.

765 74 0
                                    

30 Januari 2014

Mungkin apa yang akan kuceritakan ini merupakan masa-masa yang paling memalukan dalam hidupku. Aku tidak tahu cara memulainya. Aku benci mengakui bahwa ingatanku tentang masa-masa itu kabur. Sejujurnya aku juga tidak mau mengingat-ingatnya, tapi jika aku ingin menceritakan kisah hidupku kepada seseorang, aku tidak boleh melewatkan bagian ini.

Beberapa hari setelah aku 'ditraktir' makan oleh Laurent, aku menghubungi Wyndia/Ratna lewat nomor telepon yang diberikan oleh Lau. Singkat cerita kami bertemu, mengobrol, transaksi, lalu aku pulang...

Ah.. aku tidak mau menceritakan ini.

Seminggu setelahnya, aku mendapati diri tergeletak di tempat tidur dengan tubuh yang terasa tidak karuan. Tali karet itu sudah terlepas dari tanganku. Entah kemana perginya jarum suntik jahanam itu.

Aku duduk di tepian tempat tidur. Aku masih ingat samar-samar betapa berantakannya kamarku itu. Baju kotor, sampah bungkusan makanan ringan, serta buku-buku berserakan di seluruh kamar. Kudengar Pak Dudut bersiul sambil menyiram tanaman di halaman rumahnya.

Aku masih hidup.

Tawa pelan keluar dari tenggorokanku yang serak. Tawa itu membuat perutku mual.

Tak menghiraukan sakit kepalaku, aku mengubur wajahku dalam kedua telapak tanganku. Ajaib juga, gejolak perasaan dan hormon-homon sialan itu bisa menimbulkan rasa sakit secara fisik. Dadaku terasa sesak. Sakit rasanya.

Beberapa menit berlalu sampai aku sadar jika aku terisak seperti bayi. Aku tidak lari dari kenyataan. Aku sadar betul bahwa aku sangat membenci diriku sendiri. Air mata tumpah ke tanganku yang tertadah. Aku tersedak. Aku tidak tahu lagi apakah rasa sakit ini berasal dari perasaanku atau memang sakit di otot-ototku yang nyeri.

Aku bergelung menyamping di tempat tidur dengan posisi layaknya janin.

Tangan kiriku mulai mati rasa.

Jika dulu aku serius, ada di mana aku sekarang? Jika dulu aku berjuang sesuai kemampuanku, akan jadi siapa aku sekarang? Aku tidak pernah menyesali segala yang telah terjadi di hidupku. Semua itu pilihanku. Tapi... memikirkan semua kesempatan yang tidak aku ambil...

Hah... Aku bahkan tidak pernah meminta untuk dilahirkan.

Aku benci ibuku yang menelantarkanku. Aku benci ayahku yang tidak pernah muncul dalam kehidupanku barang sekalipun. Aku benci pengasuhku yang menghambur-hamburkan uangku. Aku benci Pak Dudut yang menjijikkan. Aku benci Oktavian yang saking sempurnanya sampai bertindak seenaknya. Aku benci Tomi karena dia mendapatkan segalanya. Aku benci Laurent dengan gaya hidupnya yang memuakkan. Aku benci...

Aku benci diriku sendiri karena membiarkanku membenci orang-orang ini.

Selama ini aku berpura-pura tidak peduli, berpura-pura cuek. Ya, sebenarnya aku merasa sakit. Berlagak seolah aku tidak merasakan apa-apa, lama-lama aku benar-benar mati rasa. Tapi untuk apa dirasa-rasa? Lebih enak hidup dalam kebohongan yang dikatakan diri sendiri.

Yang membuatku malu adalah di atas semua itu, aku merasa lega. Lega karena selama sesaat aku bisa terlepas dari kutukanku. Bagaimana aku bisa merasa tidak tersiksa? Selama ini otakku bekerja 24 jam tanpa henti, mengeluarkan ide-ide dan pemikiran aneh, menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Bahkan dalam tidurku aku dapat merasakannya bekerja, berdetik.

Semua ini berubah menjadi paranoia. Pikiranku berubah menjadi teror. Aku takut akan benakku sendiri, yang kini sudah tidak bisa lagi aku pahami. Bisakah kau bayangkan, takut pada pikiran sendiri?

Sudah kucoba untuk menyalurkan energiku untuk membaca buku-buku, tapi efeknya semakin buruk. Aku tidak tahu lagi harus berfokus ke mana. Semuanya simpang siur. Sesekali aku berusaha menulis, seperti yang disarankan guru BK SMA-ku, tapi aku tidak dapat menemukan motivasi.

Kecerdasan tidak menjamin kebahagiaan. Kepintaran bukan berarti bisa menentukan pilihan hidup yang tepat. Bahagia itu mudah, tapi aku mempersulitnya untuk diriku sendiri.

Aku adalah kegagalan

dan aku baik-baik saja dengan hal itu

... mungkin.

Satu injeksi, satu suntikkan, dan semuanya selesai. Hening. Depresan itu benar-benar bekerja. Aku lega dapat terbebas dari monster yang menggentayangi pikiranku. Pada akhirnya aku bisa merasakan, walaupun hanya sekejap mata, apa itu 'normal'. Selama beberapa saat, pikiranku hening, tidak memuntahkan omong kosong apapun. Aku bisa melayang, tanpa memikirkan apapun, tanpa teror yang mencekam. Itulah saat-saat paling bahagia dalam hidupku belakangan ini.

Aku sudah tenang. Aku berhenti menangis.

Ah, dia kembali lagi, bagaikan kelabang yang merayap menaiki tengkukku. Suara-suara itu, aku harus mematikan mereka. Otakku mulai bekerja lagi.

Ini pertarunganku melawan pikiranku sendiri, dan ini tidak akan selesai sampai salah satu dari kami mati. Untuk sekarang, aku hanya bisa membungkamnya.

Aku berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi aku langsung terjatuh. Kulihat sebuah jarum suntik tergeletak di bawah tempat tidur, seakan mengejekku.

"Sial, udah abis."

Kudorong badanku supaya berdiri. Aku berjalan terhuyung-huyung, beberapa kali menabrak meja dan lemari, mencari hp-ku.

"Wyndia."

"Iya?"

"Bisa ketemu siang ini?"

"Bayar?"

"Tunai."

"Berapa?"

"Setengah kilo."

Sekian suratku.

Aku tidak tahu lagi ingin berkata apa. Maka, kuakhiri saja surat yang singkat ini.


Tertanda,

Yohandio

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang