BAB 7

886 68 0
                                    

Tiffany. Tiffany Aurora.

“Sialan.”

Aku menguburkan wajahku ke dalam kedua telapak tanganku. Kepalaku pening dan jantungku berdebar-debar keras. Espresso yang tadi kubuat menggunakan mesin pembuat kopi di sudut dapur mulai menunjukkan efeknya.

Tiffany Aurora Riyandani
Married to Angelio Riyandani

Di layar laptopku, terpampang laman home facebook seorang wanita kalangan superclass. Foto profil yang tampak adalah seorang wanita yang sulit diperkirakan berapa usianya, dengan rambut hitam digelung rendah dan mengenakan gaun merah marun berpotongan sederhana. Foto-fotonya saat menghadiri acara gala dinner untuk amal dan foto terbarunya saat menonton Paris Fashion Week tahun ini seolah mengejek diriku, yang sebelum mendapat ‘rejeki nomplok’ harus menyambung hidup dari hari ke hari dengan makan mie instan.

Selayaknya seorang stalker ulung, aku melihat-lihat foto-foto yang diunggahnya ke dalam akun pencitraannya itu. Tidak salah lagi, wanita tua berkulit penuh injeksi botox yang kemarin kutemui di rumahnya ada di sana, tersenyum ke arah kamera. Hanya saja wanita yang kulihat saat ini berpuluh-puluh tahun lebih muda dari yang kemarin.

Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku merasa takjub betapa mudahnya menemukan seseorang dan seluruh tetek bengek kehidupannya –beserta segala omong kosongnya, kalau ada– dalam media sosial. Dengan beberapa klik, orang dapat mengakses informasi apa pun yang dia inginkan.

Di sisi lain, segalanya hancur berantakan. Begitu aku menemukan namanya di salah satu ensiklopedia online, perutku terasa seperti ditonjok dengan keras dan jantungku berhenti berdetak, entah karena keterkejutan atau karena efek kafein espresso-nya mulai terasa.

Si Tiffany sialan ini, bukan Hannah, yang merupakan putri semata wayang Abraham dan Madeleine Gara.

Oh, dan dia beserta suaminya, sang CEO Agico, Angelio siapalah, telah memiliki seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun bernama Melly serta seekor kucing Norwegian forest putih bernama Elisabetha yang lucu.

“MATI SAJA KAU! PERSETAN DENGAN SEMUA INI! KAU ANAKNYA, HAH? KALAU BEGITU SIAPA HANNAH?” Aku bangkit dari kursi, lalu membantingkan tubuhku ke sofa. Seperti orang kesetanan, aku menendang-nendang ke segala arah dengan liar sambil berteriak-teriak tidak jelas.

Aku mengerang. Kepalaku semakin sakit. Sepertinya aku sudah tidak kuat lagi minum kopi. Kucoba menyusun pikiranku yang tercerai-berai. Nafasku terengah-engah. Aku berusaha menenangkan diri.

“Ehm…permisi,” kudengar seseorang berkata.

Kutolehkan kepalaku. Di pintu masuk perpustakaan, kulihat seorang gadis berdiri dengan ragu-ragu, satu kaki di dalam ruangan dan satu kaki di luar. Matanya membelalak dan mulutnya setengah terbuka. Secara tidak sadar, dia menyilangkan tangan di dada. Dia pasti ketakutan.

“Ada apa, Lina?” tanyaku. Di mata mahasiswi yang bekerja bersih-bersih paruh waktu itu, aku pasti kelihatan seperti orang gila sekarang.

“Maaf, Nona–”

“Tolong panggil aku Karina saja, oke?”

“Eh, iya, maaf Karina, tadi saya kembali karena kemarin lantai bawah belum selesai dipel. Saya datang ke sini karena ada surat di kotak pos. Biasanya saat Tuan Jacob, eh… masih ada, beliau suka jika suratnya diantar langsung padanya.”

Seketika, aku terlonjak berdiri. Lina, yang masih ketakutan, secara refleks melompat ke belakang. Aku berjalan cepat mendatanginya.

Surat. Ada dua kemungkinannya. Tagihan, kemungkinan yang sangat tidak menyenangkan, atau surat dari Yohandio, kemungkinan yang menurutku jauh lebih tidak menyenangkan lagi.

Ternyata kedua dugaanku salah.

Corey A. Itulah nama yang tertera pada amplopnya.

“Saya permisi dulu,” kata Lina setengah berbisik.

Aku nyaris tidak menyadari perkataannya. Saat aku menoleh ke arahnya, dia sudah pergi.

Aku mengangkat bahu, lalu berjalan kembali ke kursi di hadapan laptopku. Secara tidak sabar, kubuka amplop itu. Sepucuk kartu berwarna kelabu bertuliskan ‘Turut Berduka Cita’ dengan huruf-huruf indah, kartu yang bisa dibeli seharga beberapa puluh ribu rupiah di supermarket, menyeruak dari dalam amplop.

Hanya itu. Tidak ada yang lain.
Geram, kuremas dan kulempar kartu itu beserta amplopnya ke seberang ruangan. Aku kembali menatap layar laptopku. Abraham Gara, Madeleine Gara, beserta Tiffany Aurora Gara cilik –saat itu namanya masih belum mengikuti nama belakang suaminya– tersenyum manis ke arahku dalam balutan pakaian formal. Di belakang mereka, terlihat logo Agivax besar. Mungkin foto hasil scan yang warnanya sudah mulai pudar itu diambil saat acara peresmian pabrik atau semacamnya. Aku mencibir ke arah mereka.

“Apa yang dilakukan paman pada putri semata wayang Maddie? Dia bilang usianya baru dua puluh. Tidak, tidak. Ini tidak mugkin. Tanggal ulang tahun Tiffany berbeda. Umurnya saat itu tidak mungkin dua puluh tahun. Saat kebangkrutan paman, kemungkinan besar dia masih baru masuk SMA,” ujarku nyaris tanpa suara sambil masih mengamati laman facebook itu.
“Siapa Hannah?”

Lagi-lagi jalan buntu. Pertama, kematian paman yang namanya tak pernah kudengar, lalu buku harian aneh, lalu misi sebelum mati, lalu Hannah, lalu Dio, lalu Madeleine beserta jejeran perusahaan-perusahaan luar biasa besar dan berkuasa, lalu Tiffany sialan ini, lalu Corey A. tidak jelas itu.

Tidak, aku tidak boleh berhenti. Aku dulu adalah seorang penulis, dan aku ingin menjadi penulis lagi. Ya, ini motivasiku. Kalau mau jujur, inilah motif pribadi yang telah mendorongku hingga sampai sejauh ini. Jika aku berhasil, maka semua ini bisa menjadi cerita menarik, bukuku akan sekali lagi merajai bestseller, dan karierku bisa melonjak lagi. Tapi… sekali lagi aku tiba di jalan buntu.

“Tunggu dulu,” kataku pada diri sendiri. “Jalan ini bisa jadi tidak sebuntu yang kukira.”

Aku bangkit, lalu berjalan ke sisi lain ruangan. Kubungkukkan badan, lalu kupungut amplop kartu yang baru saja kulempar. Dengan hati-hati, kurapikan lagi amplop itu yang kusut karena remasanku. Ya, benar, jawabannya ada di sana. Mungkin saja hal ini berujung pada jalan buntu yang lain, tapi mungkin saja tidak.

Kutatap amplop itu penuh kemenangan. Aku sudah punya tujuan selanjutnya, alamat rumah yang tertulis di sana.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang