Atom dan Makanan Gratis

919 73 0
                                    

23 Januari 2015

Pada suatu waktu, rasanya kehidupan sangat baik pada kita. Saat itulah kita harus bertanya-tanya apakah ada yang salah. Mengapa kehidupan terlalu baik pada kita sampai-sampai menjadi sangat mencurigakan? Saat itu, kita harus bersiap-siap menghadapi neraka yang akan datang belakangan. Dan saat hal buruk itu datang, kehidupan tidak akan tanggung-tanggung. Pada akhirnya kita tersungkur di atas onggokan harga diri yang sudah menjadi abu.

Ah, sudahlah… Lupakan saja kata-kata galau norak tidak jelas yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan apa pun itu.

Kembali ke cerita.

Sudah lewat beberapa tahun sejak peristiwa di surat terakhir.

Entah sudah berapa lama waktu yang kuhabiskan di atas tempat tidur tanpa melakukan apa pun. Aku adalah seorang pengangguran tanpa gelar sarjana. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kulakukan dengan hidupku.

Saat itu, usiaku hampir dua puluh lima tahun. Nyaris seperempat abad hidupku kugunakan untuk… pada dasarnya tidak untuk apa-apa. Tidak, aku tidak menyesal.

Membayangkan segalanya, alangkah luar biasa bahwa segala sesuatu yang pernah terjadi, dimulai dari big bang, pembentukan alam semesta, munculnya kehidupan pertama di laut ‘sup primordial’ bumi, evolusi entah berapa tahun, serta segala bagian dari sejarah manusia berujung seperti ini. Semua atom yang menyusun alam semesta, entah berapa jumlahnya, melebihi jumlah bintang yang ada di alam semesta yang bisa diamati, semuanya berada di tempat dan waktu yang tepat sehingga aku bisa tidur-tiduran di atas kasur sambil mendengarkan slow rock dari telepon genggamku.

Dan segalanya berjalan, semua atom penyusun alam semesta, semua kejadian di alam, semua keputusan yang pernah diambil oleh seluruh individu Homo sapiens sepanjang masa, semua keputusan yang pernah kau ambil seumur hidupmu, semuanya berujung pada keadaan yang memungkinkan kau membaca tulian jelekku yang nyaris tak tebaca yang kukirim lewat surat yang sebenarnya sudah menjadi sarana komunikasi yang sudah tidak relevan lagi saat ini.

Sudahlah, tidak usah dipikirkan.

Selama aku menghabiskan hidupku melakukan hal yang kusukai, meskipun hal ini dianggap tidak produktif oleh sebagian besar anggota masyarakat, sesekali terdengar kabar dari teman-teman SMA-ku. Beberapa dari mereka masih kuliah, beberapa sedang menyusun skripsi, beberapa sudah akan diwisuda, beberapa sudah diterima kerja, dan bahkan beberapa sudah menikah dan menantikan anak pertama mereka. Mengenai si 151, dia baru saja mendapatkan gelar Master of Science entah dari universitas ternama yang mana di luar negeri dan sedang dalam perjalanan untuk meraih PH.D.

Dan aku ada di sini, telentang di tempat tidur dengan perut keroncongan namun terlalu malas untuk beranjak ke kulkas untuk menengok apakah benda itu ada isinya atau tidak (padahal aku tahu benar bahwa benda itu kosong).

Hari sudah malam. Kulirik hp-ku. Ada satu pesan baru.

From : Makanan Gratis ^_^

Lu dmn? Gw udh d lokasi. Udh gw kirimin alamatnya kemaren kan? Pas nyampe sana bilang aja nama gw, pasti bkl dikasih msk. Cepetan napa, dasar tukang ngaret. Gw capek nungguin lu. Bakal nongol g sih?

Dengan malas, kujawab pesannya.

To : Makanan Gratis ^_^

Y. Otw.

Singkat, padat, dan jelas.

Sambil tersenyum, aku bangit dari tempat tidur, bersiap-siap, lalu berangkat.

Sudahlah, kau tidak akan mau tahu detilnya. Aku juga tidak berencana menulis surat panjang-panjang. Singkat cerita, aku tiba di semacam ‘tempat makan’ remang-remang dengan lampu LED kelap-kelip, lampu-lampu sorot, dan musik elektronik, yang terlalu artifisial untuk seleraku, berdentum luar biasa keras lewat sound system. Orang-orang yang ada di sana, sebagian besar anak muda yang masih kuliah (ya, aku sudah merasa tua), melompat-lompat seirama seperti kawanan manusia yang bersama-sama menghindari kecoa yang melintas di lantai dengan satu tangan diangkat ke atas, entah maksudnya apa. Sebagian lain duduk di pinggir, sepertiku.

“Lama banget,” teriak temanku.

Aku merasa kedua telingaku perlahan-lahan menjadi tuli.

“Pas bilang otw ‘kan masih di tempat tidur,” aku balas berteriak. Setidaknya aku jujur. “Ngapain juga sih ngajak ke sini, Lau? Biasanya gak ke tempat kayak gini.”

“Gue pengen ngenalin elu sama seseorang!” jawabnya.

Laurent, satu-satunya temanku dan sumber makanan gratisku beberapa tahun terakhir ini (kau harus mengerti betapa aku butuh makanan-makanan enak darinya sehingga aku mau menjadi teman orang macam itu). Aku kenal dengannya saat aku bergabung dengan klub puisi, sebulan setelah kepergian Tomi.

Ah, Tomi. Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar darinya. Kudengar Myra ikut ke luar negeri menyusulnya. Aku masih ingat amplop cokelat yang kuserahkan padanya, tentang isinya yang lebih berupa hipotesisku tentang hormon yang seharusnya bisa memotong DNA virus dari DNA manusia sehingga tidak terjadi replikasi. Kira-kira bagaimana kabar anak baik itu sekarang? Sekali-sekali aku ingin bertemu dengannya dan kembali bertengkar dan—

Lupakan saja itu.

“Mau ngenalin sama siapa?”

Laurent menunjuk seorang gadis yang sedang berjalan menghampiri kami. “Tuh. Dia.”

Gadis berusia awal dua puluh dengan gaun merah menyala ‘kurang bahan’ itu duduk memposisikan diri di antara dua lelaki, yang satu berpakaian rapi berkelas dengan rambut disemir, sementara yang satu lagi mengenakan hoodie dan tampak seperti baru bangun tidur.

Tidak, kau salah. Aku bukan yang berpakaian rapi. Tebakanmu payah.

“Wyndia,” katanya sambil menyodorkan tangan padaku.

“Dio,” jawabku. Aku tidak menjabat tangannya. Aku tadi belum cuci tangan dari toilet karena wastafelnya penuh muntahan. “Yang pasti aku tidak percaya itu namamu.”

Si gaun merah cekikikan yang dipaksakan. “Ratna W.”

“Oke, salam kenal, Ratna W. Saya Dio.” Aku mengalihkan tatapan pada Laurent. “Udah kenalan. Makanannya mana?”

Mereka berdua tertawa. Untunglah tawa mereka ditenggelamkan suara bising musik. Entah berapa tagihan listrik tempat ini sebulannya. Aku tidak mau tahu. Pikiranku masih berkutat seputar buku Origin of Species yang baru kuselesaikan tadi pagi.

“Jadi, mau yang mana?” tanya kenalan baruku.

Aku benar-benar tidak tahu apa maksudnya.

Kulihat temanku membisikkan sesuatu di telinganya. Wyndia/Ratna W./Si Gaun Merah mengangguk, lalu balas berbisik. Dari dalam tas tangannya, dia mengeluarkan sebungkus kecil plastik berisi serbuk putih.

“Kemaren lu curhat sesuatu ke gua. Nah, itu, hadiah,” kata Laurent.

Ya, aku ingat curahan perasaanku itu. Apa yang sebenarnya kurasakan, apa yang terjadi padaku saat penyakitku, ke-genius-an, kambuh.

Dan dia kambuh setiap hari, menerorku.

Ah, itu untuk lain kali saja.

Salam,
Yohandio ^_^

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang