Redolent

7.2K 69 7
                                    

red·o·lent
/ˈredələnt/

adjective
strongly reminiscent or suggestive of.
• reminder of something else.

***

Alunan musik EDM yang menggema di seluruh ruangan, diikuti oleh sorak-sorai orang-orang di dalamnya. Malam itu adalah malam yang membahagiakan untuk sepasang pengantin yang baru saja resmi mendapatkan gelar baru yang sudah sangat dinanti-nanti; suami dan istri.

Johnny yang menjebak dirinya sendiri di dalam after party sahabatnya itu tampak menikmati pesta liar yang tersaji di depannya. Para wanita berpakaian minim bahan yang sedang memberikan tarian-tarian seronok itu mengundang gelak tawa dan sorakan membahana di sana. Belum lagi saat sang pengantin turut memberikan atraksi tarian vulgar, di mana pengantin pria diminta duduk di sebuah kursi sementara pengantin wanitanya meliuk-liukan pinggulnya dengan sengaja di pangkuan prianya. Sungguh penampilan yang spektakuler, yang sayangnya hal itu hanya untuk konsumsi orang-orang di sana tanpa harus disebar ke dunia maya. Sebab, salah-salah, mereka yang mengganggap diri adalah manusia paling suci itu akan mencaci-maki dengan ujaran yang sangat tidak pantas. Seolah mereka adalah pemegang kunci surga yang sudah pasti akan masuk ke dalamnya tanpa mencicipi neraka.

Johnny menyesap vodka sambil tertawa kecil kala seorang temannya membisikkan sesuatu yang menurutnya lucu. Ia yang sehari-hari jarang mendatangi pesta sejenis terlihat sangat natural dalam bertingkah, sama sekali tidak ada kecanggungan darinya. Seolah ia memang terbiasa melakukannya. Melakukan hal apapun tanpa cela. Selalu dituntut untuk bersikap sempurna.

"Lihat ke arah jam 3, pake baju ijo," ujar temannya setengah berteriak karena suara musik yang terlalu kencang memenuhi tempat itu.

Johnny menjatuhkan pandangan mengikuti instruksi temannya. Dan terkekeh ringan seraya mengangguk tak acuh. "Cantik tuh. Mau lo deketin?" tanya Johnny sambil lalu.

Wanita itu tampak cantik dengan balutan gaun berpotongan seksi dengan punggung terbuka berwarna hijau lumut. Rambutnya yang digelung ke atas membuat leher jenjangnya menjadi salah satu hal yang menarik perhatian. Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi, kurang lebih mungkin hanya 160 senti. Namun karena proporsi tubuhnya yang bagus, wanita berkulit putih itu tampak menarik minat beberapa laki-laki di sekitarnya. Tak terkecuali Johnny yang tampak beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.

"Itu bukan selera gue. Tapi gue tau banget cewek itu selera lo," kata sang teman sambil terkekeh. Ia menyesap bir dari botol bir yang sedang ia genggam, sambil mengikuti arah pandang Johnny yang belum juga lepas dari sosok wanita yang dimaksud. "Deketin aja," suruh sang teman sambil mendorong punggung Johnny pelan.

Johnny menggeleng sambil berdecak. "Malas, keliatannya dia masih terlalu muda. Ribet urusannya kalau sama yang terlalu muda gitu."

"Justru karena masih muda, anjir. Biasanya masih enak banget tuh dipake. Test drive aja dulu," tidak ada beban sama sekali dalam ucapan itu. Seolah mereka sedang membicarakan sebuah barang alih-alih manusia yang punya perasaan.

Tampak menimbang-nimbang sebentar, Johnny akhirnya menandaskan vodka di dalam gelasnya dan menaruh gelas kosong itu di meja yang ada di sampingnya. Sambil melirik sang teman, Johnny tersenyum miring dan berkata. "Wish me luck kalau gitu."

Sang teman mendengkus setengah sebal. "Tampang kayak lo nggak bakal ditolak, percaya sama gue."

Johnny tertawa ringan tanpa menjawab. Ia kemudian berlalu meninggalkan sang teman demi mendekati wanita yang baru saja mereka bicarakan. Dengan santai Johnny mengambil dua gelas sampanye yang tersaji di meja dan membawanya ke arah wanita itu. Hingga akhirnya ia mendekat dan menginterupsi pembicaraan yang sedang berlangsung. "Hai, maaf mengganggu," sapa Johnny sambil menyerahkan segelas sampaye ke arah wanita itu.

Sweet and SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang