Kata orang kehidupan yang paling sulit dijalani bukanlah saat kuliah, tetapi saat seseorang sudah terjun ke dunia kerja.
Awalnya Sania pikir itu hanyalah omongan yang dilebih-lebihkan saja. Sebelum akhirnya ia lulus kuliah, menjadi fresh graduate, dan mendapatkan pekerjaan pertamanya di salah satu perusahaan e-commerce ternama Indonesia yang sedang menjadi tempat kerja incaran para fresh graduate seperti dirinya.
Betapa tidak, konten-konten para karyawannya yang berseliweran di aplikasi TikTok benar-benar mampu memengaruhi anak muda awal usia dua puluhan seperti Sania. Dari mulai boleh menggunakan pakaian kasual—berbeda dengan perusahaan konvensional yang menuntut karyawannya berpakaian formal—di kantor, aneka makanan ringan gratis di pantri, sampai dengan posisi kantornya yang berada di gedung perkantoran elite Jakarta Selatan. Jadi, ya, sekalian bisa flexing ke orang-orang di media sosial karena telah mendapatkan pekerjaan yang bagus di usia muda.
Benar-benar indah bukan?
Ya. Kelihatannya.
Sebab setelah dijalani, Sania dibuat nyaris menangis setiap hari di bulan pertamanya bekerja. Dari mulai jam kerjanya yang terlalu panjang—pulang kerja jam lima sore adalah mitos. Gaji yang tidak sepadan dengan effort kerja yang diberikan. Pekerjaannya tidak sesuai dengan job description saat perekrutan. Bullying yang terjadi di kantor—dimaki-maki atasan adalah makanan sehari-hari Sania. Dan yang terakhir, tidak lain dan tidak bukan adalah kemacetan Jakarta yang harus selalu Sania rasakan setiap hari, lebih tepatnya lima hari dalam seminggu. Yang hampir membuatnya stres karena kaget dengan situasi yang belum familiar untuknya itu.
Dan sekarang, terhitung sudah tiga bulan Sania bekerja. Tapi ia masih tetap belum terbiasa dengan rutinitasnya yang sudah menjadi karyawan dan bukan lagi mahasiswa.
Di saat-saat seperti ini, Sania merindukan masa-masa menjadi pengangguran yang bebas dengan segala drama di kantor. Tidak perlu bermacet-macetan setiap hari, tidak perlu kerja lembur bagai kuda sampai lupa orang tua, dan yang terpenting mentalnya aman sejahtera. Hanya minus dompetnya saja yang menangis karena tidak ada isinya.
"San, lo pesen apa? Kok malah bengong ditanyain," Kiky menepuk bahu Sania karena sejak tadi gadis berusia 22 tahun itu tidak kunjung merespons pertanyaannya.
"Eh—ya, apa?" Sania menggeragap, lalu buru-buru melirik menu yang terpasang di dekat konter pemesanan. "Kopi gula aren deh, less ice, ya," setelah itu Sania membiarkan temannya Kiky memesankan minumannya, sementara ia berjalan mencari kursi kosong yang ada di dekat mereka.
Saat Sania sedang berjalan ke kursi yang ia maksud, matanya tak sengaja berserobok dengan seorang pria yang sedang duduk seorang diri di meja yang tidak jauh darinya. Tipe pria matang yang sepertinya berumur sekitar tiga puluhan. Wajahnya tampan, lengkap dengan berewok tipis yang menambah kesan maskulin untuk wajahnya yang tegas.
Kalau bukan suami orang ya gay nih pasti, cowok ganteng begini mana ada yang available buat remah-remah nastar kayak gue, kata Sania dalam hati sambil mengulas senyum tipis kepada pria itu. Sebelum kemudian Kiky datang ke mejanya dan mengambil tempat duduk tepat di depan Sania. Membuat pandangan Sania ke arah pria itu sedikit terhalangi karena tubuh Kiky yang cukup berisi.
"Nih kopi lo," kata Kiky sambil menaruh satu cup es kopi di depan Sania. "Ngopi dulu, nggak fokus lo dari tadi," komentarnya sebelum kemudian meminum es kopinya sendiri.
Sania hanya nyengir, sama sekali tidak berniat membantah ucapan gadis di depannya itu. "Iya nih, tadi malam gue lembur sampai jam 10," curhat Sania sambil mengocok kopinya sebelum menusuk plastik seal-nya dengan sedotan.
"Lo mah mending, gue dulu pernah sampai jam 12 malam baru pulang," Kiky mulai adu nasib. "Waktu itu gue ...."
Sania lagi-lagi tersenyum lalu mengangguk, tidak berniat mendengarkan curhatan Kiky yang mulai keluar dari mulut gadis itu. Sania sedang tidak ingin adu nasib, ia hanya ingin mengeluh saja.
Lagipula, ia tahu bahwa ada banyak orang lain yang mungkin pekerjaan dan bebannya lebih berat darinya. Tapi, boleh, kan, kalau sesekali dirinya yang masih newbie di dunia kerja ini ngeluh. Sania adalah karyawan baru, ia sedang belajar dalam menyikapi segala tetek bengek pekerjaan. Jadi, yang ia butuhkan sekarang bukanlah adu nasib, ia hanya ingin divalidasi perasaannya.
Karena Sania memang masih berada di fase itu. Berada di masa transisi antara mahasiswa dan pekerja, dua dunia yang memiliki culture berbeda.
"... lo lebih enak, San. Soalnya bos lo sudah bukan Miss Levy," kata Kiky mengakhiri ocehannya.
"Iya, nasib gue emang lebih baik, sih, daripada nasib lo dulu," Sania menimpali setengah hati, dengan senyum tidak ikhlas ia kembali meminum es kopinya.
Selagi ia mengalihkan pandangan dari Kiky, matanya kembali bertemu pandang dengan mata pria itu. Sialan, gue jadi kepo namanya siapa.
Seolah tidak ingin mengalihkan pandangan, pria yang akhirnya bangkit dari kursinya itu berjalan melewati meja Sania menuju pintu keluar kafe, dan ia masih menatap Sania lekat. Sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Sania yang duduk membelakangi pintu keluar.
Ada satu hal lain yang Sania sadari dari pria itu, ternyata selain tampan ia juga wangi sekali.
Pagi-pagi emang paling enak lihat pemandangan indah dan wangi, kembali Sania tersenyum sambil mensyukuri sosok menawan yang baru saja ia nikmati itu.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat 20 menit. Akhirnya Sania lembur lagi. Untung saja besok sabtu, jadi ia bisa tidur seharian tanpa memusingkan urusan pekerjaan yang menyita otak, tenaga, dan mentalnya.
Sania yang sedang menunggu lift dengan dua rekan kerjanya yang lain sudah tidak ada tenaga lagi untuk hanya sekadar bercakap-cakap. Tampang ketiganya lelah, dan satu-satunya pikiran yang ada di otak mereka hanya satu; pulang.
Dan saat lift itu terbuka, Sania dan kedua temannya berjalan gontai memasuki ruangan kotak itu yang ternyata sudah berisi dua orang lain di dalamnya. Mungkin karyawan dari perusahaan lain yang berkantor di lantai atas. Tetapi, Sania yang mengambil tempat tepat di samping salah satu pria di sana mencium sesuatu yang familiar.
Ini kan wangi yang sama kayak wangi yang tadi pagi. Jangan-jangan ....
Saat Sania mendongak, ia mendapati pria yang tadi pagi telah menarik atensinya. Yang lebih mencengangkan lagi, penampilan pria itu masih serapi tadi pagi—dan masih wangi tentu saja. Bagaimana bisa?
Buru-buru Sania mengalihkan pandangannya ke arah lain. Takut kalau ia tertangkap basah sudah memandangi pria itu.
Duh, mana gue sudah kucel lagi, rutuk Sania dalam hati yang memiliki penampilan cukup kontras dibandingkan pria di sampingnya.
"Don, abis ini minum, yuk?" ajak pria lain yang berada di samping pria itu.
Pria yang dipanggil Don itu terdengar terkekeh. Bahkan suara kekehannya saja merdu.
"Next time deh, gue pengin cepet-cepet pulang," katanya menolak.
Diam-diam Sania mengangguk mengiakan. Memang sebaiknya istirahat di rumah daripada keluyuran malam-malam begini.
Akan tetapi, keinginan Sania untuk pulang lebih cepat rupanya tidak dikabulkan oleh Tuhan. Setelah dua temannya pulang dengan jemputan masing-masing, tinggal lah ia sendirian di teras gedung sambil menekuri ponselnya. Sebab pesanan taksi online-nya tidak kunjung diterima karena hujan deras yang tiba-tiba mengguyur Jakarta.
Hujan deras di malam hati. Memangnya boleh seapes ini?
Di tengah-tengah rasa cemasnya karena tidak kunjung mendapatkan transportasi untuk pulang, sebuah SUV tiba-tiba berhenti di depannya. Seorang pria tampak turun dan berjalan menghampiri Sania.
Dan yang lebih mencengangkan dari itu semua adalah ... pria itu adalah pria yang berada di lift tadi. Pria bernama Don—entah Don apa—yang telah membuat hari Sania sedikit membaik hanya dengan memandangi wajahnya.
"Nunggu jemputan?" tanya pria itu langsung setelah berada tepat di depan Sania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Spicy
Short StoryKumpulan short story khusus 21+ Trigger warning: mature, adult romance, sex scene, and agegap I already warned you guys, pilihlah bacaan yang sesuai dengan umur kalian ya :) (cover from pinterest)