"Sayang, foto yang kamu upload kemarin ke Instagram kamu itu siapa? Kakak kamu, ya?" tanya Savia kepada Silas, cowoknya, yang sedang ia pacari sejak dua bulan yang lalu itu.
Saat ini mereka sedang berpelukan di atas ranjang, menghabiskan akhir pekan di apartemen Savia yang memang tinggal sendiri sejak berkuliah di Jakarta. Mereka menonton film bersama, masak, makan, dan melakukan seks yang menyenangkan. Khas aktivitas yang dilakukan oleh pasangan muda urban pada umumnya.
"Kakak? Itu Papaku," jawab Silas sambil tertawa geli.
"No way, kok bisa Papa kamu masih semuda itu?" Savia melotot tak percaya, lalu menggelengkan kepalanya keras-keras setelah melepaskan pelukannya dari tubuh Silas. "Nggak, kamu pasti bohong."
Kekehan Silas muncul memecah suasana, sekaligus menikmati ekspresi Savia yang sama sekali tidak percaya atas ucapannya. Well, sebenarnya Savia bukan orang pertama yang memberikan ekspresi terkejut seperti itu. Silas sudah sering mendapatkannya perkara jarak umurnya dan sang ayah yang memang cukup dekat, hanya tujuh belas tahun saja.
"Aku lahir pas Papa umur 17. Masih SMA waktu itu," Silas akhirnya menjelaskan kondisi keluarganya yang agak unik itu kepada Savia. "Keluarga Mama itu keluarga Katolik yang cukup taat, makanya Mama tetap melahirkanku meski waktu itu dia dan Papa masih sama-sama SMA. Tapi, setelah lahir aku diasuh sama keluarga Papa. Dan ... Mama memilih melanjutkan hidupnya di Inggris sampai sekarang," ada senyum getir di bibir Silas. Meski semua baik-baik saja dan ia mendapatkan hidup yang serbanyaman, tetap saja ada kekosongan yang ia rasakan karena orang tuanya memilih untuk tidak bersatu layaknya keluarga pada umumnya.
Savia menatap Salis dalam, kemudian menarik Salis untuk jatuh ke dalam pelukan hangatnya. Pria yang cenderung cuek dan seenaknya ini ternyata adalah pria yang menyimpan cerita pilu di hatinya. Sebagai anak dari keluarga cemara yang bahagia, Savia jelas tidak bisa merasakan apa yang Salis rasakan. Tapi, Savia mengerti bahwa hal itu pasti berat untuk Salis hadapi.
"Jadi, sekarang kamu cuma tinggal sama Papa kamu?" tanya Savia lembut, tangannya perlahan membelai rambut Salis.
"Iya, Papa memilih tetap single dan katanya sih nggak ada niatan buat nikah," jawab Salis apa adanya.
"Kalau kamu?"
"Aku kenapa?"
"Ada niatan buat nikah, nggak?"
"Ada dong. Nikahnya sama kamu nanti."
Savia tertawa. Gombalan Salis terlalu norak. Hingga ia tidak tahan untuk tidak memukul pelan lengan kekar pacarnya itu.
"Tapi kalau sekarang," Salis menatap Savia dengan ekspresi seductive, "kawin sama kamu dulu boleh, nggak?" tanyanya dengan senyuman miring yang nakal.
"Salis, ih, tadi kan udaah," elak Savia malu.
"Lagi dong, Yang. Ya? Aku capek lho kerja semingguan ini, hari ini mau ngewe sama kamu aja," Salis merengek. "Mau ya, ya, ya?" lanjutnya merayu.
"Iyaaa ... dasar manja," Savia akhirnya mengiakan, karena sejatinya ia pun menyukainya.
Salis masih berumur dua puluh dua tahun, sedangkan Savia dua puluh—dan bahkan Savia belum lulus kuliah. Terlebih hubungan mereka masih seumur jagung. Maka terlalu cepat juga untuk bicara soal pernikahan yang masih berada di ujung lorong nan jauh di sana.
Savia hanya ingin menikmati waktu-waktu bahagianya bersama Salis seperti hari ini. Saling merayu, bercengkrama dan menjamah, menciptakan kenikmatan duniawi lewat desahan-desahan erotis yang saling bertaut. Bercinta di akhir pekan lalu ditutup dengan ciuman manis sebelum terlelap nyaman. Sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Короткий рассказKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)