180 derajat.

1K 92 0
                                    

1 Januari 2015

SELAMAT TAHUN BARU!!! Meskipun saat Anda menerima surat ini, sudah lewat beberapa hari setelah tanggal di atas.

Tomi, namanya, Tomi Raharto. Teman sekamar kosku.

Seperti yang telah kutulis sebelumnya, kami berkebalikan 180 derajat. Hari pertama dia masuk, terjadilah pertengkaran terhebat dalam sejarah kos-kosan itu.

Singkat cerita, saat masalah sudah diselesaikan oleh ibu kos, kamar kami terpaksa dibagi menjadi dua bagian sama besar menggunakan lakban. Tidak ada salah satu dari kami yang boleh masuk ke bagian yang lain, bahkan melewati lakban itu sedikit saja tidak boleh.

Aku mendapat tikar, bantal, guling, dan selimut untuk tidur. Sementara itu, dia mendapat sebuah kasur busa. Mungkin, itu bentuk hukuman bagi kami yang telah menyebabkan keributan. Entahlah.

Meja tulis dan kursi dia yang dapat. Lemari dibagi. Aku dapat dua pertiga dan dia sepertiga. Untunglah. Dengan minimnya perabotan di kamar bagianku, aku bisa mendapat tempat lebih luas. Tikar kalau tidak dipakai bisa digulung, kan?

Biar kujelaskan sedikit tentang perbedaan kami.

Aku berasal dari keluarga kaya. Tanpa perlu berusaha banyak, aku dengan mudah bisa mendapat banyak uang dari kakek nenek. Namun, aku tidak mau dianggap anak serakah kurang ajar. Jadi, aku menerima saja berapapun yang mereka berikan. Sebagian besarnya juga kutabung, aku tidak konsumtif.

Tomi berasal dari kalangan kelas bawah. Ayahnya tukang sapu dan ibunya buruh cuci. Dia berhasil masuk ke universitas ini dari hasil perjuangan berat, baik perjuangannya maupun orang tuanya. Di sini pun, dia mendapat beasiswa nyaris penuh.

Aku tidak pernah mendapat kasih sayang orang tua, dalam bentuk apapun itu. Ibuku? Sudah tidak usah dibahas lagi. Ayahku? Aku hanya tahu sebatas namanya saja. Hanya itu. Titik.

Tomi anak kesayangan orang tuanya. Dia anak kedua dari empat bersaudara, anak laki-laki pertama. Kebanggaan. Mereka akan melakukan apa saja agar dia bisa sukses.

Dalam bagian yang ini, kau sudah punya bayangan bagaimana tingkah dan sikapku. Tidak perlu dijelaskan lagi.

Tomi adalah anak yang baik. Dia berbakti pada orang tua, sopan, jujur, ramah, perhatian, dan segudang sifat baik lainnya. Sepertinya, seluruh kisah hidupnya bisa dibuat menjadi buku pedoman bertingkah laku.

Aku suka rock.

Tomi suka keheningan.

Aku bisa dibilang 'cemerlang', namun kurang motivasi.

Tomi? 'Kecemerlangannya' di tingkat terendah, namun motivasinya setinggi langit.

Mungkin perbedaan kami yang paling mencolok adalah ketekunan kami. Aku bisa dibilang sangat sangat sangat tidak tekun. Aku sering membolos, tidak mengerjakan tugas, tidak pernah belajar. Sehari-hari, pekerjaanku hanyalah tiduran di tikar sambil membaca buku-buku rumit 'tingkat tinggi' yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kuliahku. Di sisi kamar milikku, lantainya dipenuhi gunungan buku. Nyaris tidak ada tempat untuk menjejak. Buku kuliahku? Entah ada di mana.

Sisi kamarnya rapi. Dia terbiasa dengan rumah kecil beratap seng. Jadi... tahu sendiri lah. Dalam hal ketekunan, dia juaranya. Setiap kesempatan yang ada digunakannya untuk belajar. Ngotot sekali dia.

Aku sering tidak ikut ujian. Jadi, bagaimana aku tahu berapa nilaiku?

Sementara itu, nilainya selalu bagus.

Aku teramat sangat mudah mengerti sesuatu. Hanya saja, kalau aku punya niat untuk memahaminya. Kalau tidak... ya tidak. Ingatanku juga bisa dibilang bagus.

Tomi sulit mengerti. Ingatannya tidak bagus kalau berhubungan dengan pelajaran. Tapi, dia tekun belajar. Itu nilai tambahnya.

Selain yang telah kusebutkan sebelumnya, masih ada jutaan perbedaan lain yang jika kutuliskan, entah akan setebal apa nanti amplop suratnya.

Intinya : kami sangatlah berbeda.

Tapi, pada akhirnya, kami berubah menjadi sepasang sahabat yang paling janggal. Entah bagaimana. Pokoknya, serangkaian proses penyesuaian yang diawali oleh tidak maunya ibu kos membiarkan salah satu dari kami pindah kamar. Jadi, kami berdua baik-baik saja dan bisa saling menerima keberadaan masing-masing.

Jurusan yang diambilnya adalah biologi molekuler. Aku merinding bahkan hanya mendengar namanya saja. Nama itu kedengarannya... jahat. Sudahlah, aku jadi berlebihan sekarang.

"Apa maksudnya ini !?!" Dia berteriak, suatu malam.

Aku mengangkat pandanganku dari buku yang sedang kubaca. "Apa maksudnya apa? Kenapa kau berteriak? Bukannya dulu kau marah-marah saat aku memutar trash metal? Kenapa sekarang malah kau yang berisik? Satu kos bisa bangun."

"Apa maksudnya ini? Tidak mengerti."

"Sudah berapa jam kau membaca itu?" Tanyaku. Aku mulai prihatin dengan ambisinya. "Santai saja, lah. Sini, berikan padaku buku itu."

"Yang benar saja. Kau mau apa? Mengkuliahiku? Memangnya ada nilaimu yang bagus?" Dia mengatakannya karena frustasi.

Aku menatapnya tajam. Dia terdiam, lalu menyerahkannya padaku. Dengan malas, aku membolak-balik halaman buku tersebut sambil membacanya tanpa semangat.

"Ini sederhana, apa yang kau pelajari," kataku, tak sampai lima belas menit sejak kusentuh bukunya.

"Yang benar saja! Kalau begitu, coba ajarkan," tukasnya dengan nada menantang.

Aku menguap. Saat itu memang hampir tengah malam. Kutatap dia dengan tatapan kantuk.

"Lalu kau mau bayar apa kalau aku serius?"

"Traktir makan tiap malam sampai aku lulus, kalau kau memang bisa mengajariku lebih baik dari dosen di kampus."

Aku tidak yakin tentang ini. Kondisi ekonominya buruk. Dia berani menantang seperti itu. Tapi, pada akhirnya kuterima tantangannya. Lumayan... hemat duit.

"Sederhana saja. DNA mengandung semua informasi genetik. Semuanya dikodekan. A, T, C, G. Untuk detilnya mengenai si A, T, C, G, dan gugus proteinnya, kita akan membahas itu nanti, di malam yang lain. Intinya, A selalu berpasangan dengan T, C selalu dengan G. Mereka tersusun sedemikian rupa membentuk kode." Aku berhenti sejenak.

"Bentuknya, heliks ganda, itu hebat," aku menggunakan tangan untuk menjelaskannya. "Bila dipecah, 'diiris' di tengah saat pembelahan sel, detilnya nanti, dengan mudahnya bisa tumbuh sebelahnya lagi," tanganku bergerak-gerak, mencoba menggambarkannya di udara. "Bagaimana? Karena tadi. A dengan T, C dengan G."

Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. "Anggap saja DNA bisa... 'difotokopi'. Hasil fotokopinya berupa RNA. Detilnya nanti. Nah, hasil fotokopi ini dibawa ke ribosom untuk 'dibaca'. Di sana terjadi sintesis protein. Detilnya nanti. Bayangkan saja, informasi spesifik tentang protein seperti apa yang harus disusun si ribosom ada di hasil fotokopian itu. Jadi, cetak birunya itu DNA, RNA itu fotokopian, ribosom itu tukangnya."

Aku mengangkat bahu. "Semua yang akan kau pelajari berputar-putar di sekitar itu saja, KALAU aku tidak salah mengerti dari apa yang kubaca cepat tadi."

Dia tercengang. Lalu, setelah beberapa saat, dia mengambil buku catatan dan menulis apa yang tadi kubilang. Padahal, aku tidak yakin 100 persen kalau aku benar.

"Dan, yang paling penting dari semuanya, BENAR-BENAR PENTING," aku menyela Tomi menulis. Dia menatapku penuh perhatian. "Untuk traktiran malam ini, belikan saja segelas kopi. Cari yang tinggi kafein. 3 in 1, jangan ada ampasnya."

Ya, aku akui kalau aku sangat eksentrik.

Sekian dulu suratku, Pak Jacob. Semoga tahun yang baru ini menyenangkan bagimu!

Salam,

Yohandio :)

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang