BAB 8

952 76 2
                                    

Aku membanting pintu mobil. Kukunci mobil tua yang terparkir di pinggir jalan itu. Sambil menghela nafas panjang, kulihat sekeliling. Langit sudah sedikit menggelap. Sudah pukul tiga sore.

Kesan pertamaku terhadap lingkungan itu adalah tidak terawat. Sebuah jalan cukup lebar dengan aspal yang telah berlubang-lubang membelah kompleks perumahan tua itu. Rumah-rumah besar yang sebagian besar telah ditinggalkan pemiliknya berderet di kanan dan kiri jalan. Dulu, tempat ini pasti ditinggali orang-orang kalangan atas, sebelum kehilangan pamornya. Developer perumahan ini membangunnya di lokasi yang diperkirakan akan booming dan menjadi daerah ramai, padahal hasilnya kebalikannya.

Rumah nomor 32, rumah yang besarnya kira-kira dua pertiga rumah yang kutempati sekarang, berdiri di hadapanku. Arsitekturnya lebih menarik dari rumah paman, sebenarnya. Sayang, cat tembok rumah tersebut yang dulunya berwarna putih sudah menjadi keabu-abuan terkena cuaca dan jamur serta mengelupas di mana-mana. Di pekarangannya, rerumputan liar tumbuh subur kurang lebih setinggi lututku, entah sudah berapa lama tidak dipangkas. Rumah tua itulah tujuanku.

Kudorong pagarnya yang setinggi pinggang, lalu melangkah masuk ke halaman depan. Kulihat noda karat menempel di telapak tanganku. Melihat keadaannya, aku ragu apakah rumah ini masih ditinggali. Keraguanku hilang saat melihat sebuah jendela di lantai dua dengan lampu yang menyala di baliknya.

Kutembus rerumputan di pekarangannya dan langsung menaiki undakan di depan pintu masuk utama. Isi perutku terasa seperti berputar-putar saat kupencet belnya, yang aku tidak yakin masih bekerja atau tidak. Terdengar suara 'piip' lantang dari suatu tempat di dalam rumah.

Aku mengganti-ganti tumpuan kakiku. Dengan gelisah, kutarik-tarik ujung lengan bajuku saat menunggu jawaban. Tidak ada tanggapan terhadap suara bel tadi.

Sekali lagi kupencet belnya.

Tetap tidak ada tanggapan. Aku mendesah.

Pintu tiba-tiba dibuka lebar.

"Iya, iya, aku janji akan membayar semuany–”

Lelaki itu berhenti di tengah-tengah perkataannya. Dia menatapku sambil setengah melongo. Rupanya seorang wanita dengan blus hijau susu, celana berwarna hitam setengah betis, dan sepatu kets warna neon bukanlah orang yang dia harapkan untuk memencet bel rumahnya.

"Permisi. Apakah nama Anda Corey? Apa Anda–”

"Siapa kau?" tanyanya. "Mau apa datang kemari?"

"Tadi pagi kartu ini sampai ke rumah saya." Kukeluarkan kartu bertuliskan 'Turut Berduka Cita' dari dalam tas selempangku. "Apa benar Anda yang mengirimnya?"

Lelaki yang usianya kira-kira akhir lima puluh hingga awal enam puluh tahun itu melirik kartu tersebut. "Apa hubunganmu dengan Adrian?"

Adrian? Oh, Jacob Adrian.

"Saya keponakannya."

Lelaki dengan kaus lusuh dan celana pendek itu menyapukan pandangannya ke arahku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Masuk," ucapnya singkat.

Dia menyingkir dari jalanku, tangannya masih menggenggam gagang pintu. Tanpa berani mengatakan apa pun, aku melangkah masuk. Dia menutup pintu di belakangku.

"Duduk," titahnya.

Aku beringsut ke kursi terdekat. Ruang tamu itu remang-remang. Gorden semua jendela yang ada di ruangan itu ditarik tertutup. Di sekitarku, kemasan-kemasan kardus dan styrofoam bekas delivery makanan berserakan. Di meja tamu, terdapat tumpukan koran yang tanggalnya dari tiga tahun lalu.

Corey duduk di kursi seberangku. Dia duduk bersandar, menyilangkan kedua lengan dan kakinya. Kuamati wajahnya yang keriput. Hidungnya mancung dengan alis tebal dan rahang persegi yang maskulin. Dulu, dia pasti cukup tampan.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang