His Grey Eyes

27.8K 177 6
                                    

Langit sore di akhir bulan desember tampak mendung seperti biasa. Musim hujan pun sudah menyapa sejak bulan lalu. Udara mulai kian dingin, jalan-jalan yang semula kering kerontang pun kini basah kuyup diguyur hujan.

Musim hujan, musim yang menandakan bahwa natal akan segera datang. Sama seperti para remaja seumuranku, aku menyukai kegiatan bertukar kado natal. Tapi, tahun ini keinginanku sedikit berbeda. Aku tidak ingin kado berupa barang, aku ingin kado yang lain, yang lebih istimewa.

Aku ingin jatuh cinta.

Umurku sudah enam belas tahun, aku sudah duduk di kelas sebelas. Tapi, tidak seperti teman-teman seumuranku yang sudah merasakan jatuh cinta bahkan pacaran, aku masih tidak tahu apa-apa soal ikatan emosional yang romantis antar manusia.

Apakah aku aneh?

Kata Mama, aku tidak aneh. Aku hanya belum bertemu dengan orang itu. Dan suatu saat, aku pasti akan bertemu dengan orang yang mampu membuat hatiku bergetar.

Tapi siapa sangka, bahwa hanya butuh dua hari untukku akhirnya bertemu dengan orang itu. Namanya Bastian, atau lebih cocok kupanggil Om, karena dia adalah teman Papa meskipun dari segi umur dia belum setua Papa. Namun meski demikian, umurnya terpaut enam belas tahun lebih tua dariku. Aku pertama kali bertemu dengannya tiga hari sebelum hari natal tiba. Sepertinya doaku tahun ini telah didengar oleh Tuhan, karena aku akhirnya merasakan bagaimana rasanya menyukai seorang laki-laki.

"Jane, tolong kamu antar Om Bastian ke kamar tamu yang di samping kamarmu, ya," perintah Mama kepadaku.

Aku mengangguk mengiakan, lalu berjalan mendahului Bastian menuju lantai dua. Aku tidak pandai memulai obrolan. Apa yang harus aku lakukan?

"Kamu kelas sebelas, ya, Jane?"

Aku tersentak dan seketika menoleh ke arah Bastian. Dengan gugup aku menjawab, "Iya, Om."

"Wah, lagi ngalamin masa-masa indah SMA dong, ya."

Aku tersenyum canggung. Tidak menggeleng ataupun mengangguk. Aku hanya baru sadar, bahwa mata Bastian berwarna abu-abu, tidak seperti mata kebanyakan orang Indonesia.

"Mata Om abu-abu," ucapku tidak jelas, keluar jauh dari topik obrolan.

"Ya?"

Raut bingung Bastian membuatku tersadar, kemudian aku menggeleng cepat-cepat dan memalingkan wajah. Duh, aku malu sekali.

"Nggak, bukan apa-apa," kataku sambil berjalan cepat menaiki tangga menuju kamar tamu.

"Papa orang Prancis, Mama setengah Jerman setengah Jawa," Bastian menjelaskan tanpa diminta.

Aku tertawa kikuk, mengangguk-angguk seraya memutar handel pintu kamar tamu. "Pantesan matanya abu-abu," aku mendorong pintu itu agar setengah terbuka. "Silakan Om istirahat dulu sambil nunggu Mama selesai masak. Kalau butuh apa-apa, kamarku ada di samping, ya. Tapi, sekarang aku mau turun dulu ke bawah, bantuin Mama."

Aku langsung bergegas meninggalkan Bastian menuju lantai bawah di mana Mama sedang menyiapkan makan malam bersama Papa.

Mama adalah ibu rumah tangga yang suka memasak. Tak hanya itu, Papa yang sehari-hari juga sibuk di kantor pun terkadang membantu Mama memasak, seperti malam ini. Terlebih, kami sedang kedatangan tamu yang kata Mama akan menginap di rumah sampai beberapa hari ke depan.

"Pa, kenapa Om Bastian nginap di sini?" tanyaku saat mengamati Papa sedang membantu Mama menyusun makanan di atas meja makan.

"Lagi menghindar dari keluarganya," kata Papa setelah melirik ke arah tangga, memastikan bahwa tidak ada Bastian yang tiba-tiba muncul dari sana. "Om Bantian itu habis putus sama tunangannya. Papa nawarin dia tinggal di sini dulu buat nenangin diri, daripada dia di hotel sendirian takutnya malah nekat bunuh diri. Lagian di sini dia juga bisa sekalian melepas stres daripada dia sumpek di Jakarta," jelas Papa kepadaku.

Sweet and SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang