Empat bulan kemudian ....
Sebab telah terbiasa berpura-pura menjadi tunangan Bima, Maya kini sudah tidak lagi canggung saat menemani Bima mendatangi pertemuan-pertemuan yang dipenuhi oleh orang-orang asing itu. Aktingnya pun telah berkembang dengan sangat pesat. Jika semula Maya masih canggung dan kikuk saat mendapatkan sentuhan tiba-tiba dari Bima, sekarang ia bahkan tidak segan memberikan sentuhan itu lebih dulu kepada sang pria. Tapi, tentu saja itu hanyalah sekadar sentuhan biasa, yang Maya lakukan dengan berusaha tidak melibatkan perasaannya sama sekali di dalamnya.
Setelah dibantu oleh Bima, Maya akhirnya pun telah lulus sidang skripsi dua bulan yang lalu—saat ini ia hanya sedang menunggu jadwal wisuda saja. Praktis, kegiatan Maya berkurang dengan sangat signifikan. Terlebih saat ia juga memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan part time yang menguras tenaganya itu, Maya telah resmi menjadi fresh graduate yang sedang sibuk-sibuknya berburu pekerjaan full time. Untung saja pekerjaan dari Bima tidak begitu sulit dan menghasilkan cukup banyak uang. Membuat Maya tidak terlalu kelimpungan dengan status pengacara—pengangguran banyak acara—yang sedang tersemat pada dirinya.
Saat ini Maya sedang berada di dalam lift menuju apartemen Bima. Berbekal satu kartu akses yang telah diberikan oleh pria tersebut, terkadang Maya memang datang ke apartemen Bima untuk sekadar bersih-bersih atau menyiapkan makanan. Meski awalnya Bima menolak usulan Maya, namun sebagai seseorang yang merasa sedang makan gaji buta, Maya bersikeras untuk mengerjakan pekerjaan domestik demi membalas budi kepada sang dosen.
Langkah kaki Maya terasa ringan tanpa beban saat keluar dari dalam lift menuju unit Bima. Bersama satu tas belanja berisi bahan makanan dan buah-buahan di tangan kanannya, ia masuk ke dalam apartemen mewah itu dan langsung menuju dapur.
Tetapi tanpa diduga, seorang wanita paruh baya justru sedang berada di sana, tampak sedang memotong-motong daging di atas meja pantri. Maya jelas terkesiap. Dengan segenap keberanian yang ia punya, Maya melangkah mendekat ke arah wanita itu yang secara bersamaan pula ia menoleh ke arah Maya.
"Kamu siapa?" tanya wanita itu dengan kening berkerut dalam. Sama sekali tidak menyembunyikan rasa penasarannya kepada sosok Maya yang tiba-tiba ada di apartemen Bima.
Maya gelagapan. Ia memutar otak demi mencari jawaban yang paling pas. "Nama saya Maya ... saya, anu, Tante—"
"Pacarnya Bima?" tembak wanita itu sambil menyeringai, apalagi saat ia melirik ke arah tas belanjaan berisi bahan makanan yang tengah dibawa oleh Maya. "Pantesan beberapa bulan terakhir apartemen Bima lebih tertata dari biasanya. Stok makanan juga selalu ada di kulkas. Ternyata ini alasannya," simpul wanita itu sambil berjalan mendekat ke arah Maya yang membatu di tempatnya.
Jika dilihat dari postur dan wajahnya, Maya bisa menyimpulkan bahwa wanita itu adalah ibu dari Bima. "Tante ini mamanya Mas Bima, ya?" tanya Maya berusaha memastikan pikirannya sendiri.
Wanita itu menggeleng kecil. Ia tersenyum sambil mengambil alih tas belanja Maya. "Memangnya Bima belum cerita?"
Kali ini gantian Maya yang mengerutkan kening. Penasaran. Sebab Bima memang tidak pernah sekalipun menyinggung soal keluarganya. Sambil menyerahkan tas belanja kepada wanita itu, Maya memberikan gelengan kecil sebagai jawaban.
"Aku Tante Laras, tantenya Bima, adik mamanya. Untuk cerita lengkapnya kamu bisa langsung tanya ke Bima aja, ya," Tante Laras mengusap lengan Maya sambil tersenyum lembut. "Tante pikir ini bukan kapasitasnya Tante untuk cerita soal Bima," ujarnya penuh misteri.
Maya semakin penasaran. Namun di saat bersamaan, Maya juga sadar akan keadaan. Sebagai orang yang dibayar oleh Bima, ia tidak akan melewati batas tak kasat mata yang telah terbentang antara ia dan Bima. Jadi, sebelum pria itu sendiri yang membuka cerita, Maya akan memilih untuk tidak bertanya apa-apa.
"Ngomong-ngomong kok kamu manggil Bima pakai sebutan "Mas"?" tanya Tante Laras ringan. "Harusnya panggil "Uda" soalnya Bima itu orang Padang," lanjutnya seraya terkekeh.
Mau tidak mau Maya pun ikut tertawa pelan. "Mas Bima yang minta dipanggil "Mas", Tan."
"Aneh banget, padahal dia sama sepupu-sepupunya juga dipanggil "Uda" bukan "Mas"."
"Mungkin biar beda aja, Tan."
"Ah, benar. Sama pacar emang harus beda, ya?"
Godaan yang dilancarkan oleh Tante Laras membuat Maya tersenyum canggung. Pacar? Kami cuma tunangan pura-pura, Tante.
"Sudah berapa lama sama Bima?" tanya Tante Laras sambil membawa belanjaan Maya ke atas meja pantri. "Bima lagi keluar sebentar, tapi ngeliat kamu pegang kartu akses apartemen ini ... hubungan kalian kayaknya sangat dekat," Tante Laras memicingkan mata, ia tampak curiga.
Maya buru-buru membantah dengan melambaikan kedua tangannya di atas dada. "Nggak, Tan. Hubungan kami belum sejauh itu."
"Belum jauh tapi kok udah dikasih kartu akses? Tante aja nggak dikasih sama Bima, lho. Kalau Tante datang, ya, harus pencet bel, harus ngabarin dulu, nggak bisa langsung masuk sendiri," tukasnya setengah menggoda.
Mati kutu. Otak Maya benar-benar diuji demi menemukan jawaban diplomatis yang tidak akan menimbulkan kesalahpahaman lebih lanjut. Tapi apa? Tidak ada satupun kata yang terlintas di dalam otaknya.
"Maya, kamu di sini?" layaknya seorang pahlawan, Bima berjalan mendekat sambil menenteng sebuah tas belanja kecil.
Tante Laras otomatis tersenyum cerah, berbeda dengan Maya yang justru mengembuskan napas lega atas kedatangan Bima. Setidaknya pria itu akan membantunya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit yang akan dan sedang diajukan oleh sang tante.
"Aku tadi mau antar belanjaan dan ketemu Tante Laras di sini," ujar Maya seraya menoleh sekilas ke arah Tante Laras yang belum menurunkan senyumannya.
Tampak jelas sekali. Wanita paruh baya itu sedang bahagia luar biasa.
"Bim, Tante ada urusan mendadak, nih," kata wanita itu lalu berjalan ke arah wastafel dan mencuci tangannya di sana. "Karena udah ada Maya di sini, Tante pulang, ya," lanjutnya seraya mengerling kepada Bima.
Maya kira Bima akan mencegah sang bibi, namun pria itu justru mengangguk mengiakan. Membuat Maya tercengang tak menduga.
"Nggak perlu dianterin, kan, Tan?" tanya Bima yang sudah berjalan mendekat ke arah Maya lalu melongok kepada tas belanja Maya yang sudah tak asing untuknya. "Kamu jadi mau bikinin aku cilok?" tanyanya pelan kepada Maya.
Maya mengangguk. "Nanti aja dibahasnya."
"Kenapa?"
"Itu, lho, masih ada Tante Laras."
"Udah mau pulang kok."
"Mas!"
"Kenapa, sih?"
"Ehem, Tante masih di sini, lho," Tante Laras berdeham setengah menggoda pasangan manis di depannya. Sambil meraih tas tangannya yang ia letakkan di atas stool, Tante Laras kembali berkata ringan. "Tante pulang dulu, ya."
Setelahnya, Tante Laras berlalu meninggalkan Bima dan Maya di dalam apartemen itu. Bersama kecanggungan yang merayap pelan-pelan. Namun anehnya itu hanya dirasakan oleh Maya seorang.
***
Full version kisah dedek maya dan mas bima bisa dibaca di karyakarsa
Next story mau yang gemes-gemes lagi atau yang drama sedih? 😏
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Short StoryKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)