Mendengarku, Maddie terkekeh pelan.
"Itu yang kau tanya?" tukasnya tidak percaya dengan senyum meremehkan.
Kutenangkan diriku. Darahku rasanya seperti mendidih di sekujur tubuhku. Kutarik nafas panjang, lalu kuhembuskan lambat-lambat untuk memelankan degup jantungku. Kupaksakan ekspresi wajahku supaya netral.
Sudah cukup dengan semua ledakan amarah, Karina. Maddie kelihatan menikmatinya, pikirku, dan aku membencinya.
"Anda bilang Hannah putri semata wayang Anda," ujarku formal dan dingin.
Dari ujung belakang kabin pesawat, Marthen mengangkat kepalanya.
"Hannah... itulah masalahku yang belum selesai dengan pamanmu," kata Maddie sambil menyandarkan punggungnya.
"Jujur saja, itulah alasanku mengorek masa lalunya. Aku sebetulnya tidak peduli dengan semua ini, hanya terseret-seret. Aku hanya ingin tahu tentang Hannah," aku berterus terang. Ya, perkataanku itu jujur.
Aku hanya ingin tahu tentang Hannah... dan 'dia' yang dicari pamanku.
"Kau benar-benar ingin tahu, Nak?" Sang ratu mendadak serius. Ada kebencian yang tak disamarkan pada wajahnya.
Aku menelan ludah. Kuanggukkan kepalaku. "Ceritakan saja, supaya kita berdua tidak mati kebosanan di kaleng rongsokan terbang ini," ucapku sinis. Kugerakkan tanganku yang terborgol ke kursi sehingga menimbulkan suara bergemerincing. Dinginnya borgol itu menyayat kulitku. "Lagipula aku tidak akan kemana-mana."
Maddie tampak sedikit tersinggung, namun tidak lama. Dia lalu merenung sejenak sebelum mendesah panjang.
"Seberapa jauh yang kau ketahui tentang Hannah?" tanyanya. Tatapannya tajam menyelidik.
"Nyaris tidak tahu apa-apa. Hanya ada satu petunjuk yang sangat tidak masuk akal, yaitu Hannah adalah sebuah kapal," jawabku. Di dalam hati aku bertanya-tanya mengapa dia menanyakannya.
"Hannah itu kapal."
Rasa kecewa berkecambah dalam hatiku. Hannah benar-benar adalah sebuah kapal, dan kapal tersebut telah dihancurkan, dijual dalam potongan-potongan kecil sebagai besi tua. Lalu bagaimana aku akan menemukan kelanjutan petunjuknya? Aku tidak bisa menyelidiki kapal itu jika benda tersebut sudah tidak bersisa. Bagaimana aku bisa menemukan 'dia'?
Itu kalau aku bisa keluar dari sini hidup-hidup, batinku pahit.
"Jacob itu... tolol. Hanya itu yang bisa kukatakan tentangnya. Dia sangat hebat dalam membuat kesan pertama, tapi sangat parah dalam mempertahankan kesan tersebut. Dia penuh karisma, pintar bicara, tapi bukan berarti pintar. Dia pergi kemana-mana untuk 'berbisnis', mendatangi banyak orang, beramah-tamah, begitu sering hingga perusahaannya sendiri diabaikannya. Dia begitu bodoh, mau membiarkan si Corey kurang ajar itu mengatur perusahaannya seenaknya saat dia pergi ke pesta-pesta, bukan berarti Corey melakukan pekerjaan yang buruk. Corey-lah pemimpin asli JAC Imports, bukan Jacob. Tapi Jacob milikku, dan perusahaan itu masih miliknya. Dia pintar di sedikit bidang, tapi bodoh di sisanya. Bicara pada pamanmu seperti bicara pada tong kosong yang nyaring," katanya angkuh. "Kau tahu, enak rasanya jika kau bisa bicara dengan orang yang punya otak."
Maddie menatap ke luar jendela. Matanya menerawang jauh dalam nostalgia. Jika tidak ada kemarahan dan kebencian yang tersirat di wajahnya, dan jika aku tidak sedang diborgol dalam pesawat yang terbang entah ke mana, aku bisa menganggap dia seorang nenek yang mengenang masa lampau untuk diceritakan pada cucu-cucunya.
"Hannah... benda sialan itu adalah kapal kontainer pertama yang dibeli perusahaan JAC Imports, kapal yang sangat disayangi pamanmu. Saking sayangnya, benda itu dinamai berdasarkan wanita yang paling dicintainya di dunia, atau begitulah katanya. Kalau saja dia tidak membuat keputusan itu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Mystery / ThrillerKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...