Entah berapa kali Maya harus menahan diri untuk tidak mendengkus atau mengumpat kala Bima, dosen pembimbingnya, mencoret-coret skripsinya dengan membabi buta. Bagaimana tidak, dari total 30 halaman yang Maya serahkan, nyaris semuanya ternoda oleh tinta merah Bima. Tanpa berempati sedikitpun, Bima masih asyik menekuri kumpulan kertas yang ada di depannya dengan pulpen yang terselip di jari tangan kanannya.
"Saya tunggu revisi kamu minggu depan. Semua yang perlu diperbaiki sudah saya tandai, tolong dibaca baik-baik. Saya harap dua bulan lagi kamu bisa sidang," Bima menyodorkan kembali skripsi Maya yang baru saja ia perbaiki kepada pemiliknya. "Jangan ngilang lagi, kamu harus selesaikan skripsi kamu secepatnya biar bisa cepat lulus," lanjut Bima santai sambil menutup kembali pulpen yang baru saja ia gunakan.
Maya mengangguk dalam-dalam. "Iya, Pak," cicit Maya yang matanya tengah menatap lurus ke arah coretan-coretan bertinta merah itu.
Sementara Bima, pria itu meraih gelas latte dingin yang belum tersentuh olehnya. Setelah mengaduknya sebentar, ia tampak menikmati guyuran kopi yang berpadu dengan susu dan es batu itu di dalam kerongkongannya. Membiarkan Maya yang masih berkutat dengan pikirannya.
Bima sengaja memilih kafe di dekat apartemennya untuk melakukan bimbingan skripsi dengan Maya. Selain karena ini adalah hari libur, Bima yang tidak terlalu suka menghabiskan hari liburnya seorang diri itu pun memutuskan untuk menjadwalkan bimbingan skripsi lebih awal kepada Maya. Dan jadilah, mereka menghabiskan waktu setengah jam untuk merevisi skripsi itu, di dalam sebuah kafe yang untungnya sedang tidak banyak pengunjung yang datang.
"Apa kegiatanmu setelah ini?" tanya Bima memecah keheningan yang ada di meja itu.
Maya yang masih membaca ulang revisi yang diberikan oleh Bima sontak mendongak. "Y—ya? Gimana, Pak?"
Bima yang semula menoleh ke arah jendela kaca di dekat meja mereka langsung mengalingkan tatapannya menuju Maya. "Saya tanya, apa kegiatan kamu setelah ini?" ulangnya.
Maya meringis kecil, setelah menimbang-nimbang, akhirnya wanita itu berkata jujur. "Sebenarnya ... saya kerja, Pak. Makanya skripsi saya agak keteteran. Setelah ini saya mau balik ke kafe tempat saya kerja, sih. Kebetulan saya shift sore jadinya nggak ganggu waktu bimbingan."
"Lho, kamu sudah kerja?"
"Iya, Pak. Papa saya baru meninggal tiga bulan yang lalu. Jadi, saya harus bantu-bantu Mama termasuk masalah keuangan."
"Saya turut berduka cita untuk Papa kamu, Maya."
"Terima kasih, Pak."
Dengan pandangan penuh pengertian, Bima merasa bahwa kini yang dibutuhkan Maya adalah kepeduliannya. "Jadi itu alasan kamu ngilang nyaris 4 bulan?" tanya Bima sambil menatap Maya dengan pandangan lembut penuh simpati. "Saya sempat nanya-nanya kamu ke teman-teman angkatan kamu. Tapi, mereka nggak ada yang tau kabar kamu gimana. Saya penginnya kalian bisa cepat kerjain skripsi, cepat lulus, dan setelah itu terserah deh. Apa mau langsung kerja, mau istirahat sebentar, atau mau lanjut S-2. Saya nggak nyangka kalau kamu justru lagi dihadapkan dengan situasi yang sulit begini."
Maya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya ringan. "Nggak pa-pa, Pak. Terima kasih sudah peduli dengan saya. Saya memang sempat down beberapa waktu lalu. Saya bingung harus gimana, tapi sekarang semuanya sudah membaik. Saya juga mau secepatnya selesaikan skripsi saya ini biar bisa cepat melamar kerja di tempat yang punya gaji lebih tinggi dari hanya sekadar part time."
"Saya akan bantu kamu, Maya," janji Bima sambil mengetuk skripsi sang wanita dengan telunjuk kanannya beberapa kali. "Skripsi ini, akan kita selesaikan sama-sama. Saya akan bantu sebisa saya."
Senyuman merekah nan lebar lantas tersungging di bibir Maya. Siapa sangka bahwa dosen pembimbingnya yang terkenal tidak banyak bicara itu ternyata memiliki hati yang lembut dan penuh perhatian. "Terima kasih banyak, Pak Bima. Skripsi saya berjalan lancar aja saya sudah sangat bersyukur sekali."
"Kamu tenang aja, saya akan bantu kamu biar bisa cepat lulus. Yang penting, kamu juga punya kemauan yang sama untuk itu," ujar Bima dengan senyum tipis di wajahnya. "Diminum kopinya, saya yang traktir," Bima menunjuk gelas es kopi Maya yang sudah berkeringat tanpa tersentuh sedikitpun.
"Wah, jangan, Pak. Saya, kan, yang bimbingan. Jadi saya yang harusnya bayar tagihan kopinya," bantah Maya dengan nada agak takut.
Alis Bima naik sebelah. "Aturan dari mana itu?"
Maya kelimpungan. Ia menggigit bibirnya cemas sebelum menjawab. "Anu ... maksud saya—"
"Sudah, jangan dipikirin. Uang kamu, kamu simpan aja buat keperluan kamu dan keluarga. Cuma kopi doang saya bisa beli sendiri," ujar Bima santai.
Pria itu kembali menyesap latte dingin miliknya dengan santai. Diam-diam, hal itu diperhatikan oleh Maya yang menyadari bahwa sang dosen tampak jauh berbeda dengan image yang tertempel padanya selama ini.
Bima adalah seorang dosen berumur 36 tahun yang baru saja mendapatkan jabatan sebagai wakil dekan dua di kampus tempat Maya berkuliah. Karisma yang dimiliki oleh pria itu membuatnya menjadi salah satu dosen yang paling disegani meski ia terbilang dosen muda di kampus. Dengan perawakannya yang tinggi serta paras khas Minang dan Yaman, Bima menjadi salah satu dosen yang dipuji karena penampilannya. Dan status bujangannya tentu saja. Membuat sebagian besar wanita yang mengenalnya berucap syukur karena setidaknya masih ada kesempatan untuk mereka menggaet hati sang dosen.
Tapi tidak ada yang tahu ke mana hati pria itu tertambat.
"Lho, Bima?"
Sebuah suara wanita membuat Bima dan Maya menoleh serentak ke arahnya.
"Rania?" Bima langsung berdiri dan mengulurkan tangannya. "Apa kabar?" tanyanya dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Wanita bernama Rania yang sedang menggandeng tangan seorang anak kecil berumur sekitar enam tahun itu menyambut uluran tangan Bima. "Kabarku baik. Kamu apa kabar?" tanyanya ringan setelah melepas jabatan tangan mereka, kemudian ia melirik ke arah Maya. "Dia—"
"Tunanganku, Ran. Namanya Maya," potong Bima saat menyadari bahwa Rania sedang menaruh rasa penasaran kepada Maya yang duduk semeja dengannya.
Maya terhenyak. Bingung merespons seperti apa. Bagai sebuah robot kehabisan daya. Maya hanya mengangguk kecil sambil memasang senyum paling palsu yang ia punya. Sambil menelaah apa yang sedang terjadi, Maya memperhatikan wajah Bima yang tampak aneh. Mungkinkah ....
"Kamu udah tunangan? Wah, selamat Bima," Rania tersenyum sangat lebar. Seolah tidak ada setitikpun rasa tidak suka di sana.
"Sayang, sini," Bima mengulurkan tangan ke arah Maya. Dan untungnya wanita muda itu mengikuti akting yang sedang berlangsung tanpa menunjukkan gestur aneh. "Kenalin, ini Rania. Kamu tau, kan? Orang yang dulu pernah nyaris nikah sama aku? Nah, ini orangnya," kata Bima ringan setengah menyindir saat Maya sudah berada di dekatnya.
Maya tersenyum kikuk, mencoba memahami situasi rumit yang sedang berlangsung. Belum lagi tanpa diduga, tangan Bima justru merangkul pinggangnya. "Halo, Kak Raina. Salam kenal."
"Salam kenal juga Maya," raut wajah Raina agak berubah. Pasti karena ucapan tanpa saringan yang baru saja dilontarkan oleh Bima.
Apakah masa lalu mereka memang seburuk itu? tanya Maya di dalam hati.
"Dan ini ...," Bima menunduk memandangi anak laki-laki berumur sekitar enam tahun itu. "Pasti anaknya Raul. Wajahnya mirip banget sama Raul," pria tersebut tersenyum ke arah anak itu sebelum kembali menatap ibunya.
"Banyak hal terjadi, Bim. Aku sudah nggak sama Raul. Aku sama anakku sekarang kembali menetap di Jakarta," Rania tersenyum tegar sambil mengeratkan pegangan tangannya kepada sang anak.
"Aku kira kalian akan lama," ujar Bima penuh arti. Sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Maya sambil berucap. "Pergi sekarang, yuk?"
"Ya?" Maya sedikit kaget.
"Sorry banget, Ran. Kami harus pergi. Aku harus nganter tunanganku kerja," Bima menggenggam tangan Maya, ia juga mengambil kertas skripsi Maya yang masih berada di atas meja. Sebelum kemudian berjalan ke arah kasir untuk membayar minuman mereka dan melangkah keluar dari kafe yang entah kenapa sedikit menyesakkan buatnya.
"Pak ...," cicit Maya pelan.
"Nanti saya jelaskan. Tapi jangan di sini," jawab Bima sambil berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari mereka.
***
Vote and comment, please. Thank you
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Short StoryKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)