Maroon Shoes - 2

10.2K 138 4
                                    

Uang pelicin alias suap yang dijanjikan oleh pihak kontraktor kepada Iskandar Purwanto diberikan dua hari lagi. Seperti yang diucapkan oleh pria itu kepadaku saat di Bali dua minggu yang lalu. Tidak tanggung-tanggung, nominalnya di atas satu miliar—aku tidak tahu pasti angkanya karena Om Iskandar hanya tersenyum penuh misteri saat kutanyai.

Tapi, tidak masalah. Aku tidak butuh uang itu. Aku hanya tidak sabar menunggu apa yang terjadi selanjutnya, karena aku sudah memberi informasi kepada seseorang tentang transaksi gelap yang akan dilakukan oleh gadunku itu.

Aku menginginkan kehancurannya sesegera mungkin. Aku ingin tahu, apakah ia masih bisa tersenyum licik saat kedua sayapnya dipotong? Kurasa tidak. Ia akan jatuh terjungkal di dalam lubang neraka, di mana seharusnya ia berada.

"Kok tiba-tiba nggak mau ditransfer. Kenapa?" Om Iskandar yang tengah meneleponku itu bertanya penasaran.

Om Iskandar ingin menepati janjinya untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekeningku saat uang suap untuknya ia terima nanti. Alih-alih menerima, aku justru menolaknya. Dan beralibi bahwa aku menginginkan yang lain.

Mungkin ini pertama kalinya ia bertemu wanita yang menolak uangnya. Dan kurasa harga dirinya yang kelewat tinggi itu agak terluka oleh penolakanku.

Aku tersenyum simpul saat menyadari bahwa kini Om Iskandar berusaha mencari validasi dariku. Maka, inilah saatnya kumainkan egonya yang setinggi langit itu. "Daripada uang, aku pengin sport car," ucapku dengan nada manja mendayu-dayu. "Teman-temanku hampir semuanya punya, dibeliin pacar-pacar mereka. Aku juga mau, Om." Setengah merengek aku berusaha merayu Om Iskandar.

Tidak terdengar suara di ujung telepon. Kupikir ia menutup sambungan teleponnya, namun rupanya ia sedang berpikir sejenak. Karena setelah beberapa detik ia kembali bersuara. "Gimana kalau tiga atau empat bulan lagi? Sport car yang baru nggak bisa langsung datang. Harus inden dulu."

Aku tersenyum penuh kemenangan. "Iya, nggak masalah. Mau enam bulan lagi baru sampai juga aku nggak apa-apa. Yang penting dapet mobil."

"Gadis nakal, kalau ada maunya baru deh sabar nunggu," Om Iskandar kembali melancarkan rayuannya yang sudah basi itu kepadaku.

"Justru karena aku nggak sabaran, kan, makanya Om suka?" tidak mau kalah, aku membalas rayuannya.

Om Iskandar adalah tipe yang suka dirayu dan disanjung. Maka, aku akan memberi makan egonya sepuasnya. Sebelum ia merasakan bahwa terjatuh dari ketinggian itu sakit sekali rasanya.

***

Setelah sambungan telepon dari Om Iskandar terputus, aku menoleh sekilas ke arah pria yang tengah bergeming di belakangku. Posisiku yang sedang menyandarkan punggung di dadanya membuatnya dengan leluasa bisa memelukku dari belakang. Sambil bersandar di kepala ranjang, ia membiarkanku menikmati momen hangat yang sudah lama tidak kurasakan.

"Mau sampai kapan kontakku jadi "Tukang Service Ac" di hp-mu?" tanyanya tiba-tiba, saat aku sedang membuka aplikasi whatsapp di ponselku.

Mau tak mau aku tertawa mendengar pertanyaannya. Apa sekarang ia sedang ngambek denganku? Yang benar saja!

"Mas ngambek?" tanyaku blak-blakan.

Kudengar ia mendengkus. "Nggak, aku cuma nggak senang saja lihat kontak Iskandar jadi "Sayang" sedangkan kontakku jadi "Tukang Service Ac", timpang banget."

Ia jarang menggerutu. Ini mungkin baru pertama kalinya ia melakukan hal itu kepadaku. Cukup menggemaskan juga rupanya.

"Nanti kalau aku tulis "Mas Agung Nugroho" dan nggak sengaja dibaca sama Om Iskandar gimana?" aku bertanya, sekaligus menggodanya yang tidak biasanya bersikap kekanakan.

Sweet and SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang