di seberang jendela

1K 90 2
                                        

16 Januari 2015

Dialah satu-satunya alasanku datang mengikuti kuliah.
Aku tidak mendengarkan sepatah kata pun yang diucapkan dosen. Perhatianku hanya dipusatkan padanya.

Duduk di sebelah jendela, mengamatinya yang juga duduk di sebelah jendela. Hanya saja, berbeda gedung. Berseberangan, hanya terpisah sepuluh meter, namun terasa sangat jauh.

Dia tidak sadar aku mengamatinya. Dia terfokus pada kuliahnya. Aku terfokus padanya. Aku tidak pernah membolos mata kuliah ini, hanya untuknya. Duduk di kursi yang sama, dia juga tak pernah berganti tempat duduk.

Sinar matahari menembus jendelanya, mengenai wajahnya. Sesekali, dia menatap ke luar jendela, tapi tak pernah ke arahku. Tatapannya menerawang jauh. Di matanya, terlihat seolah dia mengetahui seluruh rahasia alam semesta.

Ilmu pasti tentu dipenuhi dengan kepastian. Ada rumus, dapat diukur. Ada sebab akibat yang jelas. Namun, aku tidak merasakan kepastian yang jelas jauh di lubuk hatiku saat melihat melalui jendela itu. Kuharap ada rumus dan hukum-hukum yang jelas untuk menjelaskannya, tapi tidak ada.

Apakah ada hukum fisika untuk hati yang berbunga-bunga? Adakah rumus untuk menghitung seberapa dalam perasaan bagi seseorang?
Aku tahu ini hanyalah hasil dari sekresi hormon-hormon tertentu yang dipicu impuls-impuls pada saraf tertentu, perasaan ini. Tapi rasanya begitu nyata dan di saat yang sama seperti bermimpi.

Aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu apa yang dia suka. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya.

Mengherankan, begitu sedikit uang kutahu tentangnya. Tapi, begitu banyak yang diperbuatnya padaku.

"Wuidih... hebat! Gitu dong, masuk kuliah. Jangan mendekam di kamar aja. Belajar!" Kata Tomi saat aku pulang ke indekos.

"Tiap malam udah jadi dosen. Pagi masih disuruh kuliah."

"Malam kan jadi dosen untuk jurusan yang berbeda." Dia menyeringai lebar.

"Terserah," gumamku sambil menggelar tikar, lalu duduk bersila di atasnya.

"Pak dosen," katanya. Itu julukannya bagiku.

"Apa?" Tanyaku kesal.

Dia menatap ke atas. "Akhir-akhir ini aku tidak bisa fokus. Ada pengalih perhatian."

"Apa?" Aku tak peduli dengannya. Pikiranku melayang pada gadis yang kuamati di gedung seberang.

"Ada satu cewek, dia cantik banget, tapi ga terlalu peduli sama cowok. Beberapa mata kuliah barengan, tapi cuma bisa ngeliatin dia dari ujung ruangan. Gak berani ngomong," ujarnya malu-malu.

"Ya ampun. Kalau ada pengalih perhatian begitu, nanti nilainya bagaimana? Orang tuamu gimana kalau tiba-tiba nilaimu jeblok? Kasihan nih, dosen malam. Sudah ngajar capek-capek, nilai mahasiswanya jelek gara-gara cewek." Nada suaraku dingin. Tapi, di dalam hati, aku tidak percaya dia punya masalah yang sama denganku. "Maunya gimana?"

"Sudah hampir tiga bulan begini. Maunya sih, terus terang saja. Tapi takut."

Ya ampun. Aku tertawa mendengarnya. Tapi di lubuk hati, aku merasakan hal yang sama.

"Bisa tolong bantu, gak?" Dia bertanya. Dari tampangnya, dia putus asa.

"Terus sekarang apa?" Tanyaku. "Sudah jadi dosen malam, sekarang jadi dokter cinta. Mau jadi apa lagi? Bukannya dari dulu dipaksa-paksa belajar? Malah disuruh jadi konsultan perkara hati."

"Traktir makan siang. Mau gak?"

Aku sulit menolaknya. "Oke."

Selama beberapa hari setelahnya, aku mengajarinya beberapa trik yang sebenarnya kususun secara mendetil untuk si gadis seberang jendela. Namun, aku tidak punya nyali untuk melakukannya. Aku cukup senang trikku dipraktekkan, meskipun bukan olehku dan padanya.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang