"Ini Oktavian," kata orang di ujung lain telepon itu. Suaranya terdengar sedikit gemetar. Suaranya lebih dalam sekarang, dibandingkan dulu.
"Aku masih ingat semuanya... kalau itu yang ingin kau bicarakan," ujarku dingin. Aku benar-benar tidak berniat untuk menyampaikannya sekejam itu. Kata-kata itu hanya meluncur keluar dari mulutku begitu saja.
Oktavian terdiam. Hanya suara nafasnya yang terdengar lirih dari telepon rumahku.
Aku memutar otak, mencari kata-kata untuk mengakhiri kesunyian canggung ini. Tanganku yang memegangi gagang telepon mulai dibasahi keringat dingin. Jauh lebih mudah mencerna informasi dari buku-buku dan membuat koneksi antar fakta daripada menyusun kalimat untuk mengawali percakapan. Aku baru mau mulai berbicara saat Oktavian menyelamatkan kami dari kesenyapan.
"Jadi, bagaimana.. eh.. kabarmu?"
Aku diam-diam bersyukur karena dialah yang memecah keheningan. Jika aku bicara tadi, hasilnya akan jauh lebih buruk.
"Lumayan," jawabku diplomatis.
"Heh.." dengusnya sambil setengah tertawa palsu.
"Kau?"
"Baik."
"Hmm..."
Hening kembali.
Jantungku berdebar kencang. Tanganku mulai kebas. Kuperhatikan jam dinding yang berdetak. Jarum detik menempuh seperenam putaran sebelum Oktavian angkat bicara lagi.
"I wonder... apa pekerjaanmu sekarang?"
Aku berpikir sejenak.
"Perawat. Spesialis program rehabilitasi."
"Oh."
"Kau?"
"Aku... wakil ketua bagian research and development." Dia menyebutkan nama sebuah perusahaan teknologi multinasional yang kedengarannya familiar.
"Wah.."
"Ya."
"Jadi... masih di Massachusets?"
"No.. no! MIT itu dulu, pas S1." Oktavian mengeluarkan tawa yang dipaksakan. Dia kedengarannya terkejut. Suaranya bertambah keras sesaat, membuat telingaku sakit dan kepalaku berdenyut-denyut. Aku masih jauh dari 'bersih', aku masih cukup berada di bawah pengaruh obat. Sebenarnya, aku juga terkejut masih mengingat detil semacam itu tentang kehidupannya.
"Dan sekarang?"
"Di New York, baru sebulan balik dari Oxford."
Oxford itu di mana ya?
"Kau?"
"Masih di sini," aku melambaikan tangan ke sekeliling ruangan rumahku yang berantakan, meskipun tidak ada yang melihat.
"Oh, yeah. Right. Hehe.. Aku menelepon ke rumah. Bodoh sekali aku."
Kata-kata 'bodoh sekali aku' keluar dari mulutnya? Itu baru.
"Eh... bagaimana kau dapat nomor ini?"
"Buku tahunan SMA. Pas pindah ke condominium baru, unpacking, ketemu buku. Ya... begitu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Mistério / SuspenseKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...