pengakuan?

735 62 0
                                    

Setelah menata pikiranku, akhirnya kuputuskan untuk menceritakan padamu semuanya. Sebisa mungkin aku akan menghindari perasaan tertuang dalam surat ini, tidak seperti surat sebelumnya. Aku akan menceritakan ini dengan dingin.

Ini pengakuanku, yang tidak pernah kuceritakan pada siapapun... karena aku tidak punya siapa-siapa.

Sebelum pertemuan pertamaku dengan si Ratna/Wyndia atau siapalah itu, aku sudah mulai memakai, bahkan saat masih belum di D.O. dari universitas. Awalnya bukan apa-apa, hanya jenis yang dihirup seperti rokok. Efeknya juga biasa-biasa saja, paling hanya tidur nyenyak yang tidak bisa kudapatkan selama bertahun-tahun sebelumnya. Aku benar-benar mensyukuri tidur itu. Jujur. 'Obat' dosis kecil itu pun tidak menimbulkan ketergantungan atau apa pun.

Masalah-masalah dan tanggung jawabku tidak ada yang selesai, tentu saja. Aku memakai 'obat' untuk meringankan masalahku, untuk merasa lega sejenak. Saat aku di bawah pengaruhnya, tergeletak di tempat tidur, aku bisa bebas. Aku tahu aku meninggalkan kelas-kelasku, tugas-tugasku.

Saat aku sadar kembali, aku tahu kalau masalah-masalahku masih ada di sana, mengejekku. Di jam-jam saat aku teler, tidak ada masalah yang selesai, mereka malah bertambah banyak. Aku harus menghadapi masalah yang berlipat ganda itu. Ya, aku tidak mampu. Aku menjadi pemakai karena menghindari masalah-masalah itu, dan karena sekarang mereka bertambah banyak, aku butuh menghindari mereka lagi.

Bukan efek 'teler' dari obat itu yang membuatku kecanduan. Kecanduan adalah hasil dari interaksiku yang tidak sehat dengan masalah-masalahku dan kepengecutanku untuk menghadapi mereka.

Laurent dan Wyndia hanyalah katalis. Mereka memberiku heroin yang konsentrasinya lebih tinggi dari biasanya. Mulai saat itu, dosis biasa tidak cukup. Dengan cepat, aku terjerumus dalam ketergantungan fisik. Aku mulai menggila. Mengikat lenganku dengan pentil dan menancapkan jarum suntik ke pembuluh darah menjadi rutinitasku.

Saat aku bercermin, aku nyaris tidak mengenali lelaki muda yang menatapku balik. Tulang pipi dan rusukku menonjol dari balik kulitku. Aku belum mandi selama beberapa hari. Kurasakan perutku keroncongan. Di tempat aku biasa menyuntik, dagingku mulai menjadi abses bernanah. Aku harus menbersihkannya. Perutku bersuara lagi. Stok makananku juga habis.

Aku ingat saat itu tengah malam, aku mengenakan hoodie apek dan topi di bawah tudungnya untuk menutupi lingkaran biru di sekitar mataku. Aku keluar menembus udara dingin, masih setengah teler, menuju minimarket 24 jam di dekat rumah. Kuseret kakiku menuju rak obat-obatan dan mengambil alkohol dan cairan antiseptik. Aku juga mengambil beberapa bungkus mie instan. Kubayar belanjaanku dengan selembar uang yang tersisa di dompet, dan mendapat kembalian beberapa koin dari kasir yang menguap setiap beberapa detik. Aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Mulutku luar biasa kering.

Ya ampun, dulu aku benar-benar kacau.

Jangan salah. Aku pernah mencoba berhenti. Aku betul-betul berusaha. Aku hanya... tidak berhasil. Sampai sekarang, malah.

Heroin tidak hanya menunpulkan otakku (itulah fungsinya yang kusukai. Aku benci pikiranku. Sepertinya aku sudah membahasnya di surat sebelumnya.. aku lupa), obat itu juga menumpulkan indera-inderaku. Saat aku berhenti memakainya, indera-inderaku kembali seperti biasa, tapi aku tidak terbiasa dengan ketajaman inderaku. Aku menjadi hipersensitif.

Rumahku selalu gelap. Semua jendela kupalang. Melihat sedikit saja cahaya membuat mataku sakit. Bahkan sentuhan membuatku luar biasa tidak nyaman. Aku tidak berani keluar rumah karena jalanan luar biasa berisik dan itu menyakiti telingaku. Otakku dibanjiri semua informasi dari alat-alat inderaku yang tidak bisa kutanggung.

Berusaha berhenti sangat sangat sangat menyakitkan. Sekujur tubuhku terasa seperti hancur berkeping-keping. Kepalaku seperti dibelah dengan kapak. Perutku seperti dikocok dan diinjak-injak di saat yang sama. Aku merasa rapuh. Aku ingin menjerit, tapi aku tidak ingin menarik perhatian tetanggaku. Hal terakhir yang kuinginkan adalah orang lain mendobrak paksa pintu rumahku, menghujamiku dengan cahaya yang menyakitkan, dan membawa serta polisi.

Untuk mengatasi rasa sakitnya, kucekoki diriku dengan aspirin dan parasetamol. Jujur saja, hal itu tidak banyak membantu. Pada akhirnya, aku hanya menangis, meringkuk di tempat tidur, menggunakan gigiku untuk mengencangkan ikatan pentil di lenganku, dan menyuntik lagi.

Kupaksa diriku untuk membaik. Aku mulai makan makanan sehat, mengurangi dosis sebisa mungkin, dll.  Aku melakukan riset di internet dan membuat perhitungan dosis dan rencana program treatment untuk diriku sendiri. Program buatanku bagus, tapi aku yang tidak bagus.

Aku pengecut. Aku mudah menyerah. Aku tidak kuat.

Berapa tahun, ya, yang kuhabiskan seperti itu? Mengurung diri di rumah, kecanduan berat, mencoba berhenti, menyerah, kecanduan lagi.

Aku sempat nyaris bersih... nyaris. Saat itu moodku sedang bagus, yaa.. paling tidak itu mood terbaikku selama beberapa bulan.

Saat itulah telepon rumahku berbunyi, suara deringnya membuat kepalaku seperti mau pecah. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali benda itu berbunyi. Aku bahkan tidak tahu kalau benda itu masih berfungsi.

Selama lima dering telepon, aku hanya membeku di depan telepon itu, tak berani menjawab. Pada akhirnya, aku menghela nafas panjang dan mengangkatnya.

"Halo?" ucapku dengan suara kering.

Hanya suara nafas cepat yang terdengar dari seberang sana.

"Halo?" tanyaku lagi.

"Ehh... Yohandio?" tanya orang itu gugup.

Aku tersentak, merinding. Aku langsung mengenali suara itu. Setelah bertahun-tahun...

"Ya."

"Ini Oktavian."

Sekian surat ini.

Salam hangat,

Yohandio






=========

AN

Maaf saya baru update sekarang, akhir-akhir ini saya sibuk dengan pendaftaran univ. Semoga bisa update lagi dalam waktu dekat.
Terima kasih atas semua dukungannya... 🙏😄

Rahayu_via


Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang