"Silahkan duduk," katanya, seraya bertindak bagaikan tuan rumah.
Aku, sang tuan rumah, dengan was-was duduk di atas sofa ruang tamu. Kuatur pergerakanku supaya punggungku tidak pernah menghadapnya. Dia pun duduk di sofa di depanku.
"Salam kenal," katanya, "Marthen Hariyadi Putra."
"Apa maumu, Martin Sang Polisi?" tanyaku dengan nada sinis yang setengah dibuat-buat. Kurasakan mata kananku yang berair berkedut-kedut.
"Hahaha!" Tawa yang terkesan dipaksakan keluar dari mulutnya. "Marthen, bukan Martin. Marthen dengan T-H-E," dia mengeja.
"Apa maumu, Marthen dengan T-H-E?" kuulangi pertanyaanku dengan kata sapaan yang berbeda. "Memangnya polisi boleh begitu saja nyelonong masuk ke rumah orang?"
"Sebenarnya tidak, tapi kami tidak punya pilihan lain." Dia menatap mataku dalam-dalam. Selama beberapa detik, aku merasakan diriku tersesat di dalam kedua mata hitamnya. Setelah beberapa saat, dia memutus kontak mata itu dan mendesah. "Aku benci mengakuinya, tapi aku --kami-- datang untuk meminta bantuanmu, Kirana."
"Namaku Karina, bukan Kirana."
"Aku tahu." Senyum jahil itu kembali muncul di wajahnya.
Kuselidiki orang yang secara tidak langsung menyatakan diri sebagai polisi itu. Kuperhatikan detil-detilnya layaknya seorang penulis sedang mengamati orang asing untuk mencari ide untuk narasi deskriptif. Celana jeans dan kaus abu-abu lusuh dengan sablonan yang sudah mengelupas, serta sehelai jaket kulit hitam. Polisi berpakaian preman, sepertinya, polisi yang biasa menyamar.
Aku tidak mau mengakuinya, tapi wajahnya cukup tampan. Ada sorot kecerdasan dari matanya. Ekspresinya diaturnya sedemikian rupa sehingga sulit ditebak namun meyakinkan, kecuali saat dia memasang senyum itu. Dia bisa menjadi aktor yang hebat, jauh lebih baik dari orang-orang blasteran yang biasa terpampang di layar kaca dalam sinetron-sienetron kebanyakan. Rambutnya yang setengah ikal dibiarkannya tumbuh memanjang hingga hampir sebahu. Usianya kira-kira sepantaran dengaku, bahkan mungkin lebih muda. Sulit diterka dari ekspresinya.
"Jadi," katanya memecah keheningan. Dia pasti juga telah menilaiku, hanya saja tatapan menyelidiknya tidak sekentara aku. Dia bangkit berdiri dan berjalan mendekatiku. "Lukamu perlu diobati."
Dirogohnya saku bagian dalam jaketnya dan dia mengeluarkan sebungkus barang di dalam kantung plastik putih. Dikosongkannya kantung itu di atas meja tamu. Seperangkat peralatan standar P3K dan sebuah walkie talkie teronggok di permukaan meja.
"Tidak, terima kasih. Aku bisa mengurus diri sendiri," aku menolak.
"Nyatanya kau tidak."
"Bantuan apa yang ingin kalian minta?" tanyaku. Hatiku mulai panas mendengar perkataannya.
"Akan kujelaskan selagi aku menangani lukamu." Dia mengambil kapas dan cairan disinfektan, lalu duduk di sebelah kananku. "Darah kering itu harus dibersihkan dulu," gumamnya pada diri sendiri.
"Darah kering?"
"Kau benar-benar tidak berkaca?" Marthen balas bertanya. "Parah. Pantas saja..."
Kurasakan dia menyapukan kapas yang basah di keningku. Aku ingin menepis tangannya, tapi kuurungkan niatku.
"Pantas saja apa?" Dengan cepat, aku menoleh ke arahnya. Aku tidak terima kalau dia menggantungkan sebuah pernyataan yang ambigu.
"Diamlah. Kukira perempuan suka diperhatikan dan diperlakukan seperti ini. Bukannya mereka biasanya berbunga-bunga jika luka mereka ditangani seseorang dengan romantis?" Dia melanjutkan pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Mystery / ThrillerKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...