Balas Dendam, OYE!

1K 86 7
                                        

2 Desember 2014

Maaf sudah satu bulan aku tidak menyuratimu. Ada urusan.

Langsung saja, yaa...

Cukup sudah! Perlakuannya sudah keterlaluan.

Jam 8 malam, aku masih di sekolah. Aku tidak boleh pulang sebelum semua meja di sekolah halus. Aku diperintahkan sang kepala sekolah untuk mengamplas seluruh meja yang penuh coretan. Seenaknya saja dia menyuruhku kerja rodi.

Oktavian yang memulai semuanya. Ya, dia benar-benar menyusun intrik. Tidak rumit, mudah terbaca. Cuma sedikit fitnah dan menjilat. Aku bisa dengan sangat mudah mengubahnya menjadi senjata makan tuan. Aku tahu aku bisa membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Semudah menjentikkan jari.

Tapi, untuk apa aku membalas? Biarkan saja dia bertingkah semaunya. Toh sebentar lagi ujian dan lulus. Kalau dia dikeluarkan sekarang, aku akan menghancurkan masa depan seorang anak, tak peduli betapa menyebalkannya dia.

Sudahlah, tidak usah diceritakan. Nanti perasaanku jadi tidak enak sendiri. Yang penting, pada akhirnya, aku dihukum seperti ini gara-gara dia.

Satpam sekolah sedang menonton televisi. Aku mengamplas meja di sebelahnya. Setidaknya, kami berdua senang karena ditemani satu sama lain. Sesekali kami mengobrol tentang acara televisi tidak bermutu yang sering kutonton bersama Pak Dudut. Ternyata pak satpam juga suka menontonnya. Sayang acara itu sudah habis.

Televisi menyiarkan sebuah acara semacam cerdas cermat yang diikuti anak-anak SMA. Aku tidak pernah menontonnya. Acara itu berbarengan dengan acara favoritku di saluran lain.

Sebenarnya bukan cuma itu alasanku tidak menontonnya. Sekolahku masuk grand final, dan diwakili oleh si arogan itu.

Melihatnya di layar kaca, menjawab pertanyaan-pertanyaan absurd, sementara aku melaksanakan hukuman yang disebabkan olehnya. Entahlah... Rasanya aneh. Lucu, malah.

Dia benar menjawab satu soal. Lalu, suporternya, teman-teman sekelas yang diboyong ke studio, meneriakkan yel-yel yang aneh.

"Oktavian! Satu lima satu! Satu lima satu! OYE!!!"

Aku dan pak satpam tertawa mendengarnya. Untuk apa setiap peserta membawa suporter yang meneriakkan yel-yel? Apalagi yel-yelnya seperti itu. Untuk orang yang tidak mengerti apa maksudnya, mereka paling hanya tertegun sambil menggaruk kepala.

Kami tertawa terpingkal-pingkal setiap kali yel-yel itu diteriakkan. Saat pengumuman pemenang, yel-yel itu juga berkumandang. Si arogan itu menyabet juara pertama. Tidak buruk bagi orang yang hobinya bermain PS, mengejek 'si idiot', dan belajar tanpa henti. Setidaknya dia mengharumkan nama sekolah ini.

Pukul setengah sepuluh, aku baru selesai. Keesokan harinya, aku terlambat sekolah. Setelah dibombardir nasihat guru BK, aku masuk ke kelas. Arogansi si arogan telah berlipat ganda.

"Aku meragukan kau akan lulus nanti," ucapnya dingin setelah serangkaian ejekan yang dilontarkannya padaku. Saat itu jam istirahat.

"Memangnya peduli apa kau tentang nasib 'si idiot'?" Tanyaku. "Jangan lupakan dia. Berterimakasihlah padanya. Dia telah menghaluskan meja yang sedang kau duduki itu."

Dia tersenyum masam. "Gunting," titahnya pada salah satu 'fans'. Setelah menerima gunting, dia mengukirkan '151' ke meja itu. Nomor kebanggaan.

"Terima kasih," katanya sambil tersenyum.

"Sama-sama," jawabku, membalas senyumnya.

Entahlah, aku menemukan motivasiku. Bahkan ibu BK tidak bisa membangkitkan motivasi sekuat ini.

Beberapa hari lagi rangkaian ujian bertubi-tubi akan menghantam. US, UN, entah singkatan dari apa mereka. Aku tidak berkunjung ke rumah Pak Dudut. Aku mengambil buku pelajaranku yang masih halus karena tak pernah disentuh, lalu kubaca.

Ya ampun! Ternyata hanya ini yang setiap hari diocehkan orang-orang tua itu di depan kelas. Bahkan aku tidak mau dibayar untuk mengajarkannya!

Hanya perlu tak sampai satu jam untuk melahap buku itu. Aku beralih ke buku selanjutnya, lalu buku selanjutnya, dan seterusnya. Dalam beberapa hari itu, kubaca semua bukuku dari kelas satu sampai tiga.

Bel ujian berbunyi. Semua anak membuka dan membaca soalnya.

"Saatnya balas dendam," bisikku.

Tak kusangka soalnya semudah itu. Selama ini aku mengerjakan ulangan tanpa membaca soal. Asal jawab saja. Saat UN, apapun  maksud singkatan itu, aku sengaja membuat satu nomor salah. Aku tahu jawabannya, tapi aku merasa bersalah jika menjawab dengan benar. Aku merasa kasihan dengan Oktavian.

Rata-rata lima belas menit aku selesai. Dengan enaknya aku tidur. Pengawas menegurku. Biarkan saja dia mengomel. Terserah dia saja. Teman-teman menertawakanku. Aku cuek saja.

Kita langsung lompat saja ke kelulusan. Ini bagian yang menurutku menarik.

Pengumuman kelulusan. 100% lulus. Lumayan...

Sudah diperkirakan, nilai tertinggi diraih olehnya, si Oktavian. Maksudnya, nilai keseluruhan yang juga diambil dari rapor. Nilaiku yang do - re - mi kebakaran tidak mungkin menyainginya.

Sudah budaya sekolah bila peraih nilai tertinggi 'berpidato' di panggung. Menyebalkan, bukan? Dan beberapa tahun terakhir, peraih NEM tertinggi, singkatan apapun itu, disuruh berpidato juga. Dan si arogan telah mempersiapkan dua pidato. Wow!

Aku duduk menyilangkan tangan di dada, bersandar, dan menutup mata sambil mendengarkan progressive rock dari Walkman saat si arogan berpidato. Sesekali, suaranya yang lantang terdengar olehku. Aku tertawa kecil.

Lalu, orang-orang di sekitarku bertepuk tangan berdiri. Aku sih diam saja. Tak lama kemudian, keadaan menjadi hening mencekam. Telingaku gaduh karena musik, namun aku dapat merasakan keadaan berubah di sekitarku.

Aku melepas headset dan membuka mata. Orang-orang seisi ruangan aula menatapku dengan pandangan yang aneh, membuatku takut sendiri.

"Apa?" Tanyaku bingung.

Aku melihat ke arah panggung. Si Oktavian juga tercengang. Proyektor menampilkan nilai NEM -jujur sampai sekarang aku tidak tahu singkatan apa itu, seluruh anak. Kulihat nama Yohandio Hernan menduduki tempat teratas dan nama si arogan itu di tempat ke-2.

Rasanya aneh saat aku beringsut ke panggung setelah dipanggil oleh pak kepsek. Aku disuruh berdiri di tempat si arogan tadi berdiri. Lalu, aku melirik ke belakang.

Total lima pelajaran adalah 49,75. Sementara itu, si arogan 49,60. Kasihan. Seumur hidupnya dia tidak pernah di tempat kedua.

Yaa... untunglah aku sengaja membuat satu nomor salah. Kalau tidak, dia akan sangat terpukul. Mungkin dia bisa serangan jantung dan mati di tempat saat itu juga.

"Ini tidak mungkin! Pasti ada kesalahan!" Serunya tiba-tiba. "Bagaimana mungkin dia," Oktavian mengucapkan kata 'dia' dengan nada yang sangat mencela sambil menunjukku, "bisa meraih nilai seperti itu?"

Lalu, si arogan yang terpukul itu memulai orasi yang aneh. Jangan salah! Aku mengagumi kemampuan orasinya, tapi isinya sangatlah aneh. Sangat persuasif memang, membujuk penonton supaya tidak percaya dengan perolehan nilaiku. Bahkan pak kepala sekolah tidak bisa menghentikannya.

"Hey, satu lima satu!" Teriakku memotong perkataannya.

"Apa?" Dia balas bertanya dengan nada kasar.

Dengan senyum penuh kepuasan, aku mengacungkan kedua jari tengahku padanya.

"Satu delapan tiga," ucapku penuh kemenangan.

Aku menurunkan tanganku, lalu dengan seenaknya melenggang pergi meninggalkan ruangan.

Sekian suratku, Pak Jacob!

Salam,

Yohandio :)

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang