Melukis adalah cara terbaik untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk duniawi yang memusingkan. Bahkan dalam kediaman, sebuah lukisan justru bisa berteriak lebih kencang daripada mulut orang kebanyakan.
Tergantung emosi apa yang diberikan kala membuatnya. Sedih, marah, kekesalan, keputusasaan, atau harapan yang pupus tanpa mampu dibangkitkan.
Matthew, berusia nyaris 30 tahun yang sehari-hari hanya berkutat dengan kanvas, kuas, dan cat berwarna-warni. Dengan aliran romantisme yang menjadi pilihannya, unsur emosi itu lebih diutamakan dalam membuat satu buah karya lukisan yang nantinya akan terpajang di galeri seni milik keluarganya.
Hingga sebuah tawaran mengajar datang dari orang yang sama sekali tidak pernah diduga Matthew; ayahnya. Yang selama ini menentang keras pilihan Matthew yang memilih jalan menjadi seorang pelukis profesional alih-alih pebisnis sepertinya. Pria paruh baya itu mengatakan bahwa ada seorang gadis belia, anak teman bisnisnya, sedang mencari guru melukis yang bisa mengajarkannya tiga kali seminggu—sekaligus sebagai bentuk kedekatan dua keluarga yang terikat dalam perjanjian bisnis yang saling menguntungkan.
Tanpa menunggu, Matthew dengan tenang mengiakan. Membuatnya kemudian berakhir di sini, di rumah besar gadis bernama Aurora yang telah resmi menjadi muridnya. Namun, rupanya mengajar bukanlah keahlian Matthew yang justru tertarik dengan Rory—panggilan sang gadis yang masih berusia 17 itu. Dengan segala kemampuan dan pesona yang ada, Matthew bertekad bahwa Rory akan menjadi muse lukisannya selanjutnya. Bukan hanya menjadi murid kesayangannya.
"Saya punya permintaan khusus," kata Matthew setelah mengamati lukisan Rory yang sedang berada di depannya.
Rory, gadis yang baru selesai melakukan finishing pada lukisan buah anggurnya itu tampak tertarik. Sejak satu bulan lalu menjadi murid Matthew, baru sekarang sang pria membutuhkannya. Dengan anggukan cepat gadis itu berkata. "Permintaan apa, Kak Mat?"
"Kamu mau jadi muse saya?" tanya Matthew.
"Aku?" Rory balik bertanya, ia tidak percaya.
Matthew memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung apron yang sedang ia pakai. "Kalau mau, kamu datang ke paviliun rumah saya besok siang. Saya hampir selalu ada di sana."
"Aku boleh lihat lukisan-lukisan kakak juga di sana?" tanya Rory senang bukan main.
Matthew tersenyum tipis. Ia mengangguk. "Kamu bisa lihat dan duplikasi kalau mau."
Rory melonjak kegirangan. Tanpa sadar memeluk Matthew yang mematung di tempatnya. Namun tidak juga mendorong Rory menjauhinya. "Makasih Kak Mat. Aku tuh suka lukisan-lukisan Kakak. Kata Papa, Kakak juga sangat berbakat. Aku mau kayak Kakak suatu saat nanti."
"Kamu pasti bisa, Rory," gumam Matthew sambil menepuk punggung Rory pelan.
***
Rumah Matthew yang besar dan megah itu memiliki sebuah paviliun di belakang rumahnya. Dan praktis menjadi markas Matthew dalam menghasilkan lukisan-lukisan yang beberapa kali masuk ke dalam bursa seni rupa dan berhasil dilelang dengan harga tinggi. Sebagai pelukis yang baru memasuki ranah galeri 6 tahun yang lalu, itu adalah pencapaian sangat besar untuk Matthew.
Tidak sia-sia usahanya menghindari kekangan sang ayah hingga kabur ke Prancis demi mengejar impiannya. Ia pulang dengan sebuah kebanggaan yang berhasil membuatnya berjalan di jalannya sendiri, tanpa satupun orang yang mengusiknya lagi.
Rory yang baru saja tiba di rumah Matthew langsung diantar ke paviliun oleh seorang pelayan berseragam di rumah itu. Dengan langkah riang Rory melewati jalan setapak yang akhirnya membawanya ke bangunan satu lantai bercat putih dengan gaya Belanda yang kental.
"Silakan, Non. Sinyo Matthew ada di dalam. Sudah ditunggu dari tadi," kata sang pelayan sebelum meninggalkan Rory seorang diri.
Sedikit kikuk, Rory menapaki empat anak tangga sebelum kemudian berjalan ke arah pintu yang rupanya tidak dikunci. Sunyi. Namun aroma cat yang khas langsung menyeruak ke dalam hidungnya. Membuat Rory tersenyum dan melangkah lebih jauh ke dalamnya.
Lamat-lamat ia mendengar gorengan kuas di atas kanvas. Lalu sosok seseorang pria yang sedang duduk membelakanginya. Tidak salah lagi, itu adalah Matthew.
"Kak," panggil Rory.
Namun tidak ada jawaban.
"Kak Matthew."
Masih tidak ada jawaban apapun.
Dengan segenap keberanian yang ia punya, Rory mengikis jarak itu dan berakhir berdiri tepat di samping Matthew. "Kak, aku datang."
Matthew terkesiap, sebelum mendongak ke arah Rory. "Sudah datang?"
Rory mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lukisan Matthew yang sudah nyaris selesai. "Sebuah ketamakan," gumam Rory mengomentari lukisan burung camar yang sedang terbang sambil membawa ikan itu.
"Kamu benar," kata Matthew seraya tersenyum. Cukup takjub dengan kemampuan Rory memaknai lukisannya. "Ini memang tentang ketamakan. Tapi, bisa jelasin kenapa kamu berpikir demikian?"
"Lihat aja, cuma satu burung camar yang dapat ikan. Yang lainnya nggak," Rory menjelaskan sebisanya. Namun senyuman Matthew tidak lepas dari bibirnya.
Matthew mengangguk dan mengajak Rory berjalan ke arah kamarnya yang berada di sisi kanan. Kemudian keduanya memasuki kamar luas itu dan Matthew memutar tubuhnya menjadi menghadap Rory. "Saya mau kamu telanjang dan berbaring di ranjang."
Rory menghentikan langkahnya, ia terperanjat. "Kakak mau lukis tubuh telanjangku?" tanya Rory sama sekali tidak menduga ide itu.
"Kamu nggak mau?" tanya Matthew datar.
Rory bingung. Di satu sisi ia agak malu telanjang di depan sang guru. Namun di sisi lain, ia juga ingin dilukis oleh Matthew. Setelah diam sejenak, dengan anggukan lemah Rory menjawab. "Aku harus mandi dulu?"
Matthew menggeleng. "Nggak usah, kamu cukup telanjang dan berbaring di ranjang. Nanti aku bantu atur posenya."
Selagi Matthew menyiapkan segala keperluan untuk melukis di depan ranjang. Rory berjalan ke sofa yang ada di dekat ranjang dan mulai menanggalkan pakaiannya satu per satu. Kulitnya yang putih mulus langsung bersinar di kamar itu. Rambut Rory agak berkibar kala angin dari jendela yang terbuka di dekatnya itu menyentuh tubuhnya.
"Sudah siap?" tanya Matthew sambil menoleh ke arah Rory yang sudah telanjang. Tidak ada ekspresi yang berarti dari wajah pria itu, ia menatap Rory layaknya sebuah benda mati, objek yang akan ia lukis nanti.
Pelan-pelan Rory menaiki ranjang Matthew. Ia berbaring telentang di tengah-tengah kasur. Menunggu Matthew memberikan arahan gaya untuknya. Detak jantung itu berpacu kencang. Ini pertama kalinya ia akan dilukis dalam keadaan telanjang. Meski Rory pernah telanjang di depan pria sebelumnya, namun ini berbeda. Ia adalah objek lukisan. Bukan wanita yang akan digauli seperti mantan-mantan pacarnya yang pernah tidur dengannya.
"Kak, aku harus ngapain?" cicit Rory pelan.
Matthew yang sedang memasang apronnya terdiam sejenak. Ia menatap Rory dengan sorot mata entah apa artinya. "Sebentar," katanya lalu berjalan ke arah lemari yang ada di kamar itu dan mengambil satu kain satin putih dari sana.
Dengan santai Matthew menata letak kain satin itu di atas tubuh Rory. Menutupi area privat bawahnya dan membiarkan kedua payudara sang gadis terbuka begitu saja. "Kamu berbaring miring ngadep ke depan kanvas," ujar Matthew memberikan arahan sekali lagi. Lalu mengangguk kecil saat Rory mengikuti perintahnya dengan tepat.
"Kayak gini?" tanya Rory.
"Sempurna," ujar Matthew seraya menyunggingkan senyum senang. "Ekspresinya biasa aja yang datar. Jangan senyum tapi jangan sedih. Mengerti?"
Rory mengangguk patuh. "Mengerti, Kak."
Gadis yang penurut.
Agaknya muse baru yang Matthew temukan tanpa sengaja itu akan menjadi inspirasi untuk karya-karyanya selanjutnya. Sebab Rory memiliki sesuatu yang selama ini Matthew cari—kecantikan alami dengan mata yang memancarkan kemurnian. Di balik kepolosannya, Rory menyimpan pesona yang tidak terelakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
NouvellesKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)