Maroon Shoes - 4

7.7K 108 1
                                    

Iskandar Purwanto akhirnya telah menemukan tempatnya. Berada di bawah sorot mata masyarakat yang mencemoohnya dari segala arah. Egonya yang setinggi langit pun telah runtuh ke tanah. Tidak ada lagi sisa dari masa kejayaannya yang kerap disanjung dengan berbagai macam kata. Segalanya telah berakhir, yang tersisa hanyalah penyesalan yang terus merongrongnya tanpa henti.

Aku masih memantau pergerakan sosial media beberapa hari terakhir. Mengawal kasus Om Iskandar yang masih menduduki trending pertama di berbagai platform media sosial, bersamaan dengan kasus Rendy Ali yang juga masih terus digoreng di mana-mana.

Iskandar Purwanto yang selalu ingin menjadi yang terbaik, kini justru menjadi yang terburuk dengan dosa-dosanya yang terus terekspos media. Keluarga bahagianya pun tak luput dari sorotan. Dua kasus besar yang muncul bersamaan itu pada akhirnya membuat keluarga mereka terpuruk di jurang paling dalam.

Ini adalah bayaran yang setimpal untuk seorang penjahat seperti Iskandar Purwanto.

Meski tidak menampik bahwa aku masih tidak percaya bahwa pada akhirnya hari ini akan tiba. Hari di mana aku akhirnya bisa mendatangi makam Mama dengan rasa bangga yang melimpah ruah. Bersama seorang pria yang telah membantuku keluar dari kubangan lara penuh dendam. Aku tidak pernah sebersyukur ini selama hidupku.

Sepatu merah marun milik Mama saat ini sedang menghiasi kakiku. Ukuran 38 dengan model heels runcing dengan bahan lak mengkilap. Itu adalah sepatu yang dahulu pernah kuminta untuk diwariskan kepadaku. Saat itu usiaku masih enam tahun dan keluarga kami masih menjadi keluarga yang sangat bahagia.

Mama mendapatkan sepatu itu dari Papa, sekaligus sebagai hadiah ulang tahun terakhir yang diberikan Papa kepadanya. Dan kini, aku akhirnya berani memakainya setelah bertahun-tahun hanya dapat memandangi sepasang sepatu itu di dalam kotak yang kusimpan dengan sangat hati-hati.

"Sepatunya bagus. Kamu baru beli?" Mas Agung yang baru saja membukakan pintu mobilnya kepadaku bertanya setelah tanpa sengaja menatap sekilas ke arah kakiku.

Aku tersenyum kemudian menggeleng pelan. "Papa yang beli, ini sepatu Mama."

Senyum Mas Agung terbit kemudian. Yang menjadi salah satu hal langka yang bisa kunikmati darinya. Mengingat Mas Agung adalah tipe orang yang kerap tampil tanpa ekspresi yang berarti.

"Itu sangat cocok denganmu," Mas Agung membantuku untuk turun dari mobilnya.

Kami kemudian berjalan beriringan menuju gerbang TPU, menapaki jalan kecil selebar satu meter yang akan membawa kami masuk semakin dalam. Pemakaman itu tampak sepi, seolah tengah menyuguhkan perasaan sedih yang tidak berkesudahan. Aku bahkan harus digandeng Mas Agung agar tetap mampu melangkah menuju makam Mama yang sudah semakin dekat tertangkap mata.

Bunyi sepatu bertumit lancip yang bergesekan dengan beton jalan adalah suara yang mengiringi langkah kaki kami. Di sisi lain, suara semilir angin yang bertabrakan dengan dedaunan terus terdengar beriring-iringan. Menjadikan hal itu menjadi musik pengantar yang tenang untuk jiwa-jiwa yang telah bersemayam di tempat itu.

Aku masih memilih diam tanpa berkata apa-apa, membiarkan kesunyian yang tercipta itu berkuasa tanpa ingin sedikitpun memecahnya. Mas Agung pun melakukan hal yang sama, selain memegang tanganku, ia juga memilih untuk diam sambil berusaha menyamai langkahku yang lebih pendek darinya.

Dan akhirnya, langkah kami berhenti di depan pusara Mama. Perempuan yang telah memberiku harapan, bahwa dunia akan bekerja dengan semestinya. Beliau mengajarkan bahwa segala hal akan ada akhirnya, seperti hari ini yang adalah hari terakhir dari perjalanan 16 tahun kami yang menyedihkan.

Walau Papa masih tidak tahu di mana rimbanya. Kuharap setelah ini ia akan muncul di dalam epilog yang bahagia, di mana Papa akhirnya kembali di tengah-tengah kami.

"Ma, apa kabar?" aku mengusap nisan Mama pelan-pelan, kuamati nama Mama yang tersemat cantik di marmer hitam itu. "Riani sama Rinto baik-baik saja di sini. Tapi, Rinto hari ini nggak bisa ikut ke sini, Ma. Dia lagi di Jepang sama teman-teman kuliahnya. Rinto titip salam buat Mama dan bilang kalau dia lagi enjoy sama trip dia di Jepang. Semoga Mama di sana juga tenang dan bahagia, ya. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," aku berkata dengan tenang. Bahkan aku juga cukup kaget karena tidak menangis seperti biasa.

Selagi aku berbicara, Mas Agung tetap bergeming di sampingku. Mengamatiku yang sedang bermonolog sambil mengusap nisan Mama. Ia tidak mengusap bahuku, tidak juga berusaha ikut masuk ke dalam monologku. Ia membiarkanku mengatakan apapun yang aku inginkan. Memberi ruang di mana aku bebas mengatakan perasaanku di dalam kesunyian.

"Oh iya, Ma, Riani datang sama pacar, lho," aku menoleh ke arah Mas Agung sekilas sambil tersenyum, sebelum kembali menatap lekat nisan Mama. "Namanya Mas Agung, dia yang bantu Riani untuk menghukum Iskandar Purwanto. Mama ingat nama itu, kan? Orang yang bikin Papa hilang sampai sekarang. Orang itu sudah ditangkap, Ma. Keluarganya sudah hancur. Dan sekarang Riani tinggal nyari Papa. Doain Riani bisa segera menemukan Papa, ya, Ma," aku meremas tangan Mas Agung, dan kembali menoleh menatap pria itu.

Aku memang tidak memintanya secara lisan, namun aku yakin Mas Agung menangkap tatapan mataku yang penuh isyarat meminta tolong. Dan seperti mengerti, Mas Agung mengangguk dan mengusap punggung tanganku.

Tidak ada yang lebih melegakan daripada memiliki seseorang yang bisa diandalkan. Aku sangat mengandalkan pria ini, pria yang selalu memberiku sesuatu yang lebih dari sekadar harapanku.

***

Manis kan ceritanya? 😭 Aduh, akhir-akhir ini gara-gara lagi nge-draft cerita In a Full Moon bawaanku jadi mellow terus. Dan nulis ini jadi kebawa vibes mellow-nya. Ya, gimana, ya, MBTI-ku F jadi anaknya emang perasa banget alias baperan wkwk

Cerita ini sudah tayang full version-nya di karyakarsa. See you on my next story, bye bye 🌸

Sweet and SpicyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang