Malam itu, setelah Segara kembali terlelap setelah pelepasannya. Weni langsung merapikan bajunya dan menutupi tubuh Segara dengan selimut tebal sebelum kemudian pergi begitu saja dari kamar Segara. Kesadarannya telah kembali sepenuhnya, namun tidak ada waktu untuk menyesali perbuatannya.
Weni tahu jelas apa yang sudah ia perbuat bersama Segara. Terlebih saat pria itu menciumnya dengan cara yang sangat Weni sukai. Berdalih bahwa ia sepenuhnya dipaksa pun terdengar konyol. Karena jika Weni benar-benar menggunakan otaknya saat itu, ia bisa saja kabur tanpa menuruti keinginan Segara. Tetapi nyatanya ia justru tergeletak pasrah karena bisikan penuh godaan yang memenuhi kepalanya.
Dua hari telah berlalu. Itu artinya dua hari pula ia tidak bertemu dengan Segara setelah insiden itu. Weni sangat yakin bahwa Segara pasti tidak mengingat apa yang telah terjadi, terlebih ia sedang mengalami demam dan bisa jadi ia pun akan menganggap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi erotis tanpa makna. Namun bagi Weni yang mengingat segalanya dengan amat jelas, ia masih belum berani menampakkan dirinya di hadapan Segara. Maka, yang dapat Weni lakukan adalah berusaha melobi teman-teman sesama staf di rumah itu untuk menggantikannya jika ia mendapatkan tugas yang berkaitan dengan Segara. Dan untung saja, sejauh ini tidak ada satupun rekan kerjanya yang curiga atas permintaannya itu.
Namun, sepertinya hari ini Weni tidak bisa kabur saat Segara yang sangat jarang keluar dari kamarnya itu tiba-tiba berjalan masuk ke arah dapur di mana Weni sedang bertugas membersihkan bar kecil yang tak jauh dari area meja dapur. Pandangan mereka lantas berserobok dengan Weni yang langsung menundukkan kepalanya dan memberi salam dengan cara yang canggung kepada Segara.
"Ada yang bisa dibantu, Mas Segara?" tanya Weni masih dengan wajah yang tertunduk saat Segara yang telah tiba di depan meja bar itu menarik satu stool dan mendudukinya.
"Buatin saya long black," ujar Segara santai.
Mau tak mau Weni menaikkan wajahnya. "Panas atau dingin, Mas?"
"Panas."
"Baik, mohon ditunggu sebentar."
Untung saja Segara langsung memberikannya perintah. Hingga Weni dapat memecah kecanggungan itu dengan menyibukkan dirinya bersama mesin penggiling kopi dan mesin espreso yang ada di sana.
Akan tetapi, tampaknya percakapan itu akan kembali terjadi saat Weni menyadari bahwa kaleng biji kopi kesukaan Segara sudah kosong isinya. "Mas, Toraja bean-nya habis. Apa Mas mau pakai bean yang lain?"
Segara diam sejenak. Kemudian mengangguk setuju. "Ada bean apa aja?"
Weni membuang kaleng kosong ke tong sampah yang ada di dekat meja bar lalu mengambil dua kantong biji kopi dari laci penyimpanan. "Kintamani sama Poco Ranaka, Mas mau yang mana?" tanyanya seraya menaruh dua kantong kopi itu ke atas meja.
"Menurut kamu enakan yang mana?" Segara balik bertanya.
"Saya nggak suka minum kopi, sih, Mas. Tapi mungkin Mas bisa cobain Kintamani, karena di sini tertulis ada aroma citrusnya. Terdengar fresh," Weni bicara sambil melirik kantong kopi di dekatnya itu. "Atau kalau mau yang ada aroma kismis dan floral, bisa cobain yang Poco Ranaka," lanjut Weni memberi penjelasan dengan cepat.
Segara masih diam. Membuat Weni mau tak mau kembali berkata demi tidak memanjakan keheningan yang justru semakin membuat kecanggungan itu mengakar di antara mereka. "Atau Mas mau bean-nya dicampur aja?"
"Kenapa kamu nunduk terus dari tadi?"
"Ya?"
Weni akhirnya mendongak demi menatap Segara. Dan menemukan pria itu juga sedang menatapnya dengan sorot mata tak terbaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Short StoryKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)