Kidnapping

5.2K 58 8
                                    

"Harvey, apa, sih, yang ada di otak kamu sekarang?" Thomas menatap lurus anak bungsunya dengan berang.

Saat ini keduanya sedang berada di dalam ruang kerja Thomas di lantai dua rumah mereka. Sengaja memisahkan diri dari anggota keluarga yang lain. Sebab perangai sang anak bungsu kali ini tidak bisa lagi Thomas diamkan. Ia butuh ruang untuk bicara empat mata dengan anak laki-laki satu-satunya itu.

"Kamu pikir dengan kamu berbuat begini, bisnis keluarga kita bisa bebas dari penyelidikan?" Thomas bangkit dari tempat duduknya dan berkacak pinggang. "Lepasin wanita itu. Kamu nggak perlu melibatkan dia di dalam masalah ini," dengan emosi yang berusaha ia tekan, Thomas menurunkan suaranya meski nada tegas itu tidak hilang dari sana.

Harvey memainkan kunci mobilnya sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa kulit berwarna cokelat itu. Tidak begitu mempedulikan ucapan sang ayah yang masih terdengar emosi karena ulahnya. Setelah melirik sekilas Thomas yang kini sudah menyandarkan bokongnya di tepi meja kerjanya, Harvey beralih menatap bunga yang menghiasi meja kaca di depannya itu. "Papa nggak usah khawatir, wanita itu adalah tangkapan yang sempurna. Aku pastiin Papa dan perusahaan kita akan baik-baik aja," dengan wajah menyeringai Harvey menatap Thomas. "Karena dia adalah kelemahan utama Sardiman. Tua bangka itu nggak akan bisa berkutik saat tau kalau putri semata wayangnya jatuh ke tangan kita."

Thomas menghela napas, ia mendadak diserang rasa pusing yang bertubi-tubi karena sikap sembrono yang baru saja dilontarkan Harvey. "Apapun rencana kamu sekarang, kamu harus inget satu hal, kamu harus beresin sendiri kekacauan yang kamu buat," Thomas menatap dingin anaknya itu. "Dan jangan sampai merusak nama baik keluarga kita. Paham?"

Pria berusia 31 itu menyeringai. Ia mengangguk mantap dan berkata. "Iya, Pa."

"Dan satu hal lagi," ujar Thomas seraya mengacungkan jari telunjuk kanannya.

Alis Harvey naik sebelah menunggu kelanjutan kalimat ayahnya.

"Jangan kamu apa-apain wanita itu," titah sang ayah serius.

Kali ini Harvey tidak menyeringai, tidak pula tersenyum. Pria itu menatap lurus ke arah ayahnya dan berucap. "Dia terlalu cantik untuk diabaikan gitu aja, Pa."

***

Larisa sedang berada di sebuah kamar mewah yang entah berada di mana. Ingatannya yang semula samar-samar kini telah pulih sempurna. Tadi malam, Larisa ingat betul bahwa ia tengah mendatangi pesta salah satu sahabatnya di sebuah kelab malam yang sering ia datangi. Seperti biasa, ia minum dan menari bersama teman-temannya. Lalu ... ingatannya berhenti sampai di sana. Dan sebuah keanehan pun terjadi setelah itu. Sebab ketika Larisa tersadar dari mabuknya, ia justru berada di sebuah kamar mewah yang asing alih-alih berada di kamarnya sendiri.

Terlebih kamar tersebut terkunci dari luar. Sekeras apapun Larisa berteriak memanggil, tidak ada satupun jawaban yang ia terima dari balik pintu yang tertutup rapat itu. Membuatnya frustasi dan menangis dengan jeritan yang sesekali melolong keluar.

"Sialan, buka pintunya! Gue mau keluar," teriak Larisa histeris sambil memukul-mukul pintu bercat putih itu dengan cara yang membabi-buta. "Lo akan masuk penjara kalau bokap gue tau hal ini. Cepat buka pintunya!"

Hanya ada keheningan yang menjawab segala kata-kata Larisa. Tidak peduli seberapa keras ia meraung dan berteriak, tidak ada satu suara pun yang menyahuti. Membuatnya didera rasa frustasi yang semakin menjadi-jadi.

Kemudian Larisa tiba-tiba teringat sesuatu. Ia cepat-cepat berbalik dan berlari menuju ranjang besar yang ada di kamar itu. "Tas gue, ke mana tas gue?" tanyanya seorang diri sambil menyibak selimut dan bantal yang ada di atas ranjang.

Larisa terus mencari-cari tasnya yang kemudian akhirnya ia temukan tergeletak menyedihkan di lantai dekat ranjang. Buru-buru Larisa memungut tasnya dan mencari ponsel. Akan tetapi betapa kecewanya Larisa saat mendapati ponselnya mati karena kehabisan baterai. "Sialan," umpatnya tak tertahankan.

Sweet and SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang