BAB 6

1.1K 101 6
                                    

"Saya Karina. Belajar merajut?"

"Ada janji?" Tanya suara lelaki yang terdengar galak.

"Ada. Kemarin, lewat email," jawabku.

Dari speaker yang ditempelkan di tembok pagar itu, terdengar sayup-sayup lirih pembicaraan. Aku menunggu beberapa saat sambil mengamati properti yang terdapat di balik pagar itu.

"Silahkan masuk," ujarnya dari speaker.

Jeruji pagar otomatis terbuka, mempersilahkan mobilku, mobil paman, masuk. Kalau menurutku rumah paman sangatlah besar, rumah ini bagaikan istana megah. Bertengger di atas bukit, rumah yang setara dengan rusun untuk puluhan keluarga itu berdiri. Sebenarnya, seluruh bukit itu adalah pekarangannya.

Aku harus memacu mobilku melewati tamannya yang luas, menanjak ke puncak bukit. Begitu sampai di atas, barulah kusadari semegah apa rumah bergaya super modern itu.

Seorang pria, dari suaranya kusimpulkan kalau dialah yang berbicara denganku di pagar, mencegatku persis di pintu masuk rumah. Dia berpakaian hitam khas satpam, namun bertindak seperti valet parkir. Dia mengambil mobilku dan membawanya entah ke mana.

Pria lain datang dan menggiringku masuk ke dalam rumah. Rumah itu luar biasa. Lantai pertama merupakan ruang tamu, keseluruhannya. Satu lantai hanya untuk ruang tamu. Ruang itu berwarna putih seluruhnya. Sofa-sofa putih besar berwarna broken white menyambutku begitu masuk. Aku dipersilahkan duduk di sana. Aku menurutinya. Pria itu pun meninggalkanku setelah menyuruhku menanti sebentar.

Karpet putih-emas terhampar si bawah kakiku dan sebuah meja tamu bergaya futuristik berada tepat di depanku. Di satu sudut ruangan, terdapat satu pesawat televisi 90" dan satu set sofa putih lain.

Di tengah-tengah ruangan, terdapat sebuah taman batu. Batu-batu putih halus seukuran setengah telapak tangan berserakan. Berantakan, tapi tertata. Tiga fosil kayu diletakkan penuh seni di taman tersebut.

Sedikit di belakangnya, terdapat tangga spiral putih yang berkesan 'menggantung' di udara, yang sebenarnya ditopang kawat-kawat transparan. Tangga itu benar-benar menambah estetika ruangan ini.

Langit-langitnya sangatlah tinggi. Jika melihat ke atas, tampaklah lampu-lampu indah futuristik mencuat dari sana.

Sisi ruangan yang menghadap ke belakang seluruhnya terbuat dari kaca, memamerkan keindahan halaman belakang serta kolam renangnya, tapi juga menghemat listrik untuk penerangan rumah.

Secara keseluruhan, rumahku, rumah paman, jika dibandingkan dengan ini kalah jauh.

"Oh... sudah datang."

Aku mendengar suara seorang wanita tua. Mataku yang jelalatan kualihkan ke sumber suara. Seorang wanita tua berjalan menuruni tangga spiral yang berkesan rapuh itu. Tubuhnya kecil, sedikit bungkuk, dan senyumnya tampak ramah. Rambutnya hitam, pasti sudah dicat dan dikeriting supaya berkesan tebal. Wajahnya tidak terlalu keriput, tidak seperti wanita 73 tahun lain. Mungkin botox.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Ini yang mengaku tidak bisa merajut. Omong kosong! Semua orang pasti bisa merajut." Dia berjalan mendatangiku, lalu duduk di sofa depanku.
"Madeleine Gara. Siapa namamu, Nak?"

"Karina," jawabku. "Karina Mirianti."

"Kau bawa perlengkapan merajutmu?"

Aku mengangguk, lalu mengeluarkan dia buah 'sumpit' yang baru saja kubeli kemarin. Aku tidak mengerti apapun tentang merajut.

"Ya, Ny. Gara. Ini sumpit saya."

"Ya ampun! Sumpit?" Dia tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Nak. Kau masih benar-benar pemula. Jarum rajut! Sumpit? Ya ampun."

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang