BAB 19

858 69 4
                                    



Tubuhku gemetaran terbalut pakaian Marra, adik Marthen. Pagi ini dingin. Aku duduk membisu di atas kursi ruang tamu rumah lelaki tersebut. Segelas teh manis mengepul di hadapanku. Kuperhatikan uapnya menari-nari.

"Tidak ada makanan apa-apa di sini," kata Marthen sambil berjalan memasuki ruangan membawa nampan berisikan semangkuk mie rebus instan. "Maaf."

Aku tertawa. "Tidak apa-apa."

Kuterima mangkuk itu darinya sambil menggumamkan terima kasih, lalu kumakan isinya dengan lahap. Aku benar-benar lapar.

"Kamu pasti bisa jika kamu pikir kamu bisa."

"Hah?" tanyaku, dengan mulut penuh mie.

"Itu yang selalu dikatakan ayahku," ujar Marthen. Senyum yang tulus terlukis di wajahnya. Dipangkunya Teta, kucingnya. "Jika aku sedang stress atau kawatir, atau bahkan ketakutan, itulah yang selalu dikatakannya padaku. Kamu pasti bisa jika kamu pikir kamu bisa."

Di tengah rasa takut ini, itulah yang kubutuhkan. Aku tidak yakin aku bisa, tapi aku ingin bisa. Perkataannya membawa kehangatan bagiku, penguatan.

Kutatap matanya dalam-dalam. "Terima kasih," ucapku.

***

Aku berdiri perlahan-lahan, keluar dari bagasi mobil tersebut. Kedua kakiku lemas karena menendang-nendang tadi.

Kutatap sekeliling. Aku ada di dalam sebuah tempat parkir bawah tanah. Lampu yang terpasang di sana memang remang-remang, tapi cahayanya jelas jauh lebih terang daripada bagasi tempatku disekap tadi. Tempat suram itu sepi. Selain mobil sedan yang membawaku, yang ternyata super mewah, hanya ada dua mobil lain yang terparkir di tempat luas tersebut.

"Cepat jalan mengikuti saya," titah bodyguard yang tadi melepas ikatanku.

Aku hanya memelototinya segarang yang aku bisa.

"Ayo," tukasnya tajam.

Pria besar itu membalikkan badannya, lalu berjalan. Menuruti perintahnya, kuikuti dia. Meskipun tempat parkir itu sangat luas, dia mengambil jalur yang janggal. Jalannya sedikit berputar-putar dan berbelok-belok, tidak membentuk garis lurus. Sesekali, dia berhenti lalu mendongak, sebelum pada akhirnya kembali berjalan lagi.

Inilah kesempatanku, aku berpikir. Dia tidak memperhatikanku. Aku bisa kabur dari sini. Aku pasti bisa jika aku pikir aku bisa.

Masih berjalan di belakangnya, aku melirik ke atas, mencari-cari apa yang mungkin dilihatnya tadi. Dia sepertinya berjalan di jalur yang telah ditetapkan, berarti semua ini telah direncanakan. Tidak ada apa-apa yang menggantung dari mangit-langit, kecuali lampu, pipa-pipa air dan saluran udara, serta beberapa kamera CCTV.

Ha! Dia berjalan menghindari kamera CCTV, seruku dalam pikiran dengan penuh kemenangan. Si bodyguard berotot ini berjalan melalui titik-titik buta CCTV.

Pandanganku kini terpaku pada punggung lebarnya. Dia sama sekali tidak memperhatikanku. Aku hanya perlu berlari secepat mungkin ke arah jalan keluar. Bahkan tertangkap kamera saja sudah cukup.

Kutarik nafas dalam-dalam. Kukepalkan tunjuku kuat-kuat. Kepalaku berdenyut-denyut nyeri.

Sekarang!

Secepat kilat, aku berlari. Kudengar suara langkah kakiku menggema lantang. Tak menghiraukan semua rasa sakit di tubuhku, aku melesat menuju tanjakan yang mengarah, seharusnya, ke dunia luar. Aku yakin beberapa kamera CCTV telah menangkapku. Kusempatkan diriku menoleh sangat cepat ke belakang. Pria itu tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana mengamatiku. Dia tidak mengejarku, bahkan berteriak pun tidak.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang