Aku Jonathan, atau biasa dipanggil Joe. Seorang bujangan yang bahagia meski telah berada di pertengahan kepala tiga. Sekilas memang tidak ada yang salah denganku. Aku tampan, punya pekerjaan yang bagus, pintar, dan mandiri. Namun, ada satu kekuranganku yang masih berusaha kututupi, bahwa aku menyimpan perasaan untuk keponakanku sendiri.
Gila? Saat pertama kali menyadarinya aku pun berpikir hal yang sama. Om macam apa aku yang menyukai keponakannya sendiri, anak dari kakak tiriku yang sudah aku lihat dari ia masih bayi. Bahkan aku kerap menemaninya bermain kala kakak dan kakak iparku menitipkannya di rumah kami di mana aku, Papa tiriku, dan Mama tinggal. Aku merasa sangat bejat, tapi pesonanya itu sungguh pintar menjerat.
Dan sialnya adalah, Kaluna, keponakan tersayangku itu kembali datang ke rumah kami untuk menginap. Tidak tanggung-tanggung, ia akan tinggal selama sebulan. Katanya ia bosan dengan Jakarta, dan memutuskan untuk tinggal di Bandung selama sisa hari libur semesternya.
Papa dan Mama jelas senang didatangi cucunya. Tapi aku harus menahan diri untuk tidak melewati batas norma yang ada. Tidak peduli seberapa terangsangnya aku saat di dekat Kaluna, aku tetap harus menjaga kewarasanku agar tidak menyerangnya.
Tapi, perlu digarisbawahi bahwa itu tidak berlaku jika Kaluna terus menggoda imanku dengan mengenakan pakaian-pakaian minim bahan yang sangat mengundang birahi. Karena sejatinya aku tetaplah pria normal yang tidak menolak mendapatkan pemandangan itu setiap hari, seperti hari ini.
"Om Joe, aku pinjem cha—"
Kaluna tiba-tiba masuk ke dalam kamarku di pagi hari tanpa mengetuk pintu sama sekali. Aku yang terbiasa tidur dengan keadaan telanjang langsung panik berusaha menutupi tubuhku dari selimut tebal. Sambil melotot ke arahnya aku berdecak kesal, "Lain kali ketuk pintu. Nggak baik mendatangi kamar pria di pagi hari."
"Sori, Om. Aku nggak liat apa-apa kok. Aku cuma mau pinjem charger hp aja, charger-ku ada di bawah. Males turun tangga," jawabnya beralasan, tapi senyum yang ia berikan kepadaku justru terkesan mengejek.
"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanyaku sengit.
Kaluna akhirnya tidak lagi bisa menyembunyikan tawanya. Ia tertawa sambil menunjuk bagian bawahku yang menonjol di balik selimut. "Dedeknya bangun, ya, Om?"
Sialan, mulut Kaluna sangat kurang ajar.
"Morning erection. Ini normal," kataku dingin, egoku cukup tersentil karena ucapannya barusan.
"Aku tahu, aku bukan anak kecil lagi, Om."
Aku tidak menggubris kata-katanya. Tapi langsung menunjuk ke arah charger ponsel yang masih tersangkut di stop contact di dekat sofa.
"Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk," peringatku kepada Kaluna yang sudah hendak berjalan keluar.
"Terlebih di pagi hari. Iya, iya, aku tahu, Om," Kaluna melemparkan senyum jahil. "Makanya cepat nikah. Biar ada teman olahraga pagi."
Belum sempat aku menjawab kata-katanya, Kaluna telah lebih dulu melarikan diri. Ada derai tawa yang mengiringi kepergiannya. Untung saja ia tidak lupa menutup kembali pintu kamarku, jadi aku tidak perlu turun ranjang dalam keadaan telanjang bulat hanya untuk sekadar menutup pintu.
Aku mengerang kesal, lalu pelan-pelan mengangkat selimut dan mengintip ke arah penisku yang masih tegak menjulang.
"Jangan berulah. Ingat, Kaluna itu keponakanmu," ucapku kepada diri sendiri.
***
Hari minggu adalah waktunya Mama dan Papa pergi ke Komunitas Lansia Bahagia, sebuah perkumpulan khusus lansia-lansia yang masih ingin produktif dan bersosialisasi. Komunitas itu berisikan banyak kegiatan menarik yang dapat diikuti oleh para anggotanya. Dari mulai kelas membaca bersama, melukis, bercocok tanam, sampai dengan memasak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Cerita PendekKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)