BAB 5

1K 82 0
                                    

Sudah seminggu aku tinggal di rumah ini. Aku sudah mulai nyaman. Aku telah berbelanja beberapa kebutuhan sehari-hari. Pakaianku telah dirapikan di dalam lemari kayu besar. Aku telah membiasakan diri dengan mobil pamanku. Aku tahu cepat atau lambat aku harus mengurus penggantian nama pemilik kendaraan tersebut, dan SIM-ku sebentar lagi kadaluwarsa.

Mengenai penuntasan 'misi sebelum mati' paman... aku sudah menyerah. Aku sudah malas, bahkan untuk hanya memikirkan pergi keluar rumah ke kota lain mencari hal-hal aneh. Semua petunjuk yang ada di buku catatannya mengarah ke jalan buntu. Mungkin tidak, tapi aku tidak mengerti sebagian besar hal yang dituliskannya di sana. Untuk pencarian lapangan, kasus ini resmi ditutup.

Saat aku bosan, kubaca surat-surat dari si Dio itu. Setidaknya aku menjadi punya hiburan membaca ceritanya yang bisa dibilang gila. Sempat terbersit di benakku untuk mengecek kebenaran ceritanya. Tapi, setelah dipikir lagi, sepertinya itu hanya buang-buang waktu saja.

Aku masih penasaran tentang apa yang ingin dicari pamanku. Meskipun aku tidak keluar rumah, aku menggali berkas-berkasnya. Aku mencari tahu apa yang dilakukannya, berkaitan dengan bisnis, seputar tanggal-tanggal tertentu yang tertulis di bukunya. Pencarianku dipusatkan di akhir tahun '80-an.

Saat aku sedang membaca berkas-berkas tersebut, terdengar suara bel rumah dibunyikan. Aku meletakkan berkas-berkas itu di atas meja dan berlari turun ke lantai bawah.

Aku membuka pintu itu. Tampaklah seorang wanita muda. Usianya baru sekitar awal dua puluh. Pakaiannya sederhana, kaus dan rok panjang. Dia membawa sebuah tas kain yang sudah lusuh.

"Iya?" Tanyaku. "Ada apa?"

"Saya Lina. Dulu, sebelum pemilik rumah meninggal, saya bekerja di sini," katanya.

"Oh, silahkan masuk." Aku tidak tahu harus berbuat apa. Dia masuk dan menutup pintu di belakangnya.

"Anda pasti keponakannya, bukan?"

"Ya," jawabku. "Dulu, kau bekerja apa di sini?"

"Turut berduka cita. Dulu saya bersih-bersih. Seminggu sekali saya datang. Mencuci piring, menyapu, mengepel, membersihkan debu. Saya juga membawa pakaiannya ke laundry dan mengambilnya."

Aku menatapnya. Tampaknya, dia mengatakan yang sebenarnya.

"Apa Anda membutuhkan saya sekarang?" Dia bertanya.

Aku berpikir sejenak. "Boleh," jawabku. Lagipula, aku tidak terlalu mempermasalahkan uang.

Setelah bercakap-cakap sebentar tentang kehidupannya, diriku, dan masalah penggajian, dia mulai bekerja. Aku kembali ke perpustakaan untuk meneliti berkas-berkas pamanku. Entah kenapa aku merasa tertekan berada di ruang kerjanya.

Beberapa jam berlalu. Aku sampai melupakan kehadiran Lina di sini saking besarnya rumah ini. Aku mendengar suara ketukan. Ternyata, Lina mengetuk pintu perpustakaan. Dia membawa kemoceng di tangannya.

Aku mengangguk kecil, mempersilahkan dia masuk.

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" Aku bertanya padanya.

"Sejak dua tahun yang lalu. Lumayan, untuk menambah uang saku dan membayar kos."

"Kuliah?"

"Ya," jawabnya.

Aku teringat surat-surat Dio. Surat terakhir yang kubaca berakhir pada masuknya dirinya ke sebuah universitas.

"Apa yang biasa dilakukan pamanku? Apa yang dibicarakannya?"

Dia tersenyum. "Anda tidak mengenal dia, bukan? Pak Jac memang orang yang tertutup. Tapi, saat dia mau berbicara, yang dibicarakannya cuma perusahaannya yang lama."

Aku tidak terlalu mendengarkan kata-katanya. Aku sibuk mencatat di bukuku :

Akhir '80-an : perusahaan paman, JAC Imports, bekerjasama dengan Kalles group dan Agivax.

Hasil pencarian di internet : pertengahan '90-an Agivax melebur dengan perusahaan lain bernama Cortion- apalah. (Namanya susah). mereka bergabung menjadi Agico, perusahaan makanan terkenal, yang sekarang semakin maju dan berkembang.

Apa ada hubungannya?

"Tapi, sesekali, Pak Jac membicarakan tentang masa mudanya. Tentang adiknya, orang tuanya."

Di tahun awal Agico, JAC Imports bangkrut.

Apa hubungan semua ini dengan 'Hannah'?

Aku mengangkat kepalaku dari bukuku. "Apa dia sering membuka komputernya?"

"Beberapa kali. Jarang."

"Tahu passwordnya?" Aku bertanya. Aku telah mencoba menyalakannya untuk mencari petunjuk. Namun, aku terhalangi dengan adanya password. Sudah banyak yang kucoba, tapi tidak ada yang cocok.

"Saya tidak tahu." Wanita itu berhenti sejenak, lalu lanjut membersihkan debu dari rak buku. Dari jauh, kuamati betapa cekatannya dia.

Aku kembali menekuni apa yang tadi kulakukan.

"Pria tua yang kesepian, Pak Jac." Lina mendesah. "Cuma sedikit orang yang datang ke pemakamannya. Anda datang?"

"Hah?" Aku tidak mendengarkannya. "Oh, pemakamannya? Tidak."

"Hanya ada saya, pemilik rumah makan di dekat sini, beberapa teman, dan seorang wanita tua. Wanita tua itu bilang, dia perwakilan dari perusahaan... apa, ya? Agof... Agi... Entahlah."

Aku tersentak. "Agivax?" Tanyaku bersemangat.

"Ya, itu," dia menjawab keheranan.

"Apa yang dikatakan wanita tua itu?"

"Tidak banyak. Hanya tentang mereka masih punya urusan yang belum terselesaikan dan semacamnya."

"Urusan apa?"

"Tidak tahu. Tapi sepertinya bukan bisnis. Lebih seperti pribadi, dari cara dia mengatakannya."

"Ingat siapa namanya?"

"Entahlah... Madeleine. Yang pasti itu nama depannya."

Aku menyambar telepon genggamku. Tindak tandukku membuatnya bingung.

"Madeleine Gara. Istri Almarhum Abraham Gara, mantan CEO dan pendiri Agivax. Masih memegang sejumlah besar saham di Agico," bisikku sambil menatap layar telepon genggamku. "Jika paman mencari malasah, wanita itu bukan orang yang tepat untuk dilawan."

Lina tidak mau ambil pusing. Dia kembali bekerja dan menghiraukanku.

Ternyata wanita tua itu sudah tidak terlalu memusingkan perusahaan. Dia mengisi masa tuanya dengan merajut dan membuat blog berisi panduan merajut. Wanita tua yang melek teknologi.

Berdasarkan alamat email yang ada di blognya, aku mengiriminya pesan:

Saya seorang perajut pemula. Saya telah mengikuti panduan dan video tutorial Anda, tapi kemampuan saya masih menyedihkan. Apa saya bisa bertemu langsung dengan pembuat blog ini untuk mendapatkan tops dan trik. Saya tidak memaksakan apabila jadwal Anda padat.

Terima kasih.

Tak sampai lima menit, hebatnya emailku telah mendapat balasan.

Kita bertemu besok di rumahku pukul 10.00. Bisa?

Email itu disertai alamat rumahnya.

Aku terkesima. Aku tidak percaya keberuntunganku yang sedang baik.

Kasus kembali dibuka.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang