak senang dengan mereka.

Agam baru berjalan beberapa langkah memasuki kamar Vella, namun kakinya seketika terhenti saat ia mendengar pintu kamar Vella terkunci. Dan saat Agam memutar tubuhnya ke arah Vella, gadis itu justru menghambur ke arahnya.

Agam belum siap dengan pelukan tiba-tiba gadis itu. Namun ia tak berkata apa-apa, membiarkan Vella memeluknya dengan erat beberapa saat.

“Ada apa?” bisik Agam setelah pada akhirnya membalas pelukan yang belum juga terlepas itu.

“David jahat,” sahut Vella terbata-bata.

Agam tidak berniat menyela ucapan Vella, jadi ia diam saja menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya. Yang jelas Agam tahu David, ia adalah orang yang beberapa bulan terakhir menjadi pacar Vella.

Dan benar saja, beberapa sekon kemudian, Vella kembali berkata, “David selingkuh, Om. Dia tidur sama Sharon, Vella benci banget sama David.”

“David tidur dengan Sharon?” Agam memastikan, tak yakin dengan pendengarannya sendiri.

Pelukan Vella seketika terlepas. Gadis itu memandang Agam dengan pandangan sedikit sebal, “Om jangan pura-pura polos. Iya tidur, berhubungan badan.”

Agam berdeham canggung. “Maksud Om kamu tahu dari mana?”

“David yang bilang sendiri. Katanya Sharon jago di ranjang. Nggak kayak aku yang balas ciuman aja nggak becus. Aku benci banget sama David, Om. Untung aku belum tidur sama dia,” ucap Vella panjang lebar. Kini tangannya menyeka sendiri bulir-bulir air yang masih berjatuhan dari kedua matanya.

Ucapannya justru membuat Agam pening. “Kamu berencana tidur sama dia? Vel, kalau Papi kamu tahu—“

“Yang penting kan nggak jadi,” potong Vella cepat.

Agam mendesah pasrah, tak ingin berdebat dengan anak kliennya itu.

“Sekarang Om harus ajarin Vella ciuman,” kata Vella dengan nada memerintah.

“Apa?”

“Ayo Om, Vella sakit hati dibilang nggak becus ciuman. Om kan udah gede. Pasti jago ciuman. Ajarin Vella,” kali ini gadis itu merengek sambil meraih tangan Agam dan menggoyang-goyangkannya.

Ucapan penuh permohonan dari Vella berhasil membuat Agam kalang kabut.

Mau tak mau. Mata Agam menatap dalam ke arah Vella. Setelah diam beberapa detik, suara Agam kembali terdengar, “Kamu sadar dengan apa yang kamu minta, Vel?” tanya Agam dengan nada rendah.

Ada sesuatu dari diri Agam yang baru saja disentil oleh gadis tujuh belas tahun itu. Dan sebelum semuanya terlambat, Vella harus disadarkan terlebih dahulu.

"Ya, aku sadar," ucap gadis itu menantang.

Oh tidak, tatapan mata Agam telah berbeda. Ada gurat hasrat yang telah berhasil dipancing oleh Vella.

Dengan sisa-sisa kewarasan yang ia punya, Agam mengelus rambut Vella. "Kamu nggak tahu akibat dari ucapanmu itu, Vel," ucap Agam berusaha menepis.

Ia memutar tubuhnya membelakangi Vella. Dengan langkah kesal ia berjalan menjauhi Vella yang baru saja meminta hal tidak masuk akal kepadanya. Bukan karena Agam tidak mau. Hey, dia pria normal yang diam-diam menginginkan bibir Vella setiap ia mendengar gadis itu mengoceh di sampingnya. Agam ingin meraup kenikmatan dari bibir merah muda milik Vella yang tampak menggoda itu.

Tetapi itu salah. Itu hasrat yang tidak benar. Tidak seharusnya ia menginginkan Vella yang merupakan anak dari kliennya yang seharusnya ia jaga.

Belum sempat Agam memutar kunci pintu kamar Vella, gadis itu lebih dulu mencapai tubuh Agam dan langsung memeluknya dari belakang. Sangat erat. Bahkan Agam bisa merasakan sepasang payudara Vella yang menempel di punggungnya.

"Om mau pergi gitu aja?"

Perkataan Vella terdengar tidak terlalu jelas—seperti teredam sesuatu. Tetapi Agam cukup mengerti tentang apa yang diinginkan oleh gadis itu. Vella tidak ingin dirinya pergi.

Persetan dengan loyalitas sebagai bodyguard. Agam akan mereguk kenikmatan itu dengan membuang norma-norma yang berusaha ia jaga sejak tadi.

Dengan gerakan cepat Agam melepas pelukan Vella lalu membalikkan tubuhnya hingga kini berdiri menjulang di hadapan gadis itu. Kemudian ia tangkup kedua pipi Vella dan menatapnya dengan hasrat yang berkobar-kobar.

"Saya harap kamu nggak akan menyesal dengan keputusanmu, Vel," ucap Agam setengah serak sebelum akhirnya menempelkan bibirnya di atas bibir Vella.

Agam melumat lembut bibir manis yang telah ia mimpikan itu. Serta berusaha membawa pengalaman baru yang khusus ia persembahkan untuk Vella, gadis yang sebentar lagi ia pastikan akan jatuh terkulai di ranjangnya.

Sweet and SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang