BAB 20

728 64 1
                                    

"Mar... then?" Suara yang keluar dari mulutku tak lebih dari decitan lirih.

Aku merasa seperti melayang saat menyaksikan 'adegan' yang berlangsung di hadapanku. Otakku bagaikan kapal pecah, tak mampu memproses semua informasi yang masuk ke dalamnya, segalanya berserakan tidak karuan.

"Kerja bagus, Marthen."

Tiga kata itu terus terngiang di telingaku. Di hadapanku, darah masih menodai pemandangan. Darah Victor, ingatku. Lelaki muda itu masih terbaring di sana, tak berdaya. Melihat sosok bersimbah darah di lantai hanggar itu membuatku seakan mati rasa, membuat semua ini terasa lebih seperti mimpi.

Victor penghianat, kata sebuah suara di sudut kepalaku.

Marthen menembaknya, ujar suara lain.

Marthen penghianatnya.

TIDAK! protesku.

Marthen bekerja pada Madeleine.

TIDAK! INI TIDAK MUNGKIN!

Pikiranku kalang kabut saat mataku menyaksikan Marthen berjalan mendekat, melangkahi tubuh Victor. Kebingungan merajalela dalam benakku. Marthen berdiri di hadapan Maddie, seolah-olah menunggu sesuatu.

"Ayo kita pergi," ucap Maddie singkat dan dingin. Ditatapnya para bodyguardnya. "Polisi ini orang kepercayaanku. Dia ikut dengan kita."

Nah, itu. Bukti apa lagi yang kau perlukan? tanya suara di pikiranku.

Jantungku seolah jatuh, tenggelam ke dalam perutku.

Bagaimana mungkin? Tapi... V... Victor...

Dua orang bodyguard memegangiku, satu orang di setiap tangan. Mengerahkan seluruh kekuatanku, aku berontak mencoba melepaskan diri. Sebuah geraman lantang lolos dari mulutku saat aku menendang salah satu dari mereka. Tidak ada perubahan pada wajahnya, kecuali sebuah kernyit di dahinya. Mereka menyeretku yang masih meronta-ronta menaiki tangga pesawat yang sempit.

Tatapanku jatuh pada punggung Marthen, yang sedang meniti tangga di belakang Maddie. Semuanya jelas sekarang. Saat kutatap punggung lelaki itu, hanya ada kemarahan di dalam hatiku. Jantungku berkobar tersulut api amarah.

Interior pesawat itu sebenarnya menakjubkan, jika aku berada dalam kondisi yang memungkinkanku untuk mengaguminya. Kursi-kursinya yang lega terbalut kulit berwarna kuning gading ditata menghadap satu sama lain. Ada meja bar di bagian belakang pesawat yang diletakkan menempel ke salah satu sisi.

Dengan kasar, kedua bodyguard yang menuntunku kini mendudukkanku di salah satu kursi yang menghadap ke bagian belakang pesawat. Sebelumnya, sempat kulihat Maddie masuk ke dalam kokpit. Kuhujamkan pandanganku pada Marthen yang melangkah mendekat. Dengan cepat, dia memborgol tangan kananku ke lengan kursi dan memasangkan sabuk pengaman. Wajahnya datar, tak menunjukkan ekspresi apapun.

Seorang bodyguard, Si Boss, menghampiri mereka dari suatu tempat di belakangku, lalu membisikkan suatu perintah pada mereka. Kulihat para pria berpakaian serba hitam itu berpencar mengambil posisi di kursi-kursi pesawat. Dari tempatku duduk, hanya dua orang yang terlihat.

Suara pengumuman dari kapten pesawat memecah keheningan. Pesawat ini akan segera lepas landas.

Marthen duduk di kursi yang menghadap ke arahku. Hanya ada amarah dan rasa muak nyaris jijik yang ada padaku. Tarikan nafasku berat dan otot-ototku tegang. Saat dia mengencangkan sabuk pengamannya, aku membuang muka.

Ketika pesawat mulai berjalan keluar hanggar, kulihat ke luar jendela. Tampak sosok-sosok berseragam berlarian keluar dari pintu hanggar ke arah landasan pacu. Aku tersenyum kecut --mungkin meringis, aku tidak yakin-- melihat para polisi itu.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang