Sania menatap pria itu kaget. Bukan hanya karena pria itu berdiri di depannya, tapi juga karena ia mengajak Sania bicara.
"Maaf, gue Donny, tadi kita ketemu di lift—dan pagi tadi juga," senyuman pria bernama Donny itu sungguh memikat, Sania mati-matian untuk tidak terpana—atau mungkin sudah gagal sejak pertama kali pria itu berdiri di depannya.
Sania menengok kiri dan kanan sambil tersenyum canggung. "Eh, ya, Mas, lagi nyari taksi online tapi belum dapat-dapat juga," jujur Sania sambil memamerkan layar ponselnya yang sedang membuka aplikasi ojek daring.
"Lagi hujan gini bakalan susah, driver males pick up," kata Donny yang sungguh masuk akal. "Bareng gue aja kalau lo mau," tawarnya kemudian, dan memberikan opsi untuk Sania memilih, ikut dengannya atau mengabaikan ajakannya.
Setelah menimbang-nimbang, Sania akhirnya menjatuhkan pilihannya dengan mengangguk lemah. Mungkin ini adalah pilihan paling gila yang pernah ia lakukan. Menerima ajakan pulang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Tapi, mau bagaimana lagi, malam semakin larut, hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda berhenti, matanya semakin mengantuk, dan entah harus berapa lama lagi Sania menunggu pesanan ojek daringnya itu diterima.
Jadi, mengambil segala risiko, Sania menerima tawaran Donny dengan segala pertimbangan yang ada.
Donny mengulas senyum sambil mengangguk dan menunjuk SUV miliknya dengan jempol, "Yuk," ajaknya kemudian berjalan lebih dulu untuk membukakan pintu mobil untuk Sania.
"Thank you," kata Sania lalu menaiki mobil Donny.
Keduanya meninggalkan teras gedung berlantai tiga puluh lima itu dalam keadaan hujan yang masih mengguyur Jakarta. Jalan utama masih padat meski tidak sepadat sore tadi, dan demi memecah kesunyian yang ada, Donny menyalakan musik di mobilnya.
"Suka Coldplay, Mas?" tanya Sania saat tahu bahwa lagu yang sedang diputar adalah Viva La Vida, salah satu lagu populer dari band yang berasal dari Inggris itu.
Donny mengangguk kecil. "Ya, cukup suka," katanya mengiakan.
"Berarti nonton dong konsernya tahun lalu di Jakarta?"
"Iya, nonton. Lo?"
"Nggak, gue nggak punya duit, gue pengangguran waktu itu, Mas. Mending duitnya buat beli skincare biar meski miskin muka tetap glowing," Sania berkelakar, ia bahkan tertawa dengan ucapannya sendiri.
Sebenarnya Sania tidak sekere itu. Tapi mengingat ia hanya tinggal dengan ibunya setelah kedua orang tuanya bercerai, Sania jadi tidak tega kalau harus meminta uang sebanyak itu hanya untuk nonton konser. Bisa, sih, minta ke ayahnya yang punya keuangan jauh lebih baik dari ibunya. Namun, kebenciannya karena sang ayah berselingkuh dan menikahi ani-ani-nya membuat Sania tidak sudi menghubungi ayahnya hanya demi uang.
Biarlah ayahnya bahagia dengan si pelakor. Toh, karma akan tetap datang pada waktunya. Tinggal tunggu saja.
"Nggak nonton bareng pacar lo?" pertanyaan Donny sebenarnya sedikit menjurus, tapi Sania yang sudah terlalu malas berpikir itu akan memilih menjawab apa adanya tanpa melibatkan spekulasi-spekulasi yang tidak penting.
Donny pasti hanya berbasa-basi. Tidak lantas tertarik dengannya—tidak seperti kebanyakan pria yang bertanya perihal pacar dengan maksud tertentu.
Sania tersenyum sambil menggeleng. Ia menatap Donny yang hanya menyetir saja bisa tampak setampan itu. "Jomlo gue, Mas. Kenapa? Mau nyariin gue pacar?"
Donny ikut terkekeh. "Nggak, gue rencananya justru mau daftar kalau memang lagi buka lowongan."
"Kirim CV aja ke email, ya, Mas," tukas Sania menimpali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Short StoryKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)