BAB 1

5.3K 221 7
                                    

Rumah itu bisa dibilang mewah. Dari kejauhan, bisa terlihat bubungan atapnya di atas pucuk-pucuk daun. Halamannya luas, ditumbuhi beberapa pohon yang cukup besar.

Aku turun dari taksi. Sang supir keluar, berjalan ke belakang, lalu membuka bagasi. Beliau mengeluarkan tiga koper besar milikku. Sambil tersenyum seramah yang kubisa, aku membayarnya sesuai dengan angka-angka yang terpampang di argo taksi. Pria paruh baya itu menggumamkan terima kasih, lalu kembali masuk ke dalam sedan biru itu dan menjalankannya.

Sambil menyeret ketiga koperku, aku berjalan mendekati rumah besar itu. Tak kusangka, semua itu milikku sekarang. Aku berhenti di depan pagar, lalu merogoh saku celana jeansku. Dapat kurasakan serenceng logam yang hangat karena panas tubuhku. Kukeluarkan kunci-kunci itu dari saku dan kubuka gerbang rumah itu.

Semakin aku mendekati rumah itu, semakin aku sadar betapa besar rumah itu. Rumah tiga lantai, tujuh kamar tidur, tiga kamar mandi, dua ruang tamu, empat ruang duduk, satu ruang kerja, satu perpustakaan, satu ruang makan, dan satu dapur. Setidaknya begitu menurut spesifikasinya. Mungkin, bagi beberapa orang, rumah ini kecil. Namun, bagiku rumah ini teramat besar. Setelah biasa tinggal di sebuah apartemen kecil satu kamar, aku syok melihat tempat ini. Apalagi setelah mengingat kenyataan bahwa aku akan tinggal sendirian di sini.

Satu jam setelahnya, aku mendapati diriku menghempaskan diri di salah satu sofa di ruang duduk lantai paling atas yang menghadap ke pekarangan. Di meja di sampingku, secangkir kopi panas mengepul. Aku dapat mencium aromanya yang tajam.

Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Tiga bulan yang lalu, pamanku meninggal. Kanker paru-paru merenggutnya. Ya, tidak salah lagi, bahkan sampai sekarang wangi tembakau masih memenuhi rumah ini. Pada saat itu, aku baru tahu aku punya seorang paman. Beliau adalah kakak ibuku.

Hubungan mereka tidak baik, makannya aku sama sekali tidak mengenalnya. Jangan salah, aku telah mencoba mencari tahu tentangnya. Tapi, nihil. Aku tidak menemukan apa-apa kecuali profil singkatnya di halaman suatu web.

Nama Jacob Adrian baru pertama kali kudengar saat seorang yang mengaku sebagai pengacara keluarga mengetuk pintu apartemenku dan mengatakan kalau pamanku yang belum pernah kutemui sebelumnya baru saja meninggal dan beliau mewariskan seluruh hartanya padaku. Sejauh yang kutahu, Paman Jacob tidak mempunyai istri maupun anak. Beliau hanya memiliki seorang adik, yaitu ibuku. Aku adalah putri tunggal ibuku. Hal itulah yang membuatku menjadi pewaris tunggal hartanya.

Uangnya di bank tidak terlalu banyak, namun cukup untuk hidup sendiri selama sepuluh tahun bila dihemat. Nyaris seluruh kekayaannya habis untuk biaya pengobatannya. Rumah ini? Sisa-sisa kejayaan masa lalu. Dulu, beliau adalah seorang importir yang cukup sukses. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan perusahaannya gulung tikar. Tapi aku tahu bahwa apapun itu, hal itulah yang membuat hubungannya dengan ibuku menjadi renggang.

"Keluarkan aku dari sini! Aku harus menghentikannya! Tepat tiga bulan dua minggu dari sekarang! Tolong lepaskan aku! Aku HARUS menghentikannya melakukan itu! SESEORANG HARUS MENYELAMATKANNYA!" Sulit dipercaya, tapi itulah kata-kata terakhir pamanku sebelum beliau wafat. Tidak ada yang tahu siapa yang dimaksud pamanku atau apa yang akan dilakukannya yang harus pamanku hentikan.

Itulah kenyataan yang harus kuterima. Aku, perempuan berusia tiga puluh dua tahun, masih lajang dan miskin, tiba-tiba mendapat harta yang 'jatuh dari langit'. Sebenarnya, aku adalah seorang penulis buku. Delapan tahun lalu, apabila ada yang bertanya, "Siapakah Karina Mirianti?" kepada siapapun, jawabannya pasti sama : "Penulis buku Kobaran Api di Dasar Laut." Buku itu memang sempat menduduki Best seller selama beberapa bulan. Ada desas-desus buku itu akan diangkat ke layar lebar, meskipun ternyata hanya rumor yang tak bisa dipercaya.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang